Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA nyaris tak percaya pada apa yang dilihatnya. Anton Ario, peneliti macan tutul dari Conservation International Indonesia (CII), kembali memandang gambar yang terekam di layar kamera digital: dua sejoli macan tutul. "Belum pernah ada foto macan sedang berpasangan," katanya dengan nada antusias, Rabu dua pekan lalu.
Di dalam foto tertanggal 7 Juni 2014 pukul 15.57 itu terlihat dua ekor macan tutul Jawa (Panthera pardus melas). Macan pertama berada tepat di tengah frame. Macan kedua di sisi kanan, agak jauh di belakang macan pertama. Keduanya seakan-akan sedang mengendap-endap di tengah hutan. Anton menduga macan kedua berjalan mengikuti macan di depannya. "Kemungkinan besar jantan dan betina," ujarnya.
Sebuah kamera jebak yang menempel di batang pohon, setengah meter di atas tanah, mengabadikan gerak-gerik pasangan karnivora ini. Kamera berwarna abu-abu itu dipasang tepat di tengah pertigaan jalan setapak di area hutan Chevron Geothermal Salak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasinya masih termasuk dalam kawasan hutan Gunung Salak, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Siang itu Tempo berkesempatan mengikuti Anton dan timnya untuk memanen hasil jepretan kamera jebak di titik survei AWI 3 dan AWI 5. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Eye on The Forest, kerja sama CII dan Chevron sejak Januari 2014 untuk pengawasan satwa melalui pemasangan kamera jebak. Mereka memantau serta memetakan sebaran dan populasi macan tutul, owa, dan elang Jawa di wilayah kerja panas bumi milik Chevron seluas 10 ribu hektare—274 hektare di antaranya dijadikan fasilitas produksi.
Sebelumnya, pada 2006-2007, CII menggelar survei pemantauan macan tutul di kawasan yang sama. Nah, pemantauan kali ini akan dipakai untuk menentukan apakah macan tutul yang pernah diidentifikasi tujuh tahun lalu masih ada di situ. Kalaupun tampak masih ada, apakah macan itu individu yang sama. "Kami belum bisa menentukan populasinya," kata Anton.
Anton dan timnya memasang enam unit kamera dan video jebak di empat lokasi. Tiga kamera jebak di dua lokasi lain sudah diambil sehari sebelumnya. Kamera jebak difokuskan untuk memantau macan tutul. Sedangkan owa dan elang Jawa diamati lewat metode survei. Ketiga spesies itu merupakan satwa kunci di kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak.
Titik survei AWI 3 adalah area yang dilewati si pasangan macan tutul. Letaknya di ketinggian 1.305 meter dari permukaan laut. Kawasannya masih berupa hutan yang cukup rimbun. Udaranya sejuk. Kanopi pepohonannya saling bertautan. Lantai hutannya beralaskan serasah.
Namun lokasi ini sesungguhnya belum terlalu masuk ke jantung rimba. Titik penampakan duo macan tutul hanya berjarak sekitar 20 meter dari batas tepi lapangan AWI 3, salah satu sumur uap Chevron yang luasnya separuh lapangan sepak bola. Pipa-pipa untuk mengalirkan uap air dari perut bumi masih terlihat dari titik pemasangan kamera jebak. Bahkan suara gemuruh dari sumur uap juga terdengar cukup jelas.
Anton mengatakan kamera jebak sengaja dipasang menghadap jalan setapak karena macan tutul diketahui biasa menggunakan jalur yang sudah ada di dalam hutan. Terkadang mereka melintasi jalur yang kerap dipakai manusia. "Jalur setapak juga sering dilewati mangsa macan, misalnya kijang dan babi," ucapnya. Peluang menjepret si tutul menjadi lebih besar jika kamera dipasang di tengah persimpangan jalan.
Dari lokasi ini, Anton memanen 25 foto yang terekam satu bulan terakhir. Namun, dari jumlah itu, hanya ada tiga gambar berisi macan tutul. Salah satunya foto pasangan macan yang sempat mengagetkannya. Lalu ada dua foto kucing hutan. Sisanya justru potret para pegawai Chevron yang mondar-mandir di sekitar sumur uap dan melewati kamera jebak. Setiap obyek yang melintas di depan kamera otomatis kena jepret.
Menurut Anton, potret sepasang macan tutul itu sangat langka. Macan tutul termasuk hewan soliter dan mereka hanya berpasangan pada musim kawin selama Juli-September. Di luar waktu itu, setiap individu macan tutul akan menjelajahi hutan sendirian. "Momen mereka berpasangan atau membawa anak sangat susah diabadikan," ujarnya. Jika benar dua macan itu adalah pasangan, kata Anton, tahun depan mereka seharusnya sudah memiliki momongan.
Temuan menarik juga dijumpai di titik survei AWI 5, lokasi yang masih berupa hutan lebat di ketinggian 1.410 meter dari permukaan laut. Kamera dan video jebak di lokasi ini, yang dipasang berhadapan sejauh sekitar lima meter, merekam seekor macan tutul jantan dewasa berwarna hitam. Kejadiannya pada 13 Juni 2014 pukul 4-6 pagi, lima hari sebelum kedatangan kami. Si hitam sedang asyik gegoleran di sepetak lahan beralaskan serasah dan beratapkan tautan kanopi pepohonan.
Macan tutul hitam biasa disebut macan kumbang. Ia merupakan varian dari macan tutul Jawa yang berwarna hitam. Macan kumbang sebenarnya memiliki pola totol seperti kerabatnya, meski seluruh tubuhnya hitam. Hanya, corak itu lebih sulit diamati karena tertutup warna rambut hitam yang dominan. Berbeda dengan si tutul yang tubuhnya dominan kecokelatan dengan totol hitam.
Berbicara soal corak totol, macan tutul dan macan kumbang diidentifikasi dengan cara berbeda. Bagi macan tutul, corak totol ibarat sidik jari. Setiap individu memiliki corak totol khas yang tidak mungkin kembar dengan yang lain. Ciri spesifik corak totol, baik pada tubuh maupun wajah, dipakai oleh para ilmuwan untuk mengenali dan membedakan antarindividu macan tutul.
Lain cerita dengan macan kumbang. Si hitam diidentifikasi dari ukuran tubuh dan umur relatif berdasarkan tampilan wajah. Semakin tua umurnya, wajah macan kumbang akan diwarnai bintik-bintik putih, terutama di sekitar mulut dan hidung. "Kalau di atas sepuluh tahun ada banyak bintik putih di wajahnya," ujar Anton. Selain itu, para ilmuwan mengamati tanda bekas luka di beberapa bagian tubuh si hitam.
Macan tutul Jawa termasuk satwa dilindungi. Daftar Merah Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN Red List) mencantumkannya ke golongan satwa terancam punah. Populasi kucing besar yang jago memanjat pohon dan berenang ini diperkirakan tinggal 350-700 individu. Itu pun endemik di sejumlah kawasan hutan taman nasional di Pulau Jawa.
Macan tutul kini menjadi karnivora besar terakhir yang tersisa setelah harimau Jawa dinyatakan punah pada 1980-an. Namun kerusakan habitat, perburuan, dan berkurangnya mangsa terus mendorong populasi macan tutul ke tubir kepunahan. "Luas habitat yang tersisa bagi macan tutul hanya 2.267-3.277 kilometer persegi," tulis IUCN dalam situsnya.
Menghitung populasi macan tutul memang tidak gampang. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dalam survei monitoring terpisah, belum dapat memastikan angkanya. Namun, dari hasil pengamatan dengan kamera jebak di tujuh lokasi, populasi macan tutul menunjukkan tren kenaikan. Lokasi pengamatan mencakup wilayah taman nasional yang meliputi sebagian Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Lebak.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Tri Siswo Rahardjo mengatakan jumlah macan tutul yang teramati sepanjang 2013, misalnya, tercatat 16 individu. "Pengamatan sampai pertengahan tahun ini jumlahnya 18 ekor," katanya di kantornya, Rabu pekan lalu. Dengan area seluas 113.357 hektare, pemantauan satwa kunci di Halimun-Salak kerap terhambat sarana dan keterbatasan personel.
Toh, tidak setiap orang beruntung bisa berjumpa langsung dengan macan tutul Jawa. Bagi Anton, "keberuntungan" itu belum menghampirinya. Tapi tidak bagi sejumlah karyawan Chevron. "Beberapa bulan lalu saya melihat seekor macan melintas. Kira-kira masih anakan," ujar seorang teknisi Chevron. Ketika itu ia sedang memperbaiki pipa di daerah cekungan di area sumur KW 1.
Macan tutul memang sesekali muncul di wilayah operasional Chevron. Aktivitas mereka biasanya pada malam hari, tapi pernah pula terlihat di siang hari. Pada Februari-April lalu, ada seekor macan tutul ditemukan bersama anaknya. Sedangkan pada waktu-waktu lain, "Macan tutul biasanya terlihat beraktivitas sendiri," kata Paul Mustakim, General Manager Policy, Government and Public Affairs Chevron Geothermal and Power Operations.
Bahkan macan tutul pernah ditemukan sedang berjalan atau tidur di atas pipa uap. Entahlah, mungkin si tutul hanya penasaran atau memang bermaksud menghangatkan diri. Yang pasti, menurut Anton, cukup banyak informasi tentang keberadaan anakan macan tutul. Namun belum tentu semua itu benar. "Bisa saja itu kucing hutan karena sama-sama punya totol dan kecil," ujarnya.
Mahardika Satria Hadi
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas)
Status konservasi: terancam punah.
Populasi: 350-700 individu.
Usia matang seksual: di atas 3 tahun.
Rentang umur: mencapai 25 tahun.
Habitat: hutan tropis dataran rendah sampai ketinggian 2.000 meter.
Persebaran: endemik Pulau Jawa, antara lain di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Gunung Halimun Salak, Ceremai, Merbabu, Ujung Kulon, Meru Betiri, Bromo Tengger Semeru, Baluran, dan Alas Purwo.
Mangsa: kijang, kancil, babi hutan, owa, surili.
Ancaman: rusaknya habitat, perburuan, berkurangnya mangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo