Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Repelita kelima menurut jepang

18 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA suatu hal yang menarik dari Konperensi Indonesia-Jepang ke-13, diselenggarakan oleh CSIS dan Japan Institute of International Affairs di Bali pada 6--7 Juni 1988. Lewat suatu makalah, pihak Jepang - meski tidak semua peserta Jepang mempunyai persepsi yang sama - mengungkapkan persepsi pesimistis mengenai prospek perkembangan perekonomian Indonesia. Pihak Jepang mengemukakan semacam hipotesa bahwa Indonesia dapat terperangkap dalam lingkaran setan pada tahun 1988 ini: permasalahan yang dihadapi akan memperlambat laju pertumbuhan. Laju prtumbuhan yang lebih lambat akan memperberat permasalahan. Dan permasalahan yang lebih berat akan lebih memperlambat laju pertumbuhan dan seterusnya. Hipotesa tersebut diajukan karena dinilai bahwa perkembangan pasaran domestik masih akan lamban, sehubungan dengan kebijaksanaan fiskal dan moneter yang ditempuh. Di lain pihak, ada anggapan bahwa orientasi ekspor yang sudah gencar belum dapat diharapkan untuk menjadi penggerak perekonomian yang pertumbuhannya sedang mengendur (antara lain karena inefisiensi kronis, ekonomi biaya tinggi, nilai tukar mata uang rupiah yang belum menguntungkan, di samping faktor-faktor ekstern). Dan karena beban utang serta defisit neraca perdagangan terus meningkat dalam jumlah besar. Dalam garis besarnya, permasalahan yang diajukan ada enam. Pertama, adanya tekanan terhadap anggaran negara, terutama karena peningkatan luar biasa beban pembayaran utang luar negeri dalam rupiah. Kedua, penurunan besar persentase penerimaan dari minyak dalam anggaran. Ketiga, beban berat utang luar negeri, dan debt ser~vice ratio yang semakin membengkak. Keempat, defisit neraca pembayaran yang diantisipasikan akan mencapai US$ 654 juta, sedangkan devaluasi dihadapkan pada kendala tekanan inflasi. Kelima, tingkat investasi yang diharapkan akan menurun. Keenam, pengangguran yang mencapai tingkat sekitar 40% dari keseluruhan jumlah tenaga kerja. Dalam pembahasannya, pihak Indonesia tidak menunjukkan rasa ter~singgung atau berkecil hati. Tentu faktanya perlu didudukkan terlebih dahulu, selain argumentasinya diluruskan. Kalau dinyatakan defisit neraca perdagangan terus meningkat dalam jumlah yang sangat besar, kenyataannya justru sebaliknya. Surplus di tahun anggaran 1983-84 mencapai US$ 1,8 milyar, ~1984-85 US$ 4,6 milyar, 1985-86 US$ 4,3 milyar, 1986-87 US$ 4,3 milyar, dan 1987-88 sekitar US$ 4 milyar. Dalam kurun waktu tersebut, impor terus menurun dari di atas US$ 18 milyar menjadi di bawah US$ 13 milyar pada 1986-87. Walaupun kemudian sedikit meningkat menjadi sekitar US$ 14 milyar. Demikian pula angka-angka proyeksi yang ada sampai jangka menengah tidak menunjukkan kemungkinan terjadinya defisit dalam neraca pembayaran. Bahkan akan terus mencapai surplus. Memang untuk 1988-89, diperkirakan defisit sebesar US$ 654 juta dalam transaksi berjalan, tapi bukan dalam neraca pembayaran. Defisit sebesar ini, ditambah amortisasi utang luar negeri di atas US$ 3,6 milyar. akan diimbangi pemasukan dana luar negeri yang lebih besar, ~hingga neraca pembayarannya sendiri diperkirakan mencapai surplus US$ 812 juta. Memang ada yang memperkirakan, karena meningkatnya impor, defisit transaksi berjalan dapat meningkat menjadi US$ 1,9 milyar. Kalaupun ini terjadi, proyeksi mengenai lalu lintas modal masih membuahkan surplus neraca pembayaran sekitar US$ 700 juta. Bagaimanapun, proyeksi angka-angka defisit transaksi berjalan untuk beberapa tahun mendatang tak perlu menimbulkan kekhawatiran. Sebab, semuanya masih di bawah USS 2 milyar (kurang dari 3% Produk Nasional Bruto). Apalagi bila diingat bahwa defisit transaksi berjalan pada 1982-83 pernah lebih dari US$ 7 milyar, atau hampir 8% dari PNB. Selanjutnya, pihak Indonesia memberi kualifikasi terhadap pernyataan pihak Jepang mengenai beban utang. Hingga 1984, sebetulnya debt service ratio hanya meningkat marginal, dan masih tetap di bawah 20%. Lonjakan baru terjadi sejak 1985, tak lain karena kemerosotan nilai dolar, yang kemudian disusul penurunan tajam harga minyak pada 1986. Debt service ratio sektor publik pada 1985 mencapai sedikit di atas 18%, seharusnya menurun menjadi 17,5% pada tahun berikutnya, dan menurun lagi menjadi 16,5% tahun 1987, andai kata nilai dolar dan harga minyak tetap pada tingkat 1985. Hanya karena depresiasi dolar saja, antara 1985-86 dan 1987-88 beban pembayaran utang luar negeri meningkat sekitar US$ 2 milyar, tiga perempat di antaranya disebabkan apresiasi yen. Mengenai laju pertumbuhan ekonomi 1986, angka yang dicapai bukanlah 1,9% seperti dikemukakan, melainkan di atas 3% (antara 3,2% dan 3,6%). Untuk 1987, diproyeksikan sedikit lebih tinggi. Penurunan persentase penerimaan minyak dalam anggaran tak perlu dirisaukan, karena menunjukkan perkembangan yang sehat. Rasio investasi sebagai persentase Produk Domestik Bruto memang cenderung menurun, terutama karena berkurangnya pengeluaran investasi negara belakangan ini. Namun, ada tandatanda meningkatnya investasi swasta, terutama yang berorientasi ekspor, sehingga dapat diperkirakan adanya kecenderungan rasio investasi akan pulih dalam jangka menengah. Di tahun 1986-87 nilai ekspor nonmigas melonjak menjadi US$ 9,5 milyar dibandingkan US$ 6,7 milyar di tahun sebelumnya. Ditambah dengan peningkatan nilai ekspor migas, keseluruhan ekspor meningkat dari US$ 13,7 milyar menjadi US$ 17,9 milyar, dan masih akan meningkat lagi menjadi lebih dari US$ 19,5 milyar pada tahun 1988-89. Kelihatannya, momentum ekspor akan terus bertahan, dan bahkan mungkin dapat ditingkatkan, sehingga menjadi sumber dinamis baru bagi perekonomian Indonesia. Berbagai keberhasilan yang dicapai telah dapat membentuk kerangka landasan yang cukup kuat, sehingga pihak Indonesia berpandangan, kiranya tidak berkelebihan untuk menjadi optimistis berdasarkan penilaian keadaan pada saat ini. Memang ada dua kendala besar yang memprihatinkan, yakni tidak menentunya harga minyak dan besarnya beban pembayaran utang luar negeri sebagai akibat dari revaluasi beberapa mata uang asing. Keduanya mempunyai dampak yang besar terhadap penyediaan dana rupiah dan valuta asing untuk pembangunan, dan untuk sementara menimbulkan masalah cash-flo~w. Namun, dari berbagai indikasi, kesemuanya masih dalam batas-batas yang dapat dikendalikan untuk menjamin terus berlangsungnya, bahkan meningkatnya, kegiatan pembangunan selama harga minyak tidak turun drastis dan nilai dolar tidak merosot tajam. ~Kepala Badan Peneli~ian dan Pengembangan ind~ustri di Departemen Perind~ustrian. Gelar Ph.D. di bidang ekonometri diraihnya pada 1968 dan Wayne State University, Detroit, AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus