Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIBUAN ton racun, ternyata, diimpor ke sini setiap bulan, untuk kebutuhan ribuan pabrik industri. Racun itu, berupa bahan kimia, seperti senyawa mercu (2 ton lebih/bulan), aluminium oxide (16 ton lebih), chromium hydroxide (16 ton), dan manganese oxide (2.000 ton lebih). Ini dari data yang dihimpun BPS dua tahun yang lalu, dan belum termasuk bermacam jenis senyawa kimia lain yang sudah bisa ditambang di sini. Sejak racun itu mendarat di pelabuhan, diproses di pabrik, sampai dikonsumsikan penduduk, tentu menimbulkan efek samping yang tampaknya sulit dihindari: lingkungan yang tercemar. Menurut Mohammad Soerjani, ketua Pusat Studi Lingkungan Ul, kalau korban akibat pencemaran yang tertebar di banyak pelosok dan dalam waktu yang tidak bersamaan itu dikumpulkan, "Hasilnya bisa lebih menakjubkan ketimbang tragedi Bhopal." Soerjani kebetulan pernah meneliti pencemaran belasan pabrik di Tangerang. Hasilnya? "Sebenarnya kita hidup di lingkungan yang punya potensi seperti Bhopal," jawabnya. Semua ini, kata Erna Witoelar, direktur Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), lembaga swasta yang giat mengurusi pencemaran lingkungan, "Adalah harga pembangunan yang harus dibayar." Penelitian yang dilakukan oleh kantor Menteri Negara KLH Maret tahun ini, misalnya, mengungkapkan bahwa 2.000-an pabrik di Jakarta dan sekitarnya setiap tahun menghasilkan 580.000 ton ampas industri, yang terdiri dari lumpur kimiawi, berjenis sampah padat, dan sisa olie. Meski demikian, usaha mencegah pencemaran yang dilakukan oleh pabrik sendiri bukan tak ada. Pabrik peleburan aluminium Asahan, di Sum-Ut, yang dimodali Jepang, menghabiskan seperlima dari dana pembangunan proyek, yang US$ 1,6 milyar itu, untuk peralatan antipencemaran. Dengan itu, ampas pabrik berupa gas fluorida, yang dalam jumlah kecil saja (25 ppm) bisa merusakkan paru, mata, atau tulang secara permanen, kini bisa dinetralisasikan. "Udara di sini dijamin tak tercemar fluorida," kata Zaini Bahri, pejabat PT Inalum, pengelola proyek. Ternyata, sekalipun sudah punya alat peredam pencemaran, tah selalu pabrik-pabrik akan aman. Kawasan Industri Pulogadung, JIEP aakarta Industrial Estate Pulogadung), adalah salah satu contoh. Terletak di areal seluas 800 ha di belahan timur Jakarta, di sini menumpuk 200 pabrik lebih dari mebel sampai pabrik kimia dan pengolahan baJa, yang masing-masmg memiliki sistem menetralisasikan limbahnya. Tapi penelitian yang dilakukan JIEP akhir tahun lalu menemukan, separuh lebih dari sampel masih tetap punya potensi mencemarkan lingkungan. Di antaranya, 12 pabrik dinyatakan menghasilkan limbah berupa logam berat. PT Alcan, perusahaan bermodal Kanada di kawasan itu, yang memproduksikan 500 ton bahan aluminium per bulan, menjaring 135 meter kubik limbahnya setiap hari di dalam dua bak pengolahan. Proses ini menelan biaya Rp 3 juta/bulan. Nyatanya, ketika diteliti, sisa asam sulfat yang dibuang pabrik itu jauh di atas batas ambang yang ditentukan, 12 ppm. Artinya, limbah itu sudah berbahaya untuk kulit dan mata. "Untuk merombak sistem pengolahan limbah itu dibutuhkan dana Rp 400 juta, di masa resesi ini jumlah ini menyulitkan kami," kata Muntoro, manajer perusahaan bermodal Rp 4 milyar itu. Di sinilah salah satu letak soal. "Siapa yang mau menanam investasi sebesar itu tanpa untung?" kata Erna Witoelar. Cerita berikut, tentang berbagai upaya pabrik industri di sini untuk membuang berbagai limbah itu. PETROKIMIA GRESIK Setelah angin maut berembus di Bhopal, PT Petrokimia Gresik segera menarik perhatiap banyak orang. Menteri Emil Salim secepatnya memeriksa ke sana, lalu mengumumkan bahwa keadaan di kawasan mdustri itu aman adanya. Itu tak lain karena di Gresik ada pabrik pestisida milik PT Petrosida (anak perusahaan negara, Petrokimia Gresik) yang mirip dengan pabrik milik Union Carbide di India itu. Bedanya, selain tak sepenuhnya menggunakan methyl isocyanate, Petrosida tak melakukan penimbunan bahan aktif secara besar-besaran seperti di Bhopal. Apalagi produksi pabrik racun serangga yang baru diresmikan Presiden, Oktober lalu itu, setiap tahun cuma 2.000 ton diazinon, 900 ton carbamate cair (BPMC), dan 450 ton tepung carbamate (MIPC). Meski demikian, bahan aktif yang digunakan di sini tetap berbisa dan mematikan. "Namanya juga racun. Sama saja dengan orang minum Baygon 'kan bisa mati," kata Syafri Sa'arin, direktur utama pabrik itu. Karenanya, bahan-bahan aktif itu, dalam jumlah kecil yang cuma cukup untuk sekali produksi, sekitar 500-600 ton, disimpan di dalam tabung pengaman yang tebal dindingnya 12 mm, dan tahan terhadap daya tekan sampai 10 kg. Umpama terjadi kebocoran seperti di pabrik Union Carbide itu, sudah disediakan suatu sistem pengaman yang otomatis akan membakar habis zat aktif itu. Sebagai tambahan, pabrik di lokasi t,5 ha itu, meski masih di lingkungan kompleks PT Petrokimia, sengaja dibangun terpencil di tepi pantai, berjarak sampai 5 km dari permukiman. Di situ bekerja 80 karyawan yang setiap saat menggeluti racun itu. Tapi mereka sudah dilengkapi dengan masker, baju, sepatu, dan sarung tangan khusus, yang sudah dinyatakan cukup aman. Lalu, limbah pabrik? Didirikan dengan investasi Rp 20 milyar (hampir separuhnya berasal dari kredit ekspor dari Korea Selatan), pabrik ini dilengkapi dengan sistem pengaman limbah paling baru di sini, Waste Water Effluent Treatment. Unit ini mampu mencuci limbah kimia organik, sekaligus menurunkan kandungan logam berat yang ada. Menurut Masnellyarti, staf di Kantor Menteri KLH, dari 32 ton limbah yang dihasilkan pabrik itu setahun, yang paling berbahaya ialah sisa berupa krom, yang memiliki sifat karsinogenik alias berpotensi untuk menyebabkan kanker. Namun, setelah melewati proses penjernihan di unit pengaman tadi, dari penelitian yang dilakukan KLH, bisa krom tersebut sudah dapat ditawarkan. Baru ampas itu dibuang ke laut. Sukses ini, tampaknya, menyebabkan PT Rolimex, perusahaan swasta yang bekerja sama dengan Union Carbide memproduksikan pestisida di Surabaya, tertarik untuk bekerja sama dengan PT Peztrokimia. Mlenurut seorang staf Rolimex di Jakarta, dari kerja sama dengan perusahaan negara itu, Rolimex akan mendirikan pabrik pestisida di Gresik, yang menggunakan zat aktif methyl isocyanate, mirip dengan pabrik di Bhopal itu. LNG ARUN Pabrik penghasil gas alam cair (LNG) di Arun, 13 km di luar Kota Lhokseumawe, Aceh, diam-diam rupanya sedang menghadapi problem limbah. Sejak berproduksi Mei 1981 sampai Agustus tahun lalu, sebanyak 10,5 ton limbahnya tersiman di dalam bunker, berupa bak beton, setebal 30 cm, ukuran 20 m x 10 m, tinggi 2 m. Yang membingungkan, sampai kini belum diketahui akan dibuang ke mana isi bunker itu. "Kita masih menunggu-nunggu teknologi yang mampu mengolah limbah itu. Sampai sekarang itu belum ditemukan," kata Rachmat Wiriadisuria, Asisten Menteri KLH. Problem yang sama dialami negara lain penghasil LNG. Denmark, misalnya, mengirimkan limbah itu ke Jerman Barat, negeri yang mau menerima sampah industri jenis ini karena sedang meneliti kemungkinan mengolah limbah tersebut. Mau tahu limbah pengisi bunker di Arun itu? Tak lain adalah senyawa merkuri, jenis logam berat yang pernah menghebohkan dunia ketika mencemari Minamata, Jepang. Keracunan oleh polutan ini memang teramat mengerikan: sistem saraf, otak, dan ginjal menjadi berantakan, mata buta, kulit melepuh. Bila yang terserang wanita hamil, janin yang dikandung pun akan binasa. Sebagai komoditi ekspor penting selain minyak bumi, LNG kiranya memberi dampak petaka. Misalnya, ketika terjadi ledakan di pabrik jenis itu di Meksiko yang menewaskan ratusan orang, belum lama berselang. Tragedi serupa, syukurlah, belum pernah terjadi di berbagai lokasi penambangan LNG di sini. Tapi, selain mengandung methan, ketika mencuat dari perut bumi, LNG membawa serta merkuri, yang merupakan, sampah. Karena itu, di Arun disiapkan alat yang dinamakan SIAC, semacam filter karbon yang disisipi unsur belerang. Setiap gas keluar dari sumur, semua unsur merkuri akan terserap oleh filter karena diikat oleh unsur belerang tadi. LNG yang sudah bebas merkuri kemudian disimpan di lima tangki berlapis baja di sana, yang masing-masing berkapasitas 127.200 m3. Sisa lain, atau LNG yang bermutu rendah, dialirkan melalui lima menara pipa setinggi 75 m untuk dibakar. Sedangkan merkuri yang terjerat filter tadi, mula-mula dikemas di dalam plastik, lalu dimasukkan ke dalam drum. Baru drum itu disimpan di dalam bunker beton yang diletakkan di atas permukaan tanah, di kompleks itu. Bunker memang tertutup amat rapat agar tak kemasukan air hujan. Yang dilakukan selanjutnya ialah membuat bunker-bunker baru, sampai ditemukan teknologi mengamankan sang limbah. PABRIK KASET BASF Puluhan drum berwarna cokelat kelihatan tersusun rapi di kompleks pabrik pita kaset magnetik, PT BASF, di Cengkareng, Jakarta Barat. Meski bukan berisi merkuri seperti di Arun, drum itu memang berisi limbah pabrik, yang menunggu giliran untuk dikapalkan menuju Kota Koln, di negeri asal pemilik pabrik, Jerman Barat. Berbeda dengan merkuri Arun, tetrahydrofuran, senyawa aktif pengisi drum itu dikirim ke Jerman bukan karena bingung menolahnya di sini, tapi di Koln, limbah itu bisa didaurulangkan menjadi bahan baku industri kimia sebuah pabrik milih kongsi usaha yang sama. Selain itu, kata Oentoro, manajer produksi pabrik itu, "Perusahaan kami mempunyal tanggung iawab terhadap kebersihan lingkungan." BASF, dengan 1.000 karyawan, setiap tahun memproduksikan 35 juta pita kaset. Berbagai bahan baku yang digunakan, menurut Oentoro, kurang berbahaya bagi manusia, tapi peka terhadap api atau mudah terbakar. Kecuali senyawa aktif yang siap dikirimkan ke Jerman Barat itu. Senyawa ini, bila melewati batas ambang, bisa menyebabkan iritasi pada mata kulit, alat pernapasan, dari susunan saraf pusat. Dengan sistem pengamanan limbahnya itu, Oentoro mengaku bahwa lingkungan di sekitarnya terjamin bersih "Kalau daerah ini tercemar masa setiap hari saya main tenis di sini," katanya sembari menunjuk lapangan tenis di kompleks pabrik. PABRIK AJINOMOTO Menghadap langsung ke Kali Brantas, pabrik bumbu masak Ajinomoto tak susah membuang limbahnya: dengan sebuah pipa sepaniang 200 m yang mencapai tubuh sungal itu, bereslah semuanya. Tak semua cerita ini dibenarkan Soetojo, wakil manajer produksi PT Ajinomoto, pabrik bermodal Jepang itu. "Limbah di sini kami olah menjadi pupuk organik," katanya. Itu mereka lakukan sejak tahun 1977. Pada tahun itu pula pabrlk bumbu masak yang lain, Miwon, sempat ditutup oleh Pemda setempat, ketika diketahui buangan limbahnya ke kali, selain mencemari air PAM, juga mematikan ikan. Setiap tiga hari, pabrik ini menggunakan 100 ton bahan baku berupa tetes tebu, soda, dan asam sulfat. "Kami tak mau menyimpan banyak stok, karena berbahaya," kata Soetojo. Bahan aktif soda dan asam sulfat akan mengakibatkan kulit gatal, masak, dan terkelupas. Karena itu, untuk kedua bahan itu dibuatkan tangki khusus, yang masing-masing berkapasitas 50 ton. Di sekeliling tangki, digali got selebar 1 meter yang senantiasa diairi air. "Kalau petugas terkena bahan baku itu, bisa langsung mencebur ke got," kata Soetojo. Rupanya, sengatan bahan aktif itu akan netral oleh air segar. Selain memakai kaca mata khusus dan karet pembalut tubuh, petugas yang menangani zat aktif itu tak mendapat perlakuan khusus lain. Gajinya sama dengan pegawai lain. Syukurlah, kata Soetojo, selama ini belum ada pegawainya yang celaka. Lalu buat apa pipa yang menghubungkan pabrik itu dengan kali? Soetojo kemudian memang mengakui ada limbahnya yang dibuang lewat jalur itu, berupa air bekas pencuci bak dan pendingin mesin. "Jumlahnya kecil, dan masih di bawah ambang batas yang ditentukan," katanya. Pabrik bumbu masak Miwon pun tampaknya melakukan hal yang sama, apalagi kebetulan pabrik ini terletak di tepi Kali Surabaya. Cuma, pipa pembuangan sepanjang 100 m, yang menghubungkan pabrik dengan kali, tertanam di bawah tanah, dan mulutnya berada di bawah muka air. Tapi sekelompok mahasiswa UPN Surabaya memergoki pipa itu, ketika beberapa waktu yang lalu mereka meneliti pencemaran di kali itu. Lucunya, menurut Stefanus, salah satu mahasiswa, persis di atas pipa ada petugas keamanan Miwon menjaga. Setiap bertemu orang di sekitar tempat itu, petugas tadi akan bercerita menakut-nakuti bahwa di sungai itu ada buaya dan ikan besar. "Padahal, itu cuma bohong," kata Eddy Ernanto, teman Stefanus. PT HENKEL Ada pabrik yang sedang sibuk melayani protes penduduk, yaitu PT Henkel, pabrik pembuat sabun mandi, deodoran, deterjen dan shampo, dengan modal dari Jerman Barat. Terletak di Desa Cisalak Pasar, Cimanggis, Ja-Bar, pabrik yang menggunakan berbagai senyawa kimla ini betul-betul berada di tengah permukiman penduduk. Tak aneh, bila sejak pabrik berlokasi 3,5 ha itu berdiri, 1978, penduduk yang perumahannya hanya dipisahkan pagar tembok pabrik setinggi 2,5 m terus-menerus tersiksa. Sumur penduduk tak terpakai karena dirembesi limbah pabrik begitu turun hujan, deru mesin memekakkan telinga, dan asap dari cerobong pabrik menyesakkan dada. Padahal, 500-an keluarga yang menghuni daerah sekeliling pabrik adalah penduduk yang sudah mendiami daerah itu sebelum Henkel muncul. Pencemaran oleh PT Henkel Indonesia itu, antara lain, disebabkan bahan pelarut organik, berupa gas SO2 dan S03, yang mudah terbakar dan beracun itu, lolos dari penyaring yang kurang sempurna dan beterbangan berupa debu mencemari udara. Kemudian, air bekas pencuci berbagai alat produksi, ternyata, ditampung di dalam bak yang tak sempurna, sehingga mudah merembesi permukiman. Yang lain ialah berisiknya pabrik karena tak menggunakan alat peredam suara. Suatu malam, dua tahun yang lalu, tiba-tiba entah apa yang terjadi di pabrik itu, asapnya mengepul menggelapkan areal sekelilingnya. Lebih 75% dari penduduk sekeliling pabrik menjadi sesak bernapas, mata perih membengkak, dan terbatuk-batuk mencium bau yang amat sengit. Mereka ramai-ramai menyerbu pabrik. Begitu mesin pabrik dimatikan, siksaan itu hilang. Tindakan yang bisa diambil penduduk ialah mengadu sampai ke KLH dan DPR, dan belakangan ini LBH. "Kalau dibiarkan begini, kami akan mati," kata Mohamad Sani, bekas ketua RT setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo