Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Membunyikan yang Tanpa Bunyi

6 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seno Gumira Ajidarma

  • Wartawan

    ONOMATOPE adalah fenomena keberadaan suatu kata berdasarkan kemiripan bunyi. Dalam kolom ini pernah saya perbincangkan ihwal kata kokok sebagai kata dalam bahasa Indonesia, yang tidak terhindarkan kedekatannya dengan onomatope kokok ayam jantan dalam bahasa Jawa, kukuruyuk, ataupun bahasa Sunda, kongkorongok. Kokok yang sama terbunyikan kembali secara berbeda, karena wacana lisan masing-masing yang juga berbeda.

    Dalam dunia komik, onomatope lisan ini harus ditulis sebagai bagian dari gambar. Masalahnya, onomatope lisan ternyata tidak tersedia untuk segala jenis bunyi. Kokok ayam jantan jelas ada, tapi bagaimana dengan susu yang larut ke dalam kopi? Bagi para seniman komik Jepang, tentu saja bunyi ini harus diciptakan. Dari tiada dijadikan ada. Maka terciptalah ”bunyi” yang tak pernah berbunyi, karena hanya tertulis sebagai SURON di samping gambar susu tertuang ke dalam cangkir berisi kopi.

    Mengingat ”bunyi” ini belum pernah tersepakati dalam wacana lisan Jepang, kita tidak dapat mengatakannya sebagai onomatope ”resmi” Jepang atas bunyi susu yang larut ke dalam kopi, seperti halnya kukuruyuk dan kongkorongok telah tersepakati dalam wacana Jawa dan Sunda. Meskipun begitu, industri komik Jepang dengan segera membuat ”bunyi” SURON di atas kertas itu tergandakan berjuta-juta eksemplar, menjadi populer, tersosialisasikan, sehingga tiba giliran manusia sungguh-sungguh membuatnya berbunyi. Mereka berucap, ”Suron,” untuk menirukan bunyi susu yang larut ke dalam kopi, ketika mereka sedang menuangnya. Maka sebuah lingkaran wacana bahasa pun terbentuk: ditulis sebagai ”bunyi tanpa bunyi” sebagai bagian gambar, tergandakan secara massal, sampai akhirnya ”dibunyikan” orang.

    Tentu ”bunyi” ini semula hanya ada di kepala Yukio Kawasaki sebagai penggubah komik berjudul Kisah-kisah Kosmik yang Aneh pada 1980, dan tetap saja para ahli bahasa dapat mencari-cari hubungannya dengan wacana lisan Jepang, sebagaimana kata kokok terhubungkan dengan kukuruyuk dan kongkorongok; tetapi penciptaan onomatope dalam dunia komik Jepang alias manga memang fenomenal. Sementara komik Amerika punya BAROOM! untuk ledakan, POW! untuk pukulan, dan BUDABUDABUDA untuk rentetan tembakan, dari dunia komik Jepang, seperti telah diteliti Frederik L. Schodt dalam Manga! Manga! The World of Japanese Comics (1983), bermunculan kreasi baru seperti bunyi SURU SURU untuk menyeruput mi, ZA, BOTSUN, dan PARA PARA untuk berbagai jenis hujan, dan SHUBO untuk bunyi jres-an korek api.

    Orang Jepang memang terkenal dengan kerinciannya nan amat sangat. Dalam komik tentang tinju Jose Mendoza melawan Jo Yabuyi karya Tetsuya Chiba dan Asao Takamori, Jo dari Hari Esok (1973), setiap aspek bunyi dari pertandingan tinju yang bagi orang Indonesia hanya mungkin sebagai BAGBUGBAGBUG saja, telah digali begitu rupa sehingga kita mendapatkan KAAN untuk bunyi gong, DA untuk menyerang dari sudut masing-masing, BAN DOSSHI untuk pukulan dari Jose, disusul sejumlah pukulan, GOSSU BI GASSU DOKA, tapi Jo membalas dengan pukulan tangan kanan ke pelipis, BAKKI, disusul tangan kiri, BAN. Jose membalas, GASSU BAKKU BEKKI, dan Jo ambruk ke matras, DOSUN. Sementara wasit menghitung, penonton berteriak WAAA. Jose maju lagi ingin menghabisi, tetapi Jo bangkit menyeruduk, BI BUN BYU SHU. Ia pukul Jose dengan telak, BAKKI. Penonton jadi ganas WAAAWAAAAAAAA. Jose limbung, ZURU, dan jatuh, DOSUN.

    Namun fenomena sebenarnya dari dunia komik Jepang adalah justru paradoks dalam keajaiban onomatope itu, yakni ”membunyikan yang tanpa bunyi”, seperti FU untuk menghilangnya ninja ke dalam kegelapan, HIRA HIRA untuk daun berguguran dari pohon, PO untuk wajah tersipu karena malu, dan—dengan salam kepada pejuang RUU Antipornografi—BIIN untuk penis yang ereksi. Adapun yang luar biasa tentu semangat untuk membunyikan ”yang tidak berbunyi sama sekali”, dan ”bunyi” itu adalah SHIIIN….

    Jadi, dalam bahasa, ketiadaan, selama dibahasakan, dengan atau tanpa onomatope, akan selalu ada. Pantaslah Buddha, seperti diuraikan Nagarjuna, menolak dikotomi ada dan tiada.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus