Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ki Tambleg Tegak di UI

Universitas Indonesia merelokasi pohon raksasa baobab yang kaya nutrisi dan mampu hidup ribuan tahun. Jawaban atas tantangan krisis pangan di masa depan?

22 November 2010 | 00.00 WIB

Ki Tambleg Tegak di UI
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Profesor Gumilar Rusliwa Somantri tak peduli tanah galian berwarna merah mengotori sepatu kulit hitamnya yang mengkilat. Berpakaian klimis dengan kemeja putih dan celana biru, Rektor Universitas Indonesia ini mendekapkan telapak tangannya pada ki tambleg yang tergeletak di halaman belakang kantor rektorat. Doa pun dirapalkan. Tujuh puluh pasang mata yang menyaksikan prosesi ini seolah menahan napas saat ki tambleg berbobot 35 ton itu diangkat dua crane ke dalam lubang raksasa berdiameter 5 meter sedalam 3 meter. Dan ki tambleg pun berdiri tegak.

Ki tambleg adalah sebutan akrab warga Subang untuk pohon raksasa asal Afrika yang bernama ilmiah Adansonia digitata. Nama umumnya adalah baobab atau pohon terbalik, tapi di sini dikenal juga dengan nama asem buto lantaran rasa buahnya yang masam. Nah, buah pohon langka ini pula yang diyakini berkandungan nutrisi supertinggi. Beberapa literatur menyebutkan buah ki tambleg mampu menghasilkan vitamin C enam kali lipat lebih banyak daripada jeruk dan merupakan sumber kalsium pengganti susu. Usia pohon langka ini bisa mencapai ribuan tahun.

Itulah sebagian kecil keistimewaan ki tambleg yang membuat Gumilar kesengsem. Rektor 47 tahun ini tak segan turun tangan agar ki tambleg hidup di UI. ”Pohon ini,” kata Gumilar, Selasa pekan lalu, ”adalah jawaban atas ancaman terhadap keamanan pangan di masa depan.” Sehari sebelumnya, prosesi serupa digelar untuk menegakkan ki tambleg seberat 80 ton.

Kini sudah tujuh ki tambleg yang direlokasi dari Subang, Jawa Barat. Pemindahan lima pohon ki tambleg dilakukan sejak September lalu. Tak aneh jika batang-batang raksasa ki tambleg itu telah bertunas. Kelimanya bisa dilihat berdiri melingkar di halaman depan gedung rektorat. Adapun sisanya, itu tadi, di halaman belakang gedung yang sama. Proses relokasi belum selesai lantaran masih ada tiga pohon lagi yang akan dipindahkan ke UI. ”Ini rekor dunia. Belum ada yang memindahkan pohon sebesar ini, apalagi hingga sepuluh,” kata Gumilar antusias.

Ukuran pohon yang direlokasi ke UI jauh dari ukuran sebenarnya saat tumbuh di Subang. Satu dari dua pohon yang ditanam terakhir mempunyai berat 135 ton, dengan tinggi 17 meter dan diameter batang 4,7 meter. Satu lagi setinggi 14 meter dan beratnya 45 ton. Tapi, untuk kelancaran pemindahan, pohon itu terpaksa dipangkas. ”Setelah dipangkas, beratnya jadi 80 ton dan 35 ton dengan tinggi 12 meter,” kata Maryanto, konsultan proyek pemindahan ki tambleg.

Menurut Maryanto, ki tambleg yang dia relokasi sangat istimewa. Ki tambleg mempunyai ukuran batang yang besar dan kokoh. Batang pohonnya lunak, hampir sama dengan batang pohon kelapa. Daunnya hijau dengan lebar setara telapak tangan anak usia dini. ”Kadar air dalam kayunya sangat tinggi,” kata Maryanto. Beberapa di antaranya diperkirakan berumur seratusan tahun.

Gumilar menambahkan, kandungan air baobab bisa mencapai 70 persen dari berat tubuhnya. Itu belum termasuk kemampuan menyerap air sebagai sumber persediaan makanan. Daun pohon ini dapat digunakan untuk lalap atau sayur. Kulit pohonnya dapat digunakan untuk membuat tali, bahkan pakaian. Pohon ini ditengarai juga mengandung zat-zat yang dipergunakan sebagai obat tradisional.

Di Eropa, buah pohon baobab telah diterima luas sebagai produk alam. Dagingnya diproduksi dalam kemasan bubuk yang khusus dipergunakan masyarakat sebagai penambah bahan untuk mengolah sup dan berbagai makanan olahan lain. ”Ini pohon masa depan,” kata Gumilar.

Suatu waktu Gumilar membawa pulang buah baobab. Di rumahnya, buah yang asam itu diolah sendiri. Gumilar membuat dua hidangan: satu sup asin, satu lagi sup manis. ”Yang manis saya campur kurma,” katanya. Hidangan buatannya itu dimakan ramai-ramai dengan wartawan. Hasilnya? Kedua sup itu ludes. ”Istri saya sampai bilang ke mereka, ‘Kalian mau saja dijadikan kelinci percobaan,’” kata Gumilar berkelakar.

Pakar buah tropis, Reza Tirtawinata, pernah membawa buah baobab dari Angola, Afrika. Masyarakat setempat memang terbiasa mengolah buah yang disebut imbondeiro ini sebagai minuman segar atau campuran es krim. ”Tapi nilai ekonominya tidak ada,” kata doktor dari Institut Pertanian Bogor ini. Di Angola, baobab tumbuh liar dan tidak dipelihara. Tentang kandungan nutrisi buah baobab yang luar biasa, Reza tak membantahnya.

Ide pemindahan baobab ke UI tercetus pada awal 2008. Saat itu, Gumilar sedang berada di Jerman. Satu artikel koran berbahasa Inggris membuatnya penasaran. Lebih-kurang isinya menuturkan kandungan nutrisi buah baobab. ”Buah istimewa ini dijuluki superfruit,” kata Gumilar.

Pohon baobab diyakini mempunyai daya regenerasi tinggi. Pohon yang tumbang pun, selama masih menyentuh tanah, hampir dipastikan akan tetap hidup dan bertunas kembali. Salah satu buktinya dirasakan Gumilar saat pohon di depan gedung rektorat tersambar petir. ”Lihat, pohon ini pernah disambar petir, tapi tetap tumbuh daunnya,” kata Gumilar seraya menunjuk pohon raksasa itu.

Pucuk dicita, baobab pun tiba. Gumilar mendapati puluhan baobab raksasa tumbuh di Subang. Dua tempat hidup baobab itu merupakan ladang tebu milik PT PG Rajawali II dan lahan milik PT Sang Hyang Seri. Setelah membahasnya bersama, kedua perusahaan bersedia menghibahkan pohon-pohon baobab kepada UI.

Lalu bagaimana baobab sampai ke Indonesia? Baobab di kawasan Subang diperkirakan ditanam pemerintah kolonial Belanda lebih dari 160 tahun lalu. Bahkan yang lebih tua dibawa para pedagang dari Timur Tengah yang menyebarkan Islam. Selain di Subang, kita bisa melihat baobab raksasa di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur, dan di Nusa Tenggara. ”Jumlahnya puluhan saja,” kata Kepala Bagian Tata Usaha Purwodadi Tuladi.

Peneliti Kebun Raya Purwodadi, Deden Nudiana, menyatakan baobab tidak bisa tumbuh di sembarang tempat. Pohon dari kerabat randu-randuan ini hanya cocok tumbuh di daerah kering atau tepatnya daerah beriklim monsun kering. ”Iklim yang tidak cocok bisa membuat baobab tidak berbuah,” katanya. Setahu dia, baobab di Kebun Raya Bogor, yang ditanam berbarengan dengan di Purwodadi pada 1950-an, belum bisa menghasilkan buah lantaran pengaruh cuaca.

Tapi itu bisa berbeda dengan Depok, yang berdekatan dengan Jakarta. Gumilar mengatakan kehadiran ki tambleg di UI mempunyai peran penting. ”Baobab kami gunakan untuk konservasi dan riset,” kata Gumelar. Ia yakin berbagai khasiat, fungsi, dan karakteristik baobab berpotensi menjawab masalah manusia di masa depan. Kini krisis pangan sudah di depan mata akibat isu pemanasan global, perubahan iklim, dan pertambahan penduduk yang terus meningkat. Jika dimanfaatkan, Gumilar yakin, ki tambleg akan menjadi salah satu tumpuan dalam mempersiapkan nutrisi, kalsium, bahan pangan sayuran, dan pengembangan obat-obatan herbal.

Proyek ambisius itu masih harus melalui ujian panjang. Sementara ini, kesulitan yang sudah harus dihadapi adalah semua hal yang berkaitan dengan proses pemindahan pohon-pohon itu. Satu pohon memerlukan enam hari. Selain crane, dibutuhkan truk trailer beroda 26 untuk pengangkutan dari Subang, yang menempuh jarak 135 kilometer selama 17 jam. Biayanya bisa mencapai Rp 100 juta.

Rudy Prasetyo, Ananda Badudu (Depok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus