Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bahan Bakar Bernama Mikroalga

Peneliti Indonesia menemukan mikroalga yang melimpah di laut mengandung senyawa dasar pembentuk bahan bakar. Blue energy yang sebenarnya.

6 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELAKANGAN ini Mujizat Kawaroe sibuk bukan main. Sejak menemukan potensi sumber energi dalam mikroalga, ia punya setumpuk jadwal. Seminar dan presentasi berderet menanti. Telepon rumah dan selulernya tak henti berdering, baik dari pengusaha yang ingin mengajak bekerja sama maupun dari kolega sesama peneliti yang ingin berbagi ilmu.

Pada pertengahan bulan lalu, peneliti wanita dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institute Pertanian Bogor ini terbang ke New Delhi, India, untuk mengikuti Algae Biofuel Summit 2008, yang dihadiri peneliti dari 13 negara. Pada November ini ia diundang ke Singapura, lalu ke Guangzhou, Cina, Desember mendatang, dan ke Malaysia pada awal tahun depan untuk memaparkan hasil penelitiannya.

Apa yang diteliti Mujizat memang hal baru. Ia menemukan potensi sumber energi dalam mikroalga atau ganggang mikro, yang selama ini dikenal sebagai salah satu bahan dasar produk kosmetik atau farmasi. Namun, di tangan Mujizat, tumbuhan paling primitif berukuran renik ini—baik sel tunggal maupun koloni—disulap menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi, yakni sebagai sumber energi terbarukan.

”Sebagai tumbuhan yang memiliki penyerapan fotosintesis, mikroalga ternyata bisa menghasilkan bioenergi,” ucap Mujizat beberapa waktu lalu. Agar tak diserobot orang, dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, ini langsung mematenkan hasil risetnya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas namanya pada April lalu.

Ketertarikan Mujizat untuk melakukan riset terhadap mikroalga dimulai dua tahun lalu, tatkala pemerintah sedang giat-giatnya mencari energi alternatif. Sebagai seorang yang berkecimpung di bidang kelautan, Mujizat lantas tergerak untuk menyumbangkan pemikirannya.

Melalui penelusuran literatur, diketahui bahwa bahan bakar minyak dan gas yang ada di dalam perut bumi juga berasal dari tumbuhan yang telah memfosil. Sebagai dosen mata ajaran tumbuhan laut, Mujizat lantas mencoba meneliti mikroalga, yang banyak mengandung lipid atau minyak organik. Mujizat menemukan bahwa dalam salah satu lipid mikroalga ini ternyata terdapat hidrokarbon, senyawa dasar pembentuk bahan bakar. Kandungan lipid dalam mikroalga diketahui 20 persen.

Jumlah lipid dalam mikroalga memang masih bisa ditingkatkan dengan cara rekayasa genetis. Dalam beberapa penelitian terhadap mikroalga sebelumnya, rekayasa genetis bisa meningkatkan lipid hingga 50 persen. ”Tapi penelitian itu bukan bertujuan mencari bioenergi,” ucap Mujizat.

Mikroalga merupakan tanaman yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk keperluan fotosintesis. Selain itu, CO2 dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas. Keberadaan mikroalga sangat membantu dalam pencegahan terjadinya pemanasan global. ”CO2 dari industri daripada terbuang begitu saja lebih baik ditampung dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroalga ini.”

Terdapat empat kelompok mikroalga yang sejauh ini dikenal di dunia, yakni diatom (Bacillariophyceae), ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae). Keempat kelompok mikroalga tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi. Di Indonesia sendiri ada ratusan jenis mikroalga.

Mujizat melakukan penelitian kandungan senyawa bioaktif mikroalga yang ideal sebagai bahan baku bioenergi, antara lain dari jenis chlorella dan dunaliella. Keduanya memiliki kandungan lemak tinggi, adaptif terhadap perubahan lingkungan, dan cepat laju pertumbuhannya. Chlorella memiliki kandungan lemak 14 hingga 22 persen dan karbohidrat 17 persen. Dunaliella memiliki kandungan lemak 6 persen dan karbohidrat 32 persen.

Dalam penelitian lain diketahui bahwa minyak mentah mikroalga (crude alga oil) ternyata mengandung isochrysis galbana (20-35 persen) dan nannochloropsis oculata (31-68 persen). ”Jadi, yang besar adalah jenis nano, karena memiliki kandungan lemak yang tinggi. Ini sangat menggembirakan,” ujar Mujizat.

Proses pembuatan mikroalga menjadi bioenergi tak terlalu sulit. Langkah awal yang dilakukan adalah identifikasi dan isolasi mikroalga. Kemudian mikroalga dikembangbiakkan (kultivasi), yang hanya memerlukan waktu 7 sampai 10 hari. Setelah itu, mikroalga ini bisa dipanen.

Proses selanjutnya, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi (pemisahan) menggunakan pelarut hexan atau diethyl ether untuk menghasilkan natan. Metode ekstraksi juga bisa dipilih menurut kebutuhan. Tahap berikutnya dilakukan pemurnian dan esterifikasi untuk mengurai lemak menjadi hidrokarbon.

Sebagai contoh, dalam 1 ton air kultivasi dapat dipanen 1 liter natan. Dari 1 liter ini bisa dihasilkan 150 gram alga bioenergi, atau jika digunakan untuk proses pembuatan ekstrak akan didapat 22 mililiter minyak. Jika diproses lagi, hasil ekstrak minyak ini setara dengan 200 mililiter.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan proses pembuatan bioenergi ini pun tak mahal. Ketika melakukan penelitian di Situbondo, Jawa Timur, Mujizat hanya menghabiskan uang Rp 2.000 untuk mendapatkan 1 liter air natan guna menghasilkan air reaksi dalam penelitiannya.

Setiap satu hektare mikroalga bisa menghasilkan 2 barel air yang mengandung mikroalga. Bayangkan bila pantai Indonesia yang panjangnya mencapai ribuan kilometer dimanfaatkan, tentu akan didapat jutaan barel air yang mengandung mikroalga sebagai bahan baku bioenergi. ”Itu pun bisa ditingkatkan 5 sampai 6 kali dari kondisi sekarang, tentunya melalui beberapa proses,” ujarnya.

Inilah harapan baru bagaimana mikroalga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku bioenergi terbarukan dan bahan bakar alternatif pengganti minyak, yang keberadaannya semakin tipis. ”Saya akan terus melakukan penelitian sampai mendapatkan high performance alga oil,” ujar Mujizat optimistis.

Prospek mikroalga sebagai sumber energi masa depan diakui oleh para pengusaha kelas kakap dunia. Pendiri perusahaan peranti lunak Microsoft, Bill Gates, bahkan tertarik melakukan investasi dalam industri ini. Melalui Cascade Investment, manusia terkaya di dunia itu menanamkan investasinya di Sapphire Energy, perusahaan pembuat bioenergi dari mikroalga yang bermarkas di San Diego, Amerika Serikat.

Selain dari Bill Gates, Sapphire Energy mendapat suntikan dana dari Arch Venture Partners, Wellcome Trust, dan Venrock. Total investasi yang mereka benamkan mencapai US$ 100 juta. Dengan tambahan modal sebesar itu, Sapphire berencana membuat bioenergi 10 ribu barel per hari dalam tiga atau lima tahun mendatang.

Bila para pengusaha dunia melihat pengembangan mikroalga sebagai bahan bioenergi sangat menjanjikan, sudah saatnya pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan secara serius menggarap peluang ini. Inilah blue energy yang jelas lebih menjanjikan. Bukan blue energy jadi-jadian seperti kemarin dulu.

Firman Atmakusumah, Deffan Purnama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus