CANDI bentar, pura, topeng, dan tari kecak, hanya sebagian dari segudang simbol Pulau Bali. Deretan panjang identitas Pulau Dewata itu kini bertambah lagi dengan masuknya kayu majegau. Terhitung 28 April silam, majegau diakui secara nasional sebagai flora khas Pulau Bali. Keputusan pemerintah itu tentu saja disambut gembira oleh I Ketut Muliartha, Ketua Panitia Penentuan Flora dan Fauna Khas Pulau Bali. "Kami tinggal menunggu turunnya SK Menteri KLH," ujarnya lega. Maklum, Ketut Muliartha telah mengusulkan promosi majegau itu sejak setahun lalu. Pada mulanya, majegau harus bersaing dengan kopi dan salak -- dua jenis tanaman yang populer di Bali. Tapi kedua tanaman itu harus gugur lantaran tak ditemukan bukti yang sahih bahwa keduanya benar-benar asli Bali. Pilihan pun jatuh pada pohon majegau. Memang, di Jawa, Nusa Tenggara Barat, atau bahkan Sumatera, menurut I Made Subadia, seorang pejabat Dinas Kehutanan Bali, pohon majegau bisa juga dijumpai. Tapi populasinya kecil, dan itu pun menggerombol di salah satu tempat saja. "Sedangkan di Bali majegau tersebar secara luas," ujar Made Subadia. Lagi pula, majegau begitu dekat dengan kehidupan ritual Bali. "Majegau dianggap salah satu pohon suci, bersama dengan cendana, suren, cempaka, dan menengen," ujar Ida Pedanda Gede Putra Bajing, seorang pendeta Hindu di Denpasar. Sebagai pohon keramat, dan sering pula disebut pohon sakti, majegau tak boleh ditebang sembarangan. Kayunya pun terlarang dipakai untuk bangunan rumah kediaman, losmen, atau restoran. "Kayunya hanya bisa dipakai untuk bangunan suci, arca, atau benda-benda perlengkapan upacara keagamaan," tambah Ida Pedanda Gede. Tapi, disadari atau tidak, konsumsi kayu majegau telah meluas. Lihat saja Sanggar Mahameru, tempat Ida Bagus Alit, 38 tahun, memajang karya patung dan lukisannya. Di sela-sela patung kayu cendana, jati, kamboja, atau akasia, Bagus Alit juga memajang patung kayu majegaunya. Batang kayu majegau yang penuh benjolan-benjolan alamiah, menurut seniman Denpasar ini, memberikan bentuk dasar yang indah untuk patungnya. Dia tinggal membuat ukiran mengikuti ceruk lekung yang asli. Daya tarik yang lain adalah harganya yang murah. Sebatang pohon majegau, bergaris tengah 30 cm, bisa dibeli dengan harga Rp 10 ribu-Rp 12 ribu. Dari sebatang pohon majegau itu, Bagus Alit bisa membuat tiga buah patung, yang berukuran panjang 70-100 cm. Harganya sekitar Rp 250 ribu sebuah. Tak seberapa mahal bila dibandingkan patung kayu cendana, yang harganya sampai Rp 1 juta untuk patung setinggi 30 cm dengan garis tengah 15 cm. Tak jelas betul, berapa banyak kayu majegau terpakai untuk patung-patung komersial atau bangunan rumah. Yang jelas, kini Pemda Bali mengkategorikan majegau sebagai tumbuhan langka yang perlu dilindungi. Made Subadia dari Dinas Kehutanan Bali melihat majegau selama ini makin banyak ditebang tanpa ada upaya penanaman kembali. Kalaupun ada yang tumbuh, pohon yang dalam taksonomi botani disebut Dixocullum densiflora itu boleh disebut tumbuh liar. Untuk memperoleh majegau yang layak tebang, diperlukan waktu sekitar 40 tahun. Masyarakat Bali, pada waktu lalu, memang kurang bergairah menanam majegau. Mungkin karena ia dianggap kurang bernilai ekonomis. Maka, di saat permintaan meningkat kini, populasinya pun tak besar. Kendati tak seharum cendana, aroma kayu majegau cukup wangi. Tak mengherankan, majegau sering dibakar bersama kayu cendana untuk mengiringi persembahyangan umat Hindu di Bali, seperti disebut dalam Kidung Wargasari: asap menyan majegau dan cendana memanggil dewa dewa.... PTH dan Joko Daryanto (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini