PABRIK PT Candra Sari boleh dibanggakan. Alasan: dalam proses produksinya benar-benar zero polution, tak bakal menimbulkan pencemaran lingkungan. Pekan lalu memulai ekspor perdana zat warna, peresmian perluasan pabriknya juga dihadiri Menteri Muda Perindustrian T. Ariwibowo. Pabrik yang di Indonesia ini disebut tercanggih mengamankan lingkungannya dibanding pabrik Ciba-Geigy lain yang sudah ada di 60 negara. Muasalnya mau tahu? "Kami selalu berpikir untuk jangka panjang yang mungkin akan dihadapi. Misalnya bagaimana secara tegas menerapkan peraturan lingkungan hidup," kata Dr. Unseld, warga negara Swiss dan kepala divisi produk Ciba-Geigy di Indonesia itu. Maksudnya juga sebagai contoh. Maklumlah, karena perusahaan yang 30% sahamnya dimiliki NV Sumera - mitra usaha Indonesia - ini merupakan partisipasi pertama Ciba-Geigy dalam pembuatan zat warna di Asia Ten~ara dan di Timur Jauh. Kini Candra Sari tak hanya bisa memproduksi zat-zat kimia, pewarna, khusus untuk industri tekstil, kulit, kertas, deterjen, tapi juga memproduksi zat warna organik untuk industri tekstil - seperti ketika didirikan pada 1975. Selain zat warna reaktif dan zat warna bejana itu, setelah perluasan yang menelan investasi 8 juta dolar AS itu (sekitar Rp 13 milyar) pabrik juga memproduksi zat warna dispersi, yang larut dalam air. Proses menghasilkan zat warna dispersi itu di antaranya menggunakan bahan baku dari senyawa Azo dan senyawa Anthraquinone. Kemudian diolah di dalam empat turbin yang masing-masing setinggi 3 meter. Setelah melewati proses lanjutan, barulah dialirkan ke alat cycloon yang fungsinya memisahkan butiran zat pewarna dari udara. Butiran pewarna yang seperti tepung itu dimasukkan ke kotak-kotak penampung. Kemudian diteruskan dengan pengemasan. Sewaktu diproses di cycloon (seperti silinder dan ujungnya agak meruncing), zat pewarna yang dipanaskan serta diputar karena gaya sentrifugal - memisahkan gas sisa dari tepung zat pewarnanya "Dan gas sisa itu belum sepenuhnya bersih dari zat pewarna, sehingga kami perlu membersihkannya lagi," kata Ir. Bambang Djunaidi, 32 tahun. Ia pernah mengikuti training di Busel, Swiss, pusat berdirinya Ciba-Geigy. Kemudian gas tadi dlahrkan ke alat pemisah (scrubber) yang berbentuk silinder yang tingginya sekitar 4 meter. Setelah gas sisa ditampung di situ, lalu disemprot dengan air sampai tiga tahap. Gunanya agar gas buangan yang dikeluarkan lewat cerobong asap itu benar bebas polusi Cerobong didesain dengan mulut mengarah ke bawah. Selain mudah melakukan tes terhadap kebersihan asapnya, itu juga menghambat masuknya air hujan. Tes terhadap gas buangan di mulut cerobong bahkan gampang saja. Dekatkan selembar kain putih ke mulut cerobong di saat sedang berasap, misalnya selama tiga jam sekali. "Jika di atas tester tadi tak terjadi perubahan warna, maka dapat dipastikan bahwa udara buangan tersebut sudah bersih dari kemungkinan pencemaran lingkungan," ujar Bambang, yang sekarang manajer produksi di sana. Bila demikian urutan penyaringannya, itu berkat semprotan air sampai tiga kali tadi. Sehingga butir zat pewarna yang masih ada akan larut ke dalam air, dan jatuh. Ini limbah juga. Maka, air limbah itu ditampung lagi di dalam semacam sumur. Tempat ini dibuat dari baja berlapis beton. Jika kandungan zat pewarna mencapai 7%, air limbah disedot dan dialirkan ke container berukuran 1 m3. Lalu disimpan di gudang. Gunanya, jika kelak jumlahnya sudah cukup banyak, limbah itu diproses ulang (recycling) hingga jadi bahan baku zat pewarna dispersi lagi. Proses zero polution itu tampak sederhana. Padahal, Candra Sari harus mengeluarkan sekitar 1,8 juta dolar AS. Biaya perlengkapan itu 23% dari investasi perluasan yang diizinkan pemerintah pada 1985. Sedangkan biaya perawatan alat dimaksud masih diperlukan hingga 30% dari biaya produksi. "Kalau nanti Ciba-Geigy akan mendirikan pabrik sejenis, maka minimal standar yang harus dimiliki oleh pabrik tersebut sama seperti yang ada di sini. Dan pengalaman dan teknologi yang digunakan di sinilah kami mengambil manfaat bagi pembangunan pabrik berikutnya," kata Dr. Frans Tshai, Public Affairs and Corporate Issues dari Ciba-Geigy Indonesia itu. Dihitung-hitung, pabrik di atas tanah 4,5 ha itu lebih irit. Ini kalau dibandingkan dengan membangun pabrik di lokasi baru, lengkap dengan segala tetek-bengeknya, tanpa zero polution. Menurut Eric Stadelmann, warga Swiss dan kepala perwakilan Ciba-Geigy di Indonesia, niat mulianya semula memang begitu. "Belakangan kami memutuskan tetap memakai kompleks pabrik yang sudah ada, tetapi dengan menggunakan konsep zero polution," ujarnya. Namun, karena biaya perawatannya begitu besar, kemudian Stadelmann tampaknya bimbang juga. Bahkan mungkin harus dihitung ulang. Candra Sari yang tiap tahun mampu memproduksi 1.300 ton zat pewarna, hasil itu baru 75% diserap pasaran dalam negeri. Agar kapasitas alat yang sudah dipasang itu terpakai, maka Candra Sari memutuskan untuk mengekspor zat warna dispersi. Produk sebanyak 24 ton itu nilainya Rp 620 juta, dikapalkan ke Hong Kong, Macao, dan Taiwan. Meski jumlah tersebut belum terlalu gemuk, setelah ekspor perdana tadi itu bakal ada lanjutannya. Apalagi jika melihat penjajakan yang sudah dilakukan Candra Sari: sekarang slap pula mengekspor produksinya ke Muangthai, Malaysia, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang. Pabrik yang berlokasi di km 27,3 jalan raya Jakarta-Bogor itu agaknya memang ingin dijadikan contoh. Bukan saja karena untung yang dikejar itu sudah di tangan. Bahkan lingkungan dibikin aman oleh alat kedapnya. Suha~rdjo Hs. & ~Rusta~m F. ~Mandayun ~(Jaka~rta~)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini