Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah membahas implementasi pendanaan tahap IV program pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) bersama Norwegia. Pemerintah pun mulai menggelontorkan dana kontribusi berbasis kinerja tahap I hingga III dari Norwegia dengan total nilai US$ 156 juta. Uang itu dikelola Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah keberhasilan Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 31,2 juta ton setara karbon dioksida (CO2) melalui Kemitraan Indonesia-Norwegia itu, muncul temuan jutaan hektare hutan yang berubah menjadi kebun kelapa sawit dan industri kehutanan. Di Kalimantan Timur, misalnya, analisis berbasis spasial Yayasan Auriga Nusantara menemukan lahan seluas 3,8 juta hektare dari 6,8 juta hektare wilayah kerja REDD+ dibebani konsesi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program REDD+ di Kalimantan Timur dijalankan melalui Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF)-Carbon Fund untuk periode 2019-2024. Indonesia sudah menerima pembayaran berbasis kinerja sebesar US$ 20,9 juta dari total komitmen US$ 110 juta. Pembayaran itu ditujukan untuk pengurangan emisi sebesar 22 juta ton setara CO2
pada 2019-2020. Sisa dana sebesar US$ 89,1 juta akan disalurkan Bank Dunia kepada pemerintah setelah validasi dan verifikasi penurunan emisi rampung.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi menolak menjawab pertanyaan ihwal alih fungsi hutan di wilayah kerja REDD+. Ia mengatakan harus melihat dulu apakah alih fungsi hutan benar terjadi. “Harus juga melihat sejarah peruntukannya. Peruntukan hutan itu dibagi-bagi. Ada hutan konservasi, berfungsi lindung, dan ada hutan yang bisa dikonversi untuk produksi.” Berikut ini petikan wawancara dengannya melalui Zoom pada 19 Februari 2024.
Bagaimana bisa jutaan hektare wilayah kerja REDD+ di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah justru dibebani konsesi?
Saya tidak bisa berandai-andai, harus melihat dulu mana yang dimaksud itu. Sebab, kita juga harus melihat apakah kemudian diketahui sejarah peruntukannya. Peruntukan hutan itu dibagi-bagi. Ada hutan konservasi, hutan berfungsi lindung, dan ada hutan yang bisa dikonversi untuk produksi. Jadi saya tidak bisa berandai-andai, apakah (alih fungsi hutan menjadi konsesi) itu memang benar terjadi atau tidak.
Apakah KLHK belum mengetahui adanya konsesi-konsesi tersebut?
Saya tidak dapat menjawab pertanyaan ini karena tidak tahu apa yang dimaksud temuan analisis berbasis spasial itu. Dalam mekanisme REDD+, penghitungan kinerja tidak mudah. Dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, kegiatannya tidak melulu menjaga luasan hutan. Hal ini juga dilakukan dengan meningkatkan kapasitas hutan untuk penyimpanan karbon. Jadi banyak hal yang dilakukan.
Bagaimana KLHK melihat implementasi program REDD+ di Indonesia?
Kalau bicara kontribusi berbasis kinerja (RBC) dari Norwegia itu, kami baru menerima pendanaannya dua kali. Pada tahap I pembayarannya diterima pada Oktober 2022, sedangkan tahap II dibayar beberapa bulan lalu menjelang akhir 2023. Dana yang kami terima kemudian dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Proses pembayaran ini dilakukan berbasis kinerja. Kemudian BPDLH bersama KLHK akan menyusun rencana investasi, mencantumkan bagaimana dana akan dimanfaatkan untuk tiga hal, yakni menambah kinerja pengurangan emisi gas rumah kaca, mendanai enabling condition, dan membayar manajemen pengelolaan oleh BPDLH.
Siapa penerima manfaat pendanaan REDD+?
Dalam skema RBC itu ada yang namanya benefit sharing mechanism. Jadi kami mengidentifikasi siapa yang menjadi beneficiary, yakni kelompok-kelompok yang telah berkontribusi pada kinerja atau yang punya potensi kinerja tambahan pengurangan emisi gas rumah kaca. Pendanaan RBC tahap II dan III belum dimanfaatkan karena pembayaran baru diterima beberapa bulan lalu. Saat ini investment plan sedang disusun.
Apa dampak skema hibah REDD+ bagi pelindungan hutan kita?
Dalam kegiatan mitigasi pada sektor kehutanan yang dilakukan hari ini, pengurangan emisi gas rumah kacanya tidak bisa dihitung saat itu juga. Misalnya, kalau sekarang menanam, itu untuk meningkatkan penyimpanan karbon di masa depan. Jadi perlu jeda waktu untuk mengatakan dampak dan manfaatnya bagi upaya pelindungan hutan. Contohnya sebagian dana yang didapatkan pada RBC tahap I itu digunakan untuk meremajakan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan agar dapat menekan potensi kebakaran di masa mendatang. Ada pula kegiatan yang sifatnya untuk enabling condition, seperti edukasi bagi generasi muda, atau untuk publikasi penyadartahuan bagaimana pentingnya menjaga hutan.
Apa saja program dana hibah REDD+ yang sudah masuk ke Indonesia?
Dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang mengatur penyelenggaraan nilai ekonomi karbon ada empat mekanisme. Peraturan ini merupakan implementasi Pasal 5 dan Pasal 6 dalam Perjanjian Paris. Mekanismenya melalui pembayaran berbasis kinerja (RBP) dan RBC untuk mendapatkan insentif dari negara-negara yang diwajibkan memiliki kinerja pengurangan emisi gas rumah kaca. Kemitraan kita dengan Norwegia memiliki program FOLU-Norway dengan capaian 31,2 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) senilai US$ 156 juta. Ini dibagi dalam tiga tahap, tahap I pada 2016-2017, kemudian tahap II 2017-2018, dan tahap III 2018-2019. Kemudian kita juga mendapatkan pembayaran REDD+ dari Green Climate Fund senilai US$ 103,8 juta atau setara 20,3 juta ton CO2e. Dua program ini dilaksanakan secara nasional. Adapun pendanaan subnasional, yakni FCPF-Carbon Fund Kalimantan Timur, setara 22 juta ton CO2e atau US$ 110 juta. Ada pula program Bio-Carbon Fund Jambi setara 14 juta ton CO2e atau US$ 70 juta.
Bagaimana metode penghitungan kinerja REDD+ dalam upaya mendapatkan hibah tersebut?
Kalau untuk REDD+, itu memang sudah ada metodologi-metodologinya. Nah, sebelum kami bisa melakukan kerja sama RBC, Indonesia perlu memiliki komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca. Kemudian kami perlu mempunyai strategi nasional berupa dokumen rencana aksi mengenai cara-cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan itu akan dilakukan. Kami juga harus memiliki penghitungan Tingkat Emisi Rujukan Indonesia (FREL). Kemudian dokumen lain adalah Tingkat Referensi Hutan (FRL) di tingkat nasional. Berbagai dokumen itu akan dihitung dan dilaporkan oleh Indonesia kepada Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC). Secara nasional kami juga perlu menyusun sistem informasi Safeguards REDD+ yang berfungsi memastikan kinerja pengurangan emisi bisa diukur. Kemudian Indonesia bisa melakukan inventarisasi dan penghitungan nilai penurunan emisi gas rumah kaca yang dicapai dalam tahun yang ditentukan.
Mengapa pada tahap IV pembayarannya diberlakukan mundur?
Norwegia ingin melanjutkan dari sekian periode, 2016-2017, lalu 2017-2018, dan 2018-2019. Pada tahap IV nanti untuk periode 2019-2020. Sebab, RBC yang dibayarkan berbasis pengurangan emisi yang sudah terjadi pada tahun-tahun lampau. Contohnya sektor kehutanan, pengurangan emisi bisa berubah lantaran pengaruh iklim atau kebakaran hutan sehingga pembayarannya harus yang sudah lampau atau yang sudah ada karena pasti tak akan berubah-ubah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kegiatan Kami Tak Melulu Menjaga Luasan Hutan"