Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
REMBANG petang, suatu hari, di Dukuh Plosorejo, Ngawi, Jawa Timur, saya tercenung di depan sebuah hiasan dinding di rumah mendiang Mbah Kamdi, seorang pamong desa setempat semasa hidupnya. Hiasan yang terpacak pada gebyok (dinding papan kayu) itu berupa secarik kain kusam hijau pupus bertulisan ”Jer basuki mawa béya” dalam aksara Jawa. Menurut salah seorang anak almarhum, rerenggan itu disulam Mbah Kamdi Putri tak lama setelah revolusi pecah pada 1945. Sesekali dicuci, lalu dipasang lagi, sampai kini.
Bukan suatu kebetulan Simbah memilih bebasan itu untuk menghiasi dinding rumahnya. Ketika perang meletus, dia angkat senjata, ikut menghadang tentara Sekutu dan Belanda. Dia menyadari risiko yang menjemput, tapi juga bertekad membela negeri dari jarahan kekuasaan asing. Jer basuki mawa béya mengekspresikan keyakinannya itu, yang bermakna setiap cita-cita memerlukan biaya. Di sini, biaya bukanlah uang, melainkan semangat dan keikhlasan berkorban hingga bertaruh nyawa. Pemaknaan itu mengisyaratkan bahwa jer basuki mawa béya, sebaliknya, menepis mentalitas menerabas, memintas, dan malas.
Ungkapan tersebut mengingatkan kita pada peribahasa ”tidak ada keberhasilan tanpa pengorbanan” dalam bahasa Indonesia. Artinya, setiap cita-cita hanya dapat dicapai dengan mengerahkan segala daya dan kerja keras. Belakangan, di kalangan (partai) politik beredar istilah berkeringat yang mencitrakan upaya keras politikus dalam proses ”perjuangan” mereka. Bedanya, berkeringat menyimpan agenda pragmatik, yakni tergapainya kursi kekuasaan; sedangkan jer basuki mawa béya bersifat transendental, tanpa pamrih pribadi selain terwujudnya tujuan bersama merengkuh kehidupan sejahtera lahir-batin.
Dalam semangat perjuangan fisik-nasionalistik, jer basuki mawa béya bukanlah slogan yang cuma terucap di bibir, melainkan merupakan etos ”dari dalam” yang menggugah patriotisme. Gerangan apakah yang menumbuhkan spirit itu? Bung Tomo, tokoh penting Pertempuran 10 November di Surabaya, pernah bertanya kepada pemuda calon anggota pasukan Barisan Berani Mati: mengapa ia ingin ikut bertempur. Pemuda itu menjawab dirinya tergugah oleh suatu keyakinan: jika negeri ini merdeka sepenuhnya, ”kita akan makmur, makan tidak akan kekurangan, sandang akan cukup, dan anak-anak sekolah tidak akan ada yang berhenti di tengah jalan” (lihat Bung Tomo Menggugat, 2008).
Bung Tomo sendiri, tak lama setelah Pertempuran Surabaya, lugas mengatakan bahwa idealisme kebangsaan ketika itu didorong oleh sifat ”murni” orang Indonesia dalam berjuang secara nyata, belum tergoda nafsu korupsi dan merusak negara sendiri; demikian pula belum timbul egoisme yang mengoyak persatuan nasional. Barangkali Bung Tomo agak ”mendramatisasi” gambaran keadaan karena gelagat korupsi di kalangan elite ketika itu telah terasa meski tidak semasif sekarang; konflik politik dan senjata meletup di sana-sini. Namun yang tertangkap dari pernyataannya adalah kuatnya nilai-nilai seperti termaktub dalam jer basuki mawa béya.
Mungkin untuk selalu mengingatkan kita akan pengorbanan para pahlawan, ungkapan itu terus berdengung hingga kurun 1960-an. Bahkan Bung Karno sering menyisipkannya dalam wacana kenegaraan. Dalam pidato peringatan proklamasi (1962), misalnya, dia melukiskan betapa berat pergulatan bangsa Indonesia merdeka, baik fisik maupun psikologis, seperti meredam pergolakan daerah yang menelan korban ribuan jiwa saudara sendiri, dan merebut kembali Irian Barat (Papua) yang waktu itu masih dikuasai Belanda. Saat mengakhiri pidatonya, Bung Karno berseru, ”Kita selalu suka membayar bèya. Kita pasti nanti basuki!”
Dari keyakinan Mbah Kamdi, alasan pemuda calon anggota pasukan Bung Tomo, dan pidato Bung Karno, terbaca bahwa ungkapan jer basuki mawa bèya berpandangan futuristik yang merepresentasikan cita-cita mewujudkan kehidupan masa depan nan gemilang. Pencapaiannya bisa melalui jalan perang ataupun damai, bergantung pada tantangan. Dalam pewayangan, perang Bharatayuda tergambar sebagai kancah perjuangan para kesatria mewujudkan negara yang, menurut suluk Ki Dalang, tata tentrem kerta raharja—sebuah negara kesejahteraan. Di luar arena perang, jer basuki mawa béya adalah spirit menggeluti kehidupan sosial yang multikompleks.
Masihkah jer basuki mawa béya jadi daya ungkap kejuangan masa kini? Terselip keraguan: kebajikan itu tak banyak dikenali sekarang jika melihat kecenderungan masyarakat kontemporer yang ingin serba-cepat—cepat kaya, berjabatan tinggi, dan populer. Tapi bukankah untuk memenuhi hasrat instan itu perlu béya yang besar pula? Benar, béya dalam artian sempit dan berwatak profan, yakni ”biaya”, tegasnya uang. Celakanya, tak semua biaya itu diperoleh melalui jalan terang tapi, yang lebih sering terjadi, lewat cara-cara rasuah, korupsi, dan manipulasi. Jauh dari moralitas dan cita-cita sacré pejuang sejati.
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo