Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASA depan Galatama (Liga Sepakbola Utama) PSSI makin suram. Baru saja kompetisi 1984 (putaran kelima) selesai, awal Desember lalu, wadah sepak bola semiprofesional Indonesia itu kembali kehilangan klub yang ikut merintis pendiriannya lima tahun lalu. Sebelumnya sudah delapan klub perintis, antara lain Jayakarta dan Pardedetex, mundur dan bubar. Rabu pekan lalu, jumlah itu bertambah dengan mundurnya Indonesia Muda Galatama (IM-G) mulai kompetisi 1985 (putaran keenam), Januari 1985. Dalam suratnya kepada PSSI, pengurus IM-G menyebut alasan yang menjadi sebab mundurnya mereka, yaitu faktor kerugian. "IM Galatama telah menjadi sumber kerugian kami, yang kalau dibiarkan terus-menerus dapat mengganggu perkembangan cabarng olah raga lain yang juga dibina IM," kata M.A. Rais, ketua umum IM-G. Berdiri sejak 1930, IM selain membiayai IM-G dengan dana "rata-rata Rp 150 juta setahun", juga mengongkosi pembinaan cabang olah raga lain, seperti atletik dan renang. Total biaya untuk mengongkosi kegiatan itu setahun sekitar Rp 200 juta. Tapi dalam lima tahun ini, dana itu lebih banyak tersedot untuk IM-G. Toh, prestasi klub yang antara laln sudah mencetak sejumlah pemain nasional, seperti Iswadi Idris, Junaidi Abdillah, dan Hadi Ismanto, itu tak begitu mengesankan. Tahun ini malah merosot. Pada putaran keempat mereka masih menjadi klub peringkat ke-5 dari 18 klub, tapi pada putaran terakhir ini posisi itu turun ke peringkat ke-9. Hasil itu, rupanya, amat mengecewakan pengurus IM. Ditambah berbagai soal, antara lain kasus suap, perwasitan, dan pelbagai ketentuan dasar dalam Galatama yang dianggap tak kunjung diselesaikan, maka klub ini, yang mendapat dukungan dana di antaranya dari Pertamina, akhirnya memutuskan menarik diri dari Galatama. Galatama, apa boleh buat, untuk sementara, akan dilupakan oleh klub yang bermarkas di daerah Rawamangun, Jakarta, itu. Adakah pengaruh mundurnya mereka pada perkembangan Galatama? Beberapa pimpinan klub Galatama yang dihubungi TEMPO mengakui, mundurnya IM-G itu merupakan "pukulan". "Yang pasti, kami kehilangan satu lawan tangguh," kata Stanley Gouw, manajer Tim Tunas Inti, klub yang kini menduduki peringkat ke-3. Buat Galatama sendiri, menurut dia, mundurnya IM merupakan satu kehilangan yang lumayan besarnya. Sebab, sekarang ini, Galatama, katanya, seperti pasien yang terkena penyakit lesu darah: penonton terus berkurang dan klub terus mengalami defisit. Maka, ia terus terang mengatakan bahwa mundurnya IM akan makin melemahkan semangat penonton menyaksikan acara Galatama. "Sekarang saja, kesan itu sudah kuat, dan belakangan malah sering dibumbui isu: akan mundurnya beberapa klub lain seperti Tunas Inti, UMS '80, dan NIAC Mitra," katanya. Galatama akan bubar? Barangkali ini akan tergantung pada klub-klub yang masih mencoba bertahan. Tapi, yang pasti, upaya pengurus masing-maslng untuk membiayai kelangsungan hidup klubnya dari penjualan karcis yang semakin sepi ini akan sia-sia. Acub Zainal, ketua PSSI yang membidangi Galatama, tampak tenang-tenang saja. "Tak ada yang salah pada Galatama. Kita akan terus jalan dan tak bakal bubar, meskipun klub yang diurus tinggal satu," kata bekas bos klub Perkesa 78 itu. Amat berbeda, ketika dia menghadapi pembubaran Pardedetex, Februari lalu. Waktu itu Acub sempat terbang ke Medan guna mencegah tindakan T.D. Pardede, bos klub Pardedetex. Sikap Acub kali ini mungkin juga karena ia tampaknya sudah tak punya banyak harapan. Sebab, kalau benar klub Galatama tinggal satu, mana mungkin ada kompetisi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo