Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kecil-kecil Merokok

Iklan yang gencar dan pola asuh yang buruk memicu munculnya perokok anak-anak.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Iklan yang gencar dan pola asuh yang buruk memicu munculnya perokok anak-anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemunculan fenomena baby smoker bernama Rapi Ananda Pamungkas asal Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, seharusnya menjadi pukulan keras bagi pemerintah. Cerita anak yang belum genap dua tahun itu sempat viral karena dikabarkan kecanduan rokok setidaknya lima batang dalam sehari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua No Tobacco Community, Bambang Priyono, menuturkan fenomena tersebut memperlihatkan usia perokok pemula makin muda. Menurut dia, anak-anak yang makin dini mencoba rokok akan teradiksi zat nikotin, mereka akan kian sulit berhenti. Bahkan, kata Bambang, jumlah batang yang diisap akan makin banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya melihat fenomena itu terjadi karena adanya pembiaran dan ketidaktahuan orang dewasa akan bahaya rokok sehingga anak-anak bisa kecanduan," ujar Bambang pada Selasa lalu.

Cerita tersebut membuat Bambang akhirnya menelusuri jejak Rapi di kampung halamannya. Ternyata, awal mula Rapi mencoba rokok lantaran ayahnya seorang perokok. Sedangkan ibunya membuka warung kopi di rumahnya sehingga membuat Rapi makin terpapar rokok. Rapi memulai kebiasaan merokok setelah mencicipi puntung rokok yang jatuh di halaman rumahnya.

"Tak hanya kecanduan, Rapi juga amat sadar setiap kali melihat iklan rokok di televisi," ujar Bambang. "Itu terus memicu dia untuk meminta rokok. Kalau tidak diberi, Rapi akan memaksa dengan segala cara agar dibelikan rokok."

Ketua Tobacco Control Support Centre (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Sumarjati Arjoso, menuturkan jumlah konsumsi rokok pada anak di Indonesia terus naik. Berdasarkan data yang dihimpun TCSC IAKMI, pada 1995 sebanyak 9,6 persen penduduk usia 5-14 tahun mulai mencoba rokok.

Pada 2001, jumlah perokok anak naik menjadi 9,9 persen. Angka tersebut masih terus meningkat, bahkan pada 2010 melonjak menjadi 19,2 persen. Sumarjati menuturkan makin memburuknya jumlah perokok muda lantaran aturan kawasan tanpa rokok belum benar-benar berjalan baik.

"Ini sangat mengkhawatirkan, padahal anak usia 5-14 tahun itu seharusnya masih di bawah pengawasan orang tua. Sementara, masih banyak orang tua yang masih jadi perokok dan tidak mendapat pengetahuan tentang bahaya rokok," ujar Sumarjati.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan TCSC IAKMI di 15 kota/kabupaten, usia perokok pemula yang makin muda disebabkan oleh paparan iklan rokok yang masih masif. Pada 2015, anak dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun paling banyak terpapar iklan rokok lewat televisi, yaitu 83 persen. Sebanyak 67,1 persen dari billboard, 64,8 persen dari poster, dan 54, 1 persen dari tembok.

Sumarjati menuturkan anak dan remaja berusia di bawah 18 tahun yang terpapar iklan rokok di televisi berpeluang 2,24 kali lebih besar untuk menjadi perokok ketimbang mereka yang tidak terpapar iklan rokok di televisi. Begitu juga yang terpapar iklan rokok dari radio berpeluang sebesar 1,54 kali, dari billboard 1,55 kali, dari poster 1,53 kali, dan dari Internet 1,59 kali lebih besar untuk menjadi perokok.

"Ternyata memang iklan punya peran besar terhadap meningkatnya jumlah perokok usia dini. Apalagi sebagian besar masyarakat sudah punya televisi," ujar Sumarjati.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, meyakini bahwa anak mulai merokok karena adanya stimulus dari lingkungan, salah satunya dari paparan iklan. Efektivitas tulisan tentang bahaya rokok yang dipampang pada setiap iklan, kata Rita, tidak terbaca dengan baik oleh mereka yang berpendidikan rendah.

 "Perlu ada edukasi bagi masyarakat. Negara juga harus memperhatikan dengan menciptakan lingkungan yang tidak hanya bebas asap rokok, tapi juga lingkungan yang benar-benar bebas paparan rokok, termasuk iklan atau orang yang menjual rokok," ujar Rita.

Rita juga menuturkan kemunculan baby smoker tidak hanya dipengaruhi oleh paparan iklan rokok yang masih masif. Menurut dia, usia perokok pemula yang makin muda juga dipengaruhi oleh pola pengasuhan anak yang buruk. Rita menuturkan anak perokok merupakan korban dari ketidaktahuan orang tua soal bahaya rokok.

Menurut Rita, fenomena baby smoker seperti pada Rapi tidak akan terjadi apabila orang tua tahu bahaya rokok serta dapat mengendalikan kecanduan rokoknya. Pada kasus yang menimpa Rapi, orang tua beralasan bahwa anaknya akan terus menangis atau tantrum apabila tidak diberikan rokok. Padahal, kata Rita, anak tantrum merupakan hal yang biasa terjadi pada anak apabila ingin mendapatkan sesuatu.

Menurut dia, tantrum merupakan sebuah eksperimen yang dilakukan oleh seorang anak untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Jika keinginannya dituruti, anak akan merasa berhasil meminta kepada orang tua dengan cara itu. Bukan tidak mungkin, pola tersebut akan terus berulang untuk mendapatkan keinginannya.

"Meski pola pengasuhan itu sifatnya sangat individual, orang tua harus tahu bahwa fase menjadi orang tua juga bertingkat. Artinya, peningkatan pengetahuan pola pengasuhan anak juga penting," kata Rita.

Isu baby smoker, kata Rita, tak bisa diselesaikan oleh satu kalangan, seperti keluarga. Namun, perlu adanya keterlibatan komunitas yang lebih besar, termasuk warga setempat. Masyarakat perlu menyadari pentingnya lingkungan ramah anak, termasuk kawasan tanpa rokok.

"Perlu ada program pencegahan dari hulu sebagai bentuk investasi jangka panjang untuk sumber daya manusia jangka panjang. Apalagi Indonesia akan mendapatkan bonus demografi penduduk usia produktif," kata Rita. LARISSA HUDA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus