KELAPARAN yang baru-baru ini timbul di berbagai desa kabupaten
Karawang, Jawa Barat, membuat orang kembali bicara tentang
perlunya ditinjau kembali sistim monokultur padi, yang dilakukan
Departemen Pertanian. Sebagai gantinya beberapa ahli menilai
perlunya kembali pada sistim multiple cropping (pertanian
majemuk). Ini dikemukakan oleh Dr. Ida Nyoman Oka dari LP3 Bogor
(TEMPO), 8 Oktober). Bagyo Suminto pengamat pertanian yang
bekerja pada Pusat Latihan Batan di Pasar Jumat. Jakarta juga
beranggapan begitu. Berikut ini tulisannya:
Cara bercocok tanam yang kini terkenal dengan sebutan multiple
cropping ini, sudah ratusan tahun dikenal petani. Cuma sekarang
lebih diintensifkan sejalan dengan kemajuan teknologi pertanian.
Apa maksudnya multiple cropping itu? Istilah Indonesia yang
tepat taunpaknya belum ada. Tapi mak.cudnya kurang lebih begini:
menanami sebidang tanah dengan dua atau lebih jenis tanama,
dalam waktu bersamaan atau bergiliran.
Ada lima sistim pelaksanaan multiple cropping, yaitu:
* Rotasi tanaman, yaitu penanaman jenis tanaman lain sesudah
tanaman pertama dipanen. Misalnya sayur-sayuran, kacang-kacangan
yang ditanam setelah pagi, jagung atau tebu dipanen.
* Tumpang sari. Ini adalah penanarman dua atau lebih jenis
tanaman secara serempak, yang biasanya diatur dalam barisan.
Sistim ini ada dua, yakni tumpang sari tanaman yang sama
umurnya. Misalnya jagung dengan kedele. Serta turnpang sari
tanaman yang berbeda umurnya. Misalnya tebu dengan jagung.
Tumpang sari ini dapat pula dilakukan terhadap tanaman tahunan.
Misalnya kelapa dengan kopi atau kakao (coklat), atau kopi
dengan kakao.
* Tumpang gilir, yaitu penanaman jenis tanaman lain pada waktu
tanaman pertama mulai masak. Misalnya penanaman kedele di antara
jagung yang 10 hari lagi bakal dipanen.
* Interkultur, penanaman tanaman semusim di antara barisan
tanaman tahunan yang masih muda. Misalnya kacang-kacangan atau
jagung yang ditanam di antara cengkeh.
Hati-Hati
Sistim bercocok tanam seperti itu memanfaatkan tanah, air dan
waktu seefisien mungkin. Dengan demikian frekwensi panen serta
penghasilan petani dari sebidang tanah yang luasnya sama dapat
ditingkatkam hal ini tentu sangat menguntungkan bagi petani di
Jawa, yang luas tanahnya sangat terbatas -0,5 - 2 Ha.
Memang, produksi masing-masing tanaman yang ditumpang-sarikan
atau ditumpang-gilirkan itu lebih rendah daripada yang di
monokultur-kan. Tapi total jenderal, penghasilan petani akan
lebih tinggi. Praktek di Pilipina misalnya, menunjukkan betapa
petani dengan sistim tumpang sari/gilir tertentu dapat memanen
22 ribu pesos (sekitar Rp 1 juta) setahun. Sedang dari 1 Ha
tanah yang hanya ditanami padi saja, hanya akan diperoleh 3500
pesos (sekitar Rp Rp 175 ribu) setahun.
Selain hasilnya jadi meningkat, ada penghematan biaya pengolahan
tanaldan pemeliharaan tanaman. Biaya itu diperkecil, karena
populasi hama yang menyerang tanaman turun. Juga tumbuhan
pengganggu (rerumputan) tertekan, karena tanah selalu tertutup
oleh tajuk tanaunan.
Tanah yang selalu tertutup tajuk tanaman terlindung dari panas
matahari. Akibatnya penguapan air dari permukaan tanal1
berkurang pula, sehingga kondisi tanah tetap baik dan gembur.
Penelitian juga menunjukkan, bahwa kebutuhan air untuk tanaman
ladang hanya sepertiga dari kebutuhan pengairan padi sawah. Juga
pupuk dimanfaatkan dengan lebih efektif oleh tanaman yang
ditumpang sari/tumpang-gilirkan daripada sistim tanam
monokultur.
Bagaimana pun, pelaksanaan tumpangsari/tumpang-gilir perlu
berhati-hati. Sebab sistim ini terlalu "memeras tanah". Setiap
jengkal tanah dituntut berproduksi sebanyak dan sesering
mungkin, setiap musim. Makanya. kelestarian kesuburan tanah
perlu dijaga dengan mengkombinasikan sistim pergiliran tanaman
dengan pemupukan yang serasi. Untuk itu tentu saja perlu
bimbingan bagi petani.
Penyelenggaraan proyek perintis multiple cropping oleh Pemda
Jatim yang bekerjasama dengan Taiwan di Pagu. Kabupaten Kediri
(dataran rendah) dan Pujon, Kabupaten Malang (pegunungan)
merupakan rintisan yang baik sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini