Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BHOPAL menggaungkan tanda bahaya ke seluruh dunia. Yakni, industri yang menggunakan zat kimia beracun punya potensi bencana yang mengerikan. Hanya dalam waktu beberapa jam, Senin dinihari dua pekan lalu, 45 ton gas nethyl isocyanate (MIC), bahan pembuat pestisida, lepas dari tangki penyimpan yang bocor di pabrik Union Carbide, Bhopal, India. Langsung, dalam kawasan beberapa kilometer persegi sekitar pabrik, MIC menyebarkan maut. Tak pelak lagi, ini musibah industri terbesar dalam sejarah. Hingga akhir pekan lalu, di kota berpenduduk sekitar 670.000 itu tercatat lebih dari 2.500 orang meninggal. Sekitar 4.000 dinyatakan kritis. Total, 150.000 warga Bhopal terkena gas beracun - yang masih hidup sebagian buta, sebagian terancam kebutaan, yang lain terkena infeksi pernapasan. Dan, tak kurang dari 3.000 ternak terbantai. Bayangan maut itu mendorong sebagian penduduk mengungsi - dengan kereta api, bis, gerobak, jalan kaki. Kawasan sekitar pabrik pestisida Union Carbide kosong dan sepi. Bahkan, menjelang kawasan pabrik dan sekitarnya diamankan, yaitu disemprot dengan air dari udara, Minggu pekan ini, tak kurang dari 100.000 orang lagi meninggalkan ibu kota Negara Bagian Madya Pradesh ini, menghindari bahaya yang mungkin terjadi. Malapetaka ini membuat pemerintah Madya Pradesh tak cuma menuntut ganti rugi US$ 15 milyar. "Pabrik ini akan dipindahkan dari Bhopal untuk selama-lamanya," kata Arjun Singh, ketua menteri Madya Pradesh. Agaknya, pemerintah berbulat tekad mengusir sarang maut dari kota yang mempunyai masjid terbesar di India ini Taj-ul-Masjid. Dan sampai Senin pekan ini maut memang sudah dijinakkan. Udara sekitar pabrik dibersihkan dengan penyemprotan air dari pesawat terbang. Sisa-sisa MIC dalam tangki penyimpan dinetralisasikan, antara lain direaksikan dengan carbon tetracloride, hingga tak berbahaya lagi. Tapi pengaruh musibah itu tak cepat dilupakan orang. Pekan lalu, pihak Prancis menolak sebuah kapal dengan muatan MIC untuk berlabuh. Buruh pelabuhan di sana menolak membongkar muatan itu. Di Indonesia, gaung Bhopal seolah menyentak kita. Presiden Soeharto sendiri, Kamis pekan lalu, berpesan kepada Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) dan Menteri Perindustrian, agar kita hati-hati menangani perkembangan industri. Jangan memillh proses yang murah tapi membahayakan lingkungan, kata Presiden. Yang penting, kita membangun industri modern dengan risiko sekecil-kecilnya. Presiden, tentu saja, tak mengada-ada. Sebab, Indonesia, yang kini memiliki 16 pabrik pestisida, setahun menghasilkan sekitar 112.500 ton pestisida. Sampai tahun 1984, memang, racun Bhopal MIC tak hadir di sini. Sebab, pabrik-pabrik pestisida itu, termasuk yang terbesar, PT Petrokimia Gresik, langsung mengimpor bahan bakunya. Yaitu yang disebut carbamate, yang bahayanya lebih kecil dibandingkan MIC. Peresmian PT Petrosida - anak perusahaan PT Petrokirnia Gresik - pada Oktober lalu oleh Presiden, menyebabkan bahan baku itu kini dibuat di dalam negeri. Artinya, sejak Oktober itu yang disebut methyl isocyanate hadir pula di Indonesia. Tapi tak usah khawatir, kata Emil Salim menteri KLH. Sebab, proses di PT Petrosida lain sama sekali dengan yang di Bhopal. Pabrik kita memproses pembuatan carbamate secara terpadu, tidak dengan sistem arus - yaitu proses tahap demi tahap seperti di India. Itu berarti, kehadiran MIC di sini boleh dikata hanya sekejap. Hanya sekitar 1 jam, lalu segera diubah menjadi carbamate, kata Syafri Sa'arin, direktur utama PT Petrosida. Lagi pula, MIC di sini tak diperoleh dalam bentuk gas, tapi cair dan padat, yang baru menjadi gas pada temperatur minimal 39 Celcius. Dengan kata lain, MIC di sini lebih aman, karena tak mudah lari. Apalagi, produksi MIC di PT Petrosida per hari dibatasi 500--600 kg. Agaknya, ini terutama untuk memenuhi kebutuhan PT Petrokimia sendiri. (Lihat: Menyimpan Limbah Membuang Sampah). Namun, bahan kimia beracun tentu bukan cuma MIC. Ribuan jenis senyawa kimia dari sekitar 6 juta senyawa kimia yang kini bisa dibuat adalah racun yang dalam dosis tertentu mematikan makhluk hidup. Pabrik-pabrik di Indonesia yang menggunakan zat kimia berbahaya tak sedikit. Buktinya, sejak awal 1970-an, ketika perekonomian di sini membaik, segala jenis pabrik berdiri dari Sabang hingga Merauke, muncullah masalah linkungan hidup. Terberitakanlah kasus-kasus pencemaran lingkungan - ikan mati, hutan gundul, air keruh, udara berbau - yang sebelumnya tak pernah atau jarang sekali terdengar. Rata-rata dua sampai tiga kasus pencemaran lingkungan per bulan dilaporkan ke Kantor Kependudukan dan Lingkungan Hidup, kata Sutamihardja, staf menteri KLH. Memang, kasus-kasus itu tak sekolosal racun Bhopal. Tapi siapa tahu, justru pencemaran yang tak langsung mematikan hari ini, berakibat fatal di kemudian hari? Di Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, pada 1977 pernah ramai karena meningkatnya jumlah orang yang terkena radang mata. Hanya dalam waktu sebulan, tercatat hampir 1.600 orang Cikampek memeriksakan matanya yang pedih dan merah ke Balai Pengobatan Mata Cikampek. Padahal, sebelumnya orang sakit mata di sini cuma satu dua orang. Waktu itu, kepala Balai Pengobatan Mata di situ pun kaget. Sebab, sebagian besar penderitanya adalah mereka yang bekerja di sawah. Apa bukan sawah itu yang jadi sumber penyakit? Hadikusumo - kepala Balai Pengobatan Mata itu - menduga, meningkatnya penggunaan insektisida (jenis pestisida pembunuh serangga) merupakan penyebab lumpur sawah mengandung racun. Ketika petani mencangkul sawah, atau ketika mereka mengusap matanya dengan tangan yang masih berlumur lumpur sawah, ketika ituIah racun masuk ke mata. Waktu itu dugaan ini dibenarkan oleh Goeswono Soepradi, doktor ahli tanah dari IPB. Tapi kasus ini kemudian dilupakan orang begitu saja. Mungkin para penderita kemudian sembuh - hanya dua orang terberitakan menjadi buta selamanya. Tapi ini membuktikan bahwa ada racun yang tak cepat musnah, dan masih bisa jadi perkara di hari-hari mendatang. Ada dugaan dari Direktorat Perlindungan Tananam Pangan, Departemen Pertanian, yang meracuni mata petani adalah sisa-sisa jenis insektisida yang sangat berbahaya, yang diimpor sampai 1973. Sebab, sesudah 1973, hanya 140 jenis insektisida diperbolehkan digunakan di Indonesia - yang sudah direkomendasikan kecil timgkat pencemarannya. Memang, kasus pencemaran lingkungan di Indonesia, menurut Otto Soemarwoto, direktur Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran, Bandung, "Sampai kini belum ada laporan orang meninggal karena pencemaran industri." Barangkali ini karena sebagian besar polusi berbahaya di Indonesia adalah polusi air. Maka, sebelum limbah beracun makan korban manusia, hewan-hewan air menjadi korban terlebih dulu. Pada September 1977 di Surabaya, misalnya, PAM menghentikan penyaluran air minum. Sebab, air minum sudah diolah tapi tetap berwarna kuning bak air sungai. Dan pihak PAM cepat menghentikan suplai airnya, karena di sungai yang mengalir di Kali Surabaya banyak ikan mengambang - tentu saja, ikan mampus. Padahal, dari aliran sungai itulah PAM mengambil air. Bayangkan saja seandainya air ledeng tetap menguur dan telanjur diminum orang. Dan penyebabnya - yang memang sudah diamati PAM sejak lama - adalah limbah pabrik bumbu masak Miwon yang dibuang ke Kah Surabaya. Di Majalengka, Jawa Barat, pada 1980 sejumlah penduduk membakar pabrik kimia PT Uci Jaya, yang memproduksikan kaustik soda. Pasalnya, pabrik yang sudah diperingatkan penduduk itu tetap saja membuang limbahnya tanpa diolah, hingga mencemari empang, sawah, bahkan sumur penduduk. Padahal, limbah itu membuat ikanikan mati, tanaman padi busuk, air sumur membikin mata pedih. Menurut logika orang Majalaya, tentulah itu berbahaya. Benar. Buangan proses pembuatan kaustik soda adalah asam klorida, yang dalam jumlah tertentu memang gawat. Zat kimia satu ini terutama merusakkan mata, kulit, dan selaput lendir. Akhirnya, penduduk yang dituduh ikut beraksi kemudian mendapat hukuman penjara paling lama 8 bulan. Tapi kini bisa dilihat imbalannya: sawah di sekitar reruntuhan pabrik menghijau kembali, air sumur kembali jernih. Sejak itu pabrik kaustik soda itu memang ditutup. Pencemaran air seperti di Majalengka terjadi juga di kawasan industri tekstil Cimahi dan Bandung Timur. Juga di Tasikmalaya, pernah terjadi pencemaran Sungai Cikarang hingga sekitar tiga kuintal ikan mati. Ini disebabkan oleh pabrik asam sitrat. Kini instalasi pengolahan limbah asam sitrat sudah diperbaiki. Lalu kasus kecelakaan di Pabrik Pupuk Pusri, Palembang, 1982, yang mengakibatkan sebagian besar amomia terbuang ke Sungai Musi. Ikan-ikan mati, dan penduduk yang menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari terkena radang tenggorokan. Untung, ini cepat ditanggulangi. Sebab, amonia yang baunya seperti air kencimg itu dalam kadar tertentu bisa membutakan mata dan merusakkan jaringan peka di tubuh manusia. Juga limbah pabrik tapioka di Lampung Tengah pernah mengotori dua sungai di situ, Way Kekah dan Way Pengubuan, dengan racun sianida. Banyak ikan mati, dan penduduk terganggu oleh bau busuk yang bukan main - bau itu dalam musim kemarau mencapai radius 4,5 km sekitar pabrik. Pada 1977 penduduk marah, merusakkan pabrik tersebut - setelah sebelumnya peringatan lisan dan tertulis tak digubris pihak pabrik. Tak sebagaimana pabrik kaustik soda di Majalaya, pabrik tapioka ini terus berjalan setelah membuat bak penampung limbah. Yang kedengarannya mempunyai potensi pencemaran besar adalah Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur. Di sini, di kawasan seluas hampir 800 ha, berkumpul lebih dari 200 industri. Dari pengolahan baja, pakaian jadi, pabrik seng, percetakan, hmgga pabrik mebel. Toh, kawasan yang mulai berdiri pada 1969 ini hingga sekarang belum pernah diprotes orang. Berdasarkan penelitian pihak PT Sucofindo atas permintaan pihak Kawasan Industri sendiri, tingkat pencemaran memang masih bisa ditoleransi. Tapi, penelitian yang diadakan tahun lalu itu pun memberikan prospek, bila kawasan itu terus-menerus membuang limbahnya sebanyak sekarang, dikhawatirkan pencemaran ke sekitar Pulogadung akan tak terbendung. Lebih-lebih bila limbah yang dihasilkan bertambah. Tentu, berat bagi tiap-tiap pabrik di Kawasan Industri Pulogadung bila harus meningkatkan pengamanan limbahnya. "Di masa resesi kinl, ltu sangat berat," kata Muntoro, salah seorang manajer PT Alcan, pabrik alimunium dengan kapasitas 500 ton per bulan. Ia punya ide, secara bersama pabrik-pabrik di Pulogadung membuat tempat pengamanan. "Dengan patungan, biaya akan lebih murah," tambahnya. Cara ini sudah diterapkan di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, yang berdiri pada 1975 dan beranggotakan 191 pabrik. Tapi, siapa dan bagalmana seharusnya memonitor kemungkinan pabrik mencemari lingkungan? Ada peraturan dari Departemen Perindustrian, yang mengatur berdirinya pabrik-pabrik. Ada undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup. Dan ada Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan di Departemen Kesehatan. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, misalnya, sudah lama memperingatkan adanya polusi di lingkungan pabrik semen. "Kasus penduduk sekitar pabrik semen gatal-gatal kulit dan mengeluh sakit pernapasan sudah jamak," kata Ir. H. Sri Soewasti Soesanto, 48, yang juga sarjana kesehatan masyarakat kepala Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan tersebut. Konon, pihak Depkes dan kantor wilayahnya di provinsi sudah berkali-kali memberikan peringatan. "Tapi pihak Depkes 'kan bisanya hanya memperingatkan, tak punya hak menindak," kata Soewasti pula. Yang menarik, Sri Soewasti dan kawan-kawan sudah dua kali melakukan penelitian kadar merkuri di Teluk Jakarta.Kesimpulan umumnya memang melegakan: kadar merkuri di situ masih di bawah ambang batas. Belum dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit minamata, seperti di Teluk Minamata, Jepang, yang mengakibatkan bayi-bayi lahir dengan cacat fisik dan cacat mental. Hanya ditemukan dua orang yang punya kandungan merkuri tinggi. Salah seorang diteliti. Sayang, sebelum penelitian memperoleh hasil, orang itu melarikan diri. Penelitian terhadap orang itu dilakukan, karena Soewasti diam-diam menaruh was-was. Bila benar bahwa kandungan merkuri di teluk tersebut akibat bertumpuknya merkuri dari limbah yang mengalir ke Teluk Jakarta dari hari ke hari, berarti tiap hari kadar merkuri itu naik. Apakah kini (penelitian terakhir dilakukan dua tahun lalu), dan tahun depan, ikan-ikan dari Teluk Jakarta masih aman disantap, jadi obsesi Soewasti - dan kita semua agaknya. Tentang berbagai peraturan dan undang-undang, secara nasional sebenarnya belum terinci. Hanya ada Surat Keputusan Menteri Perindustrian, 1980, tentang perizinan usaha industri. Peraturan dengan 12 bab ini, hanya pada Bab VIII, Pasal 14, menyebutkan bahwa pihak pemilik perusahaan wajib "mengadakan usaha untuk mencegah terjadi pencemaran terhadap lingkungan hidup". Lalu, 1984, muncul Undang-Undang Perindustrian. Ini pun hanya menyebutkan secara singkat dalam salah satu bab, yang terdiri dari tiga pasal, tentang kewajiban perusahaan industri mencegah pencemaran akibat kegiatan industri yang dijalankan (Bab VIII). Maka, kata Masnelyarti Hilman, staf Menteri KLH yang khusus menangani pencemaran industri, "Peraturan terperinci tentang tata tertib perindustrian, secara nasional, memang belum ada." Yang ada, katanya, justru Peraturan Daerah, misalnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Bahkan pihak Departemen Kesehatan baru tahun lalu membuat klasifikasi bahan kimia berbahaya. Ada empat klasifikasi. Yang pertama adalah bahan kimia yang terbukti atau diduga keras bisa menimbulkan bahaya fatal yang luas. Kelas ini hanya dihuni dua zat, yaitu DDT dan pentaklorofenol. Termasuk berbahaya kelas II, adalah bahan radiasi, gas beracun (racun Bhopal termasuk di kelas ini), bahan padat yang mudah menyala, gas atau cairan yang bertitik didih kurang dari 35 Celcius. Ada 222 senyawa kimia terdaftar dalam kelas II ini. Ketiga, dan keempat tentu saja yang kadar bahayanya lebih rmgan. Misalnya hanya menimbulkan lecet di kulit. Meski, dalam jumlah besar, tetap saja punya kemungkinan menjadi malaikat pencabut nyawa. Golongan III dan IV ini berjumlah lebih dari 300 senyawa kimia. Ini semua di Indonesia terdengar kurang dramatis dibandingkan kasus Bhopal. Tapi, siapa tahu, justru yang tak secara langsung memberikan akibat itu yang nanti bisa berbahaya secara fatal dan luas. Baru-baru ini di Amerika Serikat diadakan penelitian terhadap 3.000 orang, untuk mengetahui berapa banyak kadar insektisida yang telah dihirup dan terkandung dalam darah orang Amerika. Hasilnya, 99% dari yang diteliti, artinya 2.970 orang dari 3.000, mempunyai kandungan insektisida dalam tubuh mereka. Menarik, bila penelitian serupa diadakan di sini, di negeri yang dilihat dari undang-undang dan peraturan yang ada, tampaknya kurang tegas terhadap pencemaran lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo