Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Mengapa Keterwakilan Perempuan dalam Perhutanan Sosial Rendah

Studi menunjukkan rendahnya keterwakilan perempuan dalam perhutanan sosial. Berisiko meningkatkan ketimpangan gender.

22 November 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Studi terhadap 400 berkas izin perhutanan sosial menunjukkan perempuan kerap dikecualikan dalam lembaga pengambil keputusan.

  • Norma yang dipromosikan rezim Orde Baru ihwal peran perempuan, serta tingkat pendidikan, mempengaruhi dominasi laki-laki dalam pengelolaan dan pendistribusian manfaat perhutanan sosial.

  • Praktik perhutanan sosial di Sintang dan Gunungkidul bisa jadi contoh meningkatkan partisipasi perempuan yang lebih bermakna.

ANALISIS kami terhadap izin perhutanan sosial di Indonesia menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dalam kelembagaan pengelola hutan masih kurang, meskipun ada upaya untuk meningkatkan kehadiran mereka. Perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang hutan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perhutanan sosial mendistribusikan kembali hak pengelolaan hutan kepada masyarakat lokal untuk memajukan keberlanjutan dan mata pencarian lokal. Pada 2021, negara ini merevisi peraturan perhutanan sosial yang mengizinkan satu perwakilan keluarga berpartisipasi dalam badan pengelola perhutanan sosial—memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun analisis kami terhadap 400 dokumen izin perhutanan sosial terkini, dikombinasikan dengan penelitian lapangan multimetode yang diperluas di empat lokasi, menunjukkan bahwa perempuan sering dikecualikan dari badan pengelola, tapi lebih terlibat dalam kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Kelompok-kelompok ini berfokus pada pengolahan dan penjualan hasil hutan.

Tingkat partisipasi yang rendah dalam pengelolaan ini mengecualikan perempuan dari pengambilan keputusan tentang siapa yang menerima manfaat, seperti lahan untuk bercocok tanam, bibit, peralatan, pelatihan, penyuluhan, serta informasi teknis yang disediakan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat. Kurangnya keterlibatan perempuan dapat memperparah kesenjangan lokal dan menghambat pengelolaan hutan yang efektif.

Ketimpangan Gender dalam Perhutanan Sosial

Kami meninjau 400 surat keputusan terbaru, mayoritas diterbitkan pada 2024, ihwal pemberian hak pengelolaan kehutanan. Surat keputusan ini mencakup 100 izin untuk pengelolaan hutan desa dan hutan kemasyarakatan, beserta masing-masing KUPS. Hutan desa merupakan hak yang dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh pemerintah desa. Sedangkan hutan kemasyarakatan diberikan kepada kelompok petani atau masyarakat tertentu.

Analisis kami menemukan bahwa, di seluruh Indonesia, perempuan sering kurang terwakili dalam kelompok pengelola. Rata-rata hanya 19,54 persen anggota dalam badan pengelola hutan desa adalah perempuan, dengan tingkat partisipasi dari tidak ada hingga 80 persen. Angkanya bahkan lebih rendah pada hutan kemasyarakatan, yaitu rata-rata 13,95 persen perempuan, dengan beberapa kelompok tidak memiliki anggota perempuan, serta yang lain sampai dengan 56,52 persen.

Namun data yang tersedia kerap tidak memberikan rincian tentang gender dalam surat keputusan yang berkaitan dengan KUPS. Hanya 19 dari 100 SK KUPS hutan desa dan 23 dari 100 SK KUPS hutan kemasyarakatan yang memuat informasi tersebut.

Jika data gender disertakan, perempuan lebih banyak terlibat dalam KUPS hutan desa, dengan rata-rata partisipasi 46,32 persen. Sebaliknya, partisipasi mereka dalam KUPS hutan kemasyarakatan hanya 13,06 persen.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa kemajuan representasi gender dalam perhutanan sosial Indonesia beragam. Meskipun perempuan lebih aktif dalam kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan KUPS, mereka masih terpinggirkan dalam peran manajemen formal dan pengambilan keputusan.

Memahami Partisipasi yang Tidak Merata

Penelitian lapangan kami juga menyoroti bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi dalam perhutanan sosial serta memperoleh manfaatnya. Selain itu, kami mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan perempuan (dan laki-laki).

Kami berfokus pada empat lokasi perhutanan sosial—dua hutan desa di Kabupaten Sintang (Kalimantan Barat) dan Kabupaten Muara Enim (Sumatera) serta dua hutan kemasyarakatan di Kabupaten Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan). Kami memilih lokasi yang mencerminkan berbagai tingkat partisipasi perempuan.

Tabel 2 menyoroti kesenjangan: meski perempuan terlibat aktif dalam pemanfaatan lahan hutan—seperti mengumpulkan dan mengolah hasil hutan bukan kayu dan mengelola lahan perhutanan sosial—di dua lokasi (Enrekang dan Muara Enim), mereka tidak terlibat dalam badan pengelola yang membuat keputusan tentang pemanfaatan lahan, sumber daya hutan, serta distribusi manfaat.

Sebagai contoh, Masna (nama samaran), petani dan pengguna hutan dari Enrekang, berbagi bahwa keterlibatannya dalam badan pengelola hutan desanya (kelompok tani hutan) terbatas pada menyiapkan makanan ringan ketika laki-laki membuat keputusan.

Mengapa Hal Ini Terjadi?

Norma gender yang mengakar kuat secara signifikan membatasi keterlibatan perempuan dalam perhutanan sosial di beberapa lokasi. Norma-norma ini sering menetapkan tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan yang tidak dibayar kepada perempuan, sehingga menempatkan laki-laki sebagai pengambil keputusan utama. Hal ini mempengaruhi kepercayaan diri dan partisipasi perempuan dalam pertemuan desa, forum untuk membuat keputusan pengelolaan hutan, sehingga mengurangi partisipasi perempuan.

Temuan kami sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bagaimana peran gender, yang dipengaruhi oleh wacana yang dipromosikan oleh rezim Orde Baru, terus membentuk praktik-praktik pengakuan laki-laki sebagai pencari nafkah dan pemilik tanah. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki dalam diskusi formal dan badan-badan pembuat keputusan.

Meskipun tidak ada persyaratan pendidikan untuk bergabung dengan perhutanan sosial, penelitian menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memiliki pengaruh yang lebih besar. Dalam penelitian kami, perempuan dalam rumah tangga perhutanan sosial rata-rata menempuh pendidikan lebih sedikit (6,6 tahun) dibanding laki-laki (8,1 tahun). Tingkat pendidikan yang lebih rendah, tantangan sosial-ekonomi, dan kepercayaan diri yang rendah dalam forum-forum publik, ketika pendidikan sering kali meningkatkan kredibilitas, dapat makin mengecualikan perempuan.

Kendala geografis seperti lokasi hutan yang terpencil, medan yang sulit, dan jalan yang buruk juga menghambat partisipasi perempuan sehingga menyulitkan perjalanan dan membatasi kemampuan mereka untuk terlibat.

Pendampingan Sangat Membantu. Begitu pula Para Pemimpin Perempuan Setempat

Di Sintang dan Gunungkidul, perempuan telah mengambil peran yang lebih besar dalam badan pengelola hutan.

Di Sintang, dukungan dari Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK), sebuah lembaga swadaya masyarakat Indonesia, secara signifikan meningkatkan partisipasi perempuan dalam badan pengelola hutan desa. PUPUK memfasilitasi diskusi, memberikan pelatihan pada waktu yang tepat bagi perempuan, dan mendorong para pemimpin laki-laki mendukung keterlibatan perempuan yang lebih besar. Jumlah anggota perempuan meningkat dari hanya satu pada 2018 menjadi 12 perempuan dan sembilan laki-laki dalam badan pengelola yang baru dibentuk pada 2022.

Kelompok perhutanan sosial di Gunungkidul, yang awalnya merupakan proyek reboisasi pemerintah dan didominasi laki-laki, berkembang menjadi inisiatif yang digerakkan oleh masyarakat dengan kepemimpinan perempuan yang kuat. Dukungan dari pemerintah dan LSM memungkinkan perempuan mengambil peran yang lebih aktif dalam kehutanan dan pertanian, terutama karena banyak laki-laki (serta beberapa perempuan) yang pindah untuk mencari pekerjaan di tempat lain.

Seorang perempuan berpendidikan perguruan tinggi kini memimpin kelompok ini dan telah menginspirasi perempuan muda untuk bergabung dalam kegiatan pengelolaan hutan dan KUPS. Kegiatan ini meliputi produksi minuman herbal tradisional (wedang uwuh) dan pembuatan makanan ringan dari talas, singkong, dan garut yang ditanam di lahan hutan.

Di semua lokasi penelitian, perempuan yang terlibat dalam KUPS telah mengembangkan keterampilan dalam pengelolaan hutan, perencanaan keuangan, pengolahan produk, dan pemasaran, dengan penghasilan yang tidak seberapa. Kegiatan-kegiatan ini juga telah mengubah peran gender. Misalnya di Sintang, ketika Mirna (nama samaran) menjadi Kepala KUPS, suaminya mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak dan mengasuh anak, untuk mendukung pekerjaannya.

Apa yang Harus Dilakukan Selanjutnya?

Penanganan kesenjangan gender dalam kehutanan sosial memerlukan kebijakan yang tepat sasaran untuk memastikan suara perempuan, terutama dari kelompok terpinggirkan, didengar dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi mata pencarian dan akses mereka terhadap sumber daya.

Penerapan kuota atau langkah afirmatif bagi badan pengelola hutan dapat membantu menutup kesenjangan gender dan memastikan distribusi manfaat yang lebih adil. Bukti dari kawasan dunia bagian selatan lainnya menunjukkan bahwa setidaknya 30 persen keterwakilan perempuan dalam badan pengelola hutan diperlukan untuk partisipasi yang bermakna, yang memungkinkan perempuan mempengaruhi keputusan secara lebih efektif.

Tata kelola yang inklusif juga bergantung pada representasi yang adil dari berbagai kelompok etnis dan sosial ekonomi, khususnya rumah tangga miskin. Ketika kelompok yang kurang beruntung kurang terwakili, distribusi manfaat menjadi terhambat sehingga membatasi aliran sumber daya dan peluang yang adil.

Kemitraan dengan LSM dan kelompok masyarakat sipil yang terampil dalam menangani perbedaan gender dapat memberdayakan perempuan serta laki-laki terpinggirkan dengan keterampilan dan kepercayaan diri yang dibutuhkan untuk terlibat dalam badan pembuat keputusan.

Menciptakan ruang aman juga penting. Upaya ini termasuk mengadakan diskusi khusus gender dalam bahasa daerah pada waktu yang sesuai dengan jadwal perempuan dan laki-laki.

Pemerintah juga harus berkomitmen untuk memantau partisipasi perempuan secara berkala dengan mengumpulkan dan menerbitkan data akurat yang dipilah, secara spesifik untuk setiap lokasi serta wilayah, berdasarkan gender.

Sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—kini dipisahkan menjadi Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup—pada Agustus 2024 memperkenalkan perubahan kebijakan yang memungkinkan individu, bukan hanya kelompok, mengajukan permohonan perhutanan sosial. Kebijakan ini dapat meningkatkan partisipasi perempuan, asalkan dukungan yang ditargetkan juga membantu mereka untuk mengambil peran kepemimpinan. Tanpa dukungan ini, risikonya tak berubah, bahwa perhutanan sosial akan terus didominasi oleh kaum elite laki-laki.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Andrea Rawluk, dosen senior University of Melbourne; Gutomo Bayu Aji, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Ilmiawan Auwalin, dosen Universitas Airlangga; Lilis Mulyani, peneliti  BRIN; Rumayya, dosen Unversitas Airlangga; dan Yulia Indrawati Sari, dosen Universitas Katolik Parahyangan berkontribusi dalam artikel ini. Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus