Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Setelah 'Cincinnatus' Bersurat

Dua buku tentang keberanian melawan lembaga intelijen yang sangat berkuasa. Kritik keras terhadap program penyadapan masif yang tak terkontrol.

7 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Snowden Files: The Inside Story of the World's Most Wanted Man
Penulis: Luke Harding
Penerbit: Vintage Februari 2014

Sejak masa sesudah serangan teror di Amerika Serikat pada 11 September 2001, kabar mengenai penyadapan masif oleh National Security Agency (NSA) sudah mirip dogma. Adanya kegiatan merekam komunikasi elektronik hampir siapa saja di dunia itu, yang dijalankan tanpa perintah pengadilan, dipercaya sebagai sesuatu yang memang sudah semestinya.

Kepercayaan itu bersemayam kukuh di benak publik. Pemberitaan The New York Times pada 2001 pun, yang mengungkapnya untuk pertama kali, bahkan tak menggugah kesadaran berarti perihal derajat penyalahgunaan kekuasaan di baliknya. Tak terbayangkan pula bagaimana privasi, terutama hak untuk bebas dari penggeledahan apa pun secara tak sah, bisa begitu bebas diinjak-injak. Tapi situasi ini bisa dipahami mengingat tak ada cukup bukti yang meyakinkan.

Perlu sepuluh tahun lebih untuk membalikkan keadaan atau sekurang-kurangnya menjadikan isu itu bahan perdebatan terbuka yang melibatkan berbagai kalangan. Pemicunya adalah pembeberan dokumen internal NSA tentang berbagai aspek dari kegiatan penyadapan yang dilakukannya. Peristiwa ini disebut-sebut merupakan pembocoran dokumen terbesar dalam sejarah.

Semuanya bermula dari surat elektronik yang menghampiri Glenn Greenwald di kediamannya di Rio de Janeiro, Brasil, pada Desember 2012. Greenwald adalah bekas pengacara hak-hak sipil yang ketika itu baru bergabung menjadi penulis di The ­Guardian setelah bekerja untuk Salon. Dikirim oleh seseorang yang memakai nama samaran Cincinnatus, surat ini menjanjikan kepada Greenwald salinan dokumen kegiatan rahasia NSA. Belakangan, terungkap Cincinnatus tak lain adalah Edward Snowden, bekas kontraktor NSA yang meninggalkan pekerjaan mapan dan kekasihnya serta memilih menjadi "peniup peluit" atau whistleblower kasus pelanggaran hukum yang, sebenarnya, bisa menyeret Presiden Amerika.

Selama kurang-lebih enam bulan, dari tempat pelariannya di Hong Kong, Snowden menjawab pertanyaan dan memindahtangankan ribuan berkas berklasifikasi rahasia kepada Greenwald dan temannya, pembuat film dokumenter Laura Poitras. Berkas-berkas itu menunjukkan bagaimana NSA, lembaga intelijen Amerika paling misterius, memata-matai siapa saja—apa yang mereka lakukan, katakan, pikirkan, dan rencanakan—di planet ini. NSA dibantu dan didukung oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi dan teknologi informasi, seperti Verizon, Facebook, Google, dan Yahoo.

Berdasarkan bukti-bukti itu, ditambah berbagai wawancara dan upaya pengecekan di lapangan, Greenwald menerbitkan seseri artikel di The Guardian, koran Inggris yang mengoperasikan "cabang" Amerika dari New York. Artikel-artikel itu bagai tembakan meriam yang telak, mengguncang kebisuan yang bercokol lama soal sepak terjang NSA. Belakangan, artikel-artikel itu memenangi dua penghargaan, ­George Polk Award dan Pulitzer Prize.

Buku No Place to Hide: Edward Snowden, the NSA, and the U.S. Surveillance State karya Greenwald dan The Snowden Files: The Inside Story of the World's Most Wanted Man karya Luke Harding ditulis berdasarkan pengalaman investigasi Greenwald. Keduanya merupakan ikhtiar untuk memperkuat argumentasi melawan penyalahgunaan kekuasaan yang berlindung di balik kerahasiaan, atas nama keamanan nasional. Snowden dan Greenwald sependapat ketidakterbukaan institusi negara membahayakan kehidupan umum. Apalagi jika institusi itu punya kewenangan seperti NSA. Greenwald menulis: "Kami sepakat... para pejabat keamanan nasional tak suka terang. Mereka bertindak sewenang-wenang dan jahat hanya ketika mereka percaya mereka aman dalam gelap."

Dramatisasi tak terelakkan. Pembaca malah akan merasa sedang menghadapi novel spionase, terutama di dua bab awal buku Greenwald yang sebagian merupakan penuturan mengenai interaksi personalnya dengan Snowden. Bukan masalah; bagaimanapun penulis-penulisnya adalah wartawan yang menguasai trik menyajikan hasil liputan supaya memikat. Di luar itu, bagian yang lebih penting adalah pembahasan secara mendalam program penyadapan NSA serta cara kerja dan bahayanya. Pada buku Greenwald, komentar-komentar yang dikemukakannya adalah kritik keras terhadap pemerintah dan media secara umum.

Sementara Greenwald mungkin terlalu asyik sendiri di bagian itu, Harding mengimbanginya dengan pemaparan khas para pencatat yang berjarak. Mereka saling melengkapi. Bagi peminat wacana tentang penyadapan dan privasi, atau cara jurnalisme investigasi bekerja dalam kaitan dengan isu itu, dua buku ini bagaimanapun adalah bagian yang tak bisa diabaikan.

Purwanto Setiadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus