TERJADINYA bencana Bhopal telah membuat Emil Salim, menteri KLH, buru-buru memeriksa Petrokimia di Gresik, Jawa Timur, pekan lalu. Khawatir masyarakat cemas dengan malapetaka yang telah membunuh ribuan manusia itu, Emil Salim merasa perlu menjelaskan kelebihan-kelebihan Petrokimia, pabrik yang seperti Bhopal sama-sama memproduksi pestisida itu. Berikut ini petikan dari wawancara Toeti Kakiailatu dari TEMPO dengan Menteri Negara itu: Betulkah risiko bahaya dari adanya industri kimia dasar di Indonesia kecil? Apa yang saya lihat di Petrosida, Petrokimia Gresik, potensi seperti Bhopal agak kecil. Bhopal adalah satu-satunya pabrik pestisida untuk India dan mempunyai kapasitas 45 ton MIC. Di Gresik, cuma 0,7 ton, sehingga tak perlu gudang penyimpanan. Berarti bebas dari pengecekan KLH? Tidak. Justru yang kami soroti sekarang ialah bagaimana handling bahan beracun dan berbahaya (B3) itu di pelabuhan. Petrosida adalah satu-satunya pabrik yang memakai DMS (demythyl sulphate) untuk memperoleh MIC dengan hasil lanjutan carbamate, bahan utama pestisida. Petrokimia mempunyai pelabuhan khusus, EMKL khusus dan juga container khusus. Risiko DMS iebih rendah, tidak sedramatis MIC. Jadi, pengendalian bahaya sudah kita mulai dari pemilihan bagaimana proses pembuatan pestisida itu. Itukah yang Anda anggap aman? Sejauh menyangkut perhitungan rekayasa (engineering calclations), aman. Petrokimia tidak sama dengan pabrik tempe dan tentu langkah-langkah pengamanannya juga mendapat perhatian lebih besar. Bagaimana dengan industri-industri kimia lainnya? Kalau Petrokimia sudah cukup organized tidak demikian dengan industri lainnya. Harus dibedakan: industri yang dibangun setelah ada UU Lingkungan (1982) dan sebelum itu yang juga mendapat izin. Yang lama-lama ini, banyak menimbulkan polusi. Kalau yang sesudah 1982, bisa dikontrol melalui hukum. Jadi, jangan dikaitkan, ada Petrokimia, ada polusi. Lantas bagaimana industri sebelum 1982? Secara konsepsionai, penanganan industri-industri kecil yang juga menghasilkan limbah berbahaya ini secara bertahap harus dipindahkan. Atau dianjurkan proses industrinya harus diubah. Masalahnya, banyak dari mereka yang tidak tahu. Sebab, yang kecil dan yang jadi masalah ini tidak mempunyai jaring-jaring informasi. Beda dengan industri besar yang ada komunikasi dengan partnernya di luar negeri. Berapa banyak industri macam itu? Banyak sekali, saya tak tahu jumlahnya yang pasti. Dan itu menghasilkan cyanida. Saya tak mau berkata mereka itu sengaja membuat polusi. Tidak. Tapi sebagian besar mereka tidak tahu. Sudah adakah tindakan penanganan dari pemerintah? Ya, (ragu-ragu) kita sedang bicarakan itu. Bagaimana dengan cara kerja KLH sendiri? Begini. Lingkungan adalah sesuatu yang mengandung unsur lintas sektoral. Bisa berkaitan dengan Departemen Pertanian, Perindustrian, Kesehatan, dan sebagainya. Karenanya, kantor ini harus bekerja melalui instansi lain. Lantas KLH bikin kebi jaksanaan. Karenanya, ada studi kelayakan teknis, ekonomi, dan lingkungan untuk setiap proyek. Syarat-syarat itu yang harus dipenuhi oleh setiap pembuat proyek. Kalau tidak? Ya, ada konflik. Dalam hal konflik antardepartemen? Apa tindakan KLH? Ya, saya laporkan ke sana (sambil menunjuk foto Presiden Soeharto di dinding). Kami semua adalah pembantu Presiden, to? Itu konflik di atas. Kalau di daerah? 'Kan ada bupati atau gubernur untuk tahap pertama. Dari situ akan memberi input bagi kami di Pusat. Campur tangan KLH ini apakah lantas mengakibatkan perubahan atau perbaikan? Malah ada pembatalan. Contoh kasus? HGU (Hak Guna Usaha) di Meru Betiri (Jawa Timur) habis. Ada rencana mau dijadikan perkebunan lagi. Karena ada lima ekor macan Jawa, saya usul ke Presiden, dan kini dijadikan Taman Nasional. Contoh lain di Semarang. Ada pabrik indigo di hulu sungai. Penduduk protes, kami campur tangan melalui gubernur dan malahan pabrik itu ditutup. Bagaimana KLH memonitor semua itu? Lewat institusi yang ada. Pemerintah atau non-Pemerintah seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan pers. Jadi, KLH bereaksi halau ada masalah? ... Ya. Bagaimana tindakan pencegahan? Feedback dari Walhi atau PSL (Pusat Studi Lingkungan) lainnya kemudian bisa saya bentuk tim Kelompok Kerja. Cara kerja kami institusional, jadi tim bisa bekerja untuk isu-isu khusus dalam cakupan lintas sektoral. Yang bertanggung jawab ya fungsionaris yang bersangkutan dalam bidang tertentu. Kalau KLH yang harus ke sana-sana, ya bisa sintlng .... Kalau ada pelanggaran, sanksi apa yang bisa diberikan KLH? Institusi yang bersangkutan yang melakukan. Tapi untunglah, Hartarto (Menteri Perindustrian), selain ahli industri kimia, juga orang lapangan. Jadi, dia tahu apa artinya bahaya, apa arti poison, dan tahu persis artinya pencemaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini