Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemerintah Batasi Akses Peta Nasional

Kebijakan satu peta diharapkan menyelesaikan konflik lahan di Indonesia.

1 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kebijakan satu peta diharapkan menyelesaikan konflik lahan di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Pemerintah akan membatasi akses terhadap peta nasional berdasarkan jenis kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. "Kepala daerah hanya bisa mengakses data geospasial wilayah mereka," kata Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial, Lien Rosalina, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengatakan pembatasan akses dilakukan untuk mengurangi penyebaran informasi tak perlu. Sejumlah peta bertema khusus, dia mencontohkan, bisa diunduh. Adapun peta lainnya hanya bisa dilihat atau tertutup sama sekali. "Tergantung siapa yang mengakses," ucap Lien.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Informasi Geospasial telah menyelesaikan pembuatan peta tunggal nasional yang bebas tumpang-tindih dan bebas masalah lewat Kebijakan Satu Peta. Peta bertema tertentu di pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga dikumpulkan, diintegrasikan, lalu disinkronisasi.

Sudah dua tahun terakhir pemerintah menyusun peta nasional ini di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian. Peta tunggal nasional tersebut seharusnya diluncurkan pada Agustus lalu, tapi tertunda karena kesibukan pemerintah menghadapi Asian Games.

Menurut Lien, sejumlah informasi sensitif juga akan dibatasi aksesnya dalam peta ini. Misalnya, masyarakat tidak dapat mengakses peta luas dan perusahaan sawit pemilik hak guna usaha karena informasi tersebut berbayar di Kementerian Agraria dan Tata Ruang sesuai dengan undang-undang.

Direktur Survei dan Pemetaan Tematik Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Perdananto Aribowo, mengatakan, meski ada pembatasan sejumlah akses, keterbukaan informasi tetap penting. Jika seseorang atau suatu badan ingin mengakses suatu data peta, dapat mengajukan permohonan informasi.

Peta nasional ini diharapkan menyelesaikan konflik lahan di Indonesia. Pemerintah mencatat sekitar 14 persen penggunaan lahan di Indonesia tumpang-tindih. Di Kalimantan, tumpang-tindih paling banyak terjadi di atas lahan fasilitas sosial dan lahan transmigrasi. Dengan adanya data spasial yang akurat, kepala daerah tak lagi mengeluarkan izin usaha di atas tanah masyarakat. Hak guna usaha badan niaga juga tak bertindihan dengan kawasan hutan

Masalah tumpang-tindih lahan akibat tak adanya peta nasional paling nyata menggerus hak masyarakat adat di berbagai daerah. Di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta kerap dikriminalisasi perusahaan kertas. Sebagian hutan adat mereka masuk dalam konsesi perusahaan, padahal hutan itu telah turun-temurun menjadi sumber kehidupan orang Pandumaan-Sipituhuta. Bulan lalu, hak mereka akhirnya diakui negara lewat aturan daerah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyerahkan peta masyarakat Pandumaan-Sipituhuta ke Badan Informasi Geospasial untuk disinkronisasi dalam Kebijakan Satu Peta. Selain Pandumaan-Sipituhuta, ada 18 peta hutan masyarakat adat lain yang telah diserahkan.

Setidaknya, menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat, dari 9,3 juta hektare lahan masyarakat adat, sebanyak 6,2 juta di antaranya berada di kawasan hutan negara, termasuk di kawasan hutan lindung, konservasi, dan hutan produksi. "Penyelesaian masalah hutan adat dipercepat agar sejalan dengan kebijakan satu peta," kata Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya. INDRI MAULIDAR


Delapan Tahun Sejak Dicetuskan

Kebijakan membuat peta nasional dicetuskan pada Desember 2010 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peta nasional mutlak dibuat mengingat banyaknya informasi geospasial yang tumpang-tindih antara pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga.

Sejak itu, kebijakan satu peta dicanangkan. Pada 2011, Undang-Undang tentang Informasi Geospasial disahkan. Presiden Joko Widodo melanjutkan proyek tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Targetnya, sebelum perayaan ulang tahun kemerdekaan tahun ini, pemerintah sudah mempunyai peta nasional yang bisa dijadikan acuan dalam membuat kebijakan. Namun tenggat itu terlewati.

Desember 2010
Presiden Yudhoyono berbicara tentang tumpang-tindihnya data geospasial.

April 2011
Undang-Undang Informasi Geospasial disahkan. Aturan ini mengamanatkan adanya peta dasar mengenai rupa bumi, pantai, dan laut Indonesia yang akurat.

Oktober 2011
Badan Informasi Geospasial (BIG) dibentuk.

Desember 2015
Paket Kebijakan Ekonomi yang kedelapan diluncurkan. Salah satunya mempercepat adanya satu peta nasional untuk mendukung pembangunan dan menyelesaikan konflik lahan.

Februari 2016
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta disahkan. Aturan ini mengamanatkan adanya 85 jenis peta tematik yang akurat dengan skala 1 : 50.000. Kementerian Koordinator Perekonomian menjadi penggerak utama. Sebanyak 19 kementerian dan lembaga, termasuk seluruh pemerintah daerah, diminta mengintegrasikan peta yang menjadi kewenangan mereka masing-masing dibantu BIG.

Agustus 2018
Rencana peluncuran geoportal satu peta. Masyarakat bisa ikut mengakses di http://portalksp.ina-sdi.or.id/. INDRI MAULIDAR

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus