Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Ketua KPAI: Pemerintah Sulit Menembus Lembaga Pendidikan Agama

Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menjawab soal kasus perundungan di lembaga pendidikan, seperti di SMA Binus School dan pesantren.

3 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUNDUNGAN di lembaga pendidikan terus terjadi. Bullying di Sekolah Menengah Atas Bina Nusantara School (Binus School), Serpong, Tangerang Selatan, Banten, melibatkan belasan murid. Kepolisian Resor Tangerang Selatan menetapkan empat tersangka dan delapan siswa harus berhadapan dengan hukum. Tidak hanya di Binus School, kekerasan terhadap anak juga terjadi di lembaga pendidikan berbasis keagamaan, seperti pondok pesantren. Bintang Balqis Maulana, 14 tahun, santri di pondok pesantren Al Hanifiyyah, Kediri, Jawa Timur, meninggal karena dianiaya para seniornya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua kasus di Jakarta dan Jawa Timur itu menambah panjang daftar kekerasan dan perundungan. Pada 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 137 anak menjadi korban perundungan dan 411 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikologis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menangani perkara itu, KPAI menerjunkan tim untuk mengadvokasi. Ketua KPAI Ai Maryati Solihah bercerita, timnya mendapat kendala di lapangan. “Binus School kurang memberi akses kepada banyak pihak,” ujarnya, Kamis, 29 Februari 2024.

Sebagaimana di Binus School, penanganan perkara di lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren sulit. Menurut Ai, banyak lembaga pendidikan seperti pesantren sulit diakses pemerintah. “Jangankan KPAI, lembaga setingkat pemerintah daerah atau kementerian saja sulit menembusnya,” tutur Ai.

Dari Cianjur, Jawa Barat, Ai menerima permintaan wawancara khusus wartawan Tempo, Yosea Arga Pramudita dan Praga Utama, melalui telekonferensi video selama lebih dari satu jam. Dia memaparkan progres pendampingan korban perundungan di Binus School, tantangan mengawasi lembaga pendidikan berbasis keagamaan, dan kewenangan KPAI dalam menangani kasus kekerasan pada anak.

Apa hasil investigasi tim Anda dalam kasus perundungan di SMA Binus School?

Kami memastikan korban sudah ditangani dan memang kondisinya sudah tertolong. Hasil koordinasi internal kami mengutamakan faktor keselamatan dan kesehatan fisik serta psikologis korban.

Bagaimana kondisi korban?

Kami melihat secara fisik sudah ditangani oleh tim medis. Tapi pendampingan secara psikologis harus dilakukan berulang dan perlu waktu intensif. Kami mendapatkan informasi bahwa korban mengalami perundungan lebih dari sekali, sehingga kami minta keluarga dan tim medis memberikan pertolongan terbaik dan pemerintah harus hadir.

Sejauh mana pemerintah berpihak kepada korban?

Kami mengajak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak sampai dinas teknis untuk terlibat melindungi korban. Dari situ ada tingkat kedaruratan korban dan kebutuhannya langsung dieksekusi. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga kami ajak koordinasi intensif untuk mengukur kerugian lantaran korban sedang bersekolah dan harus terhenti pendidikannya karena perkara ini.

Bagaimana Anda menangani pelaku yang sebagian berstatus anak berhadapan dengan hukum?

Mereka merupakan subyek yang kami awasi. Anak yang berhadapan dengan hukum harus punya pendamping selama proses berjalan. Kita tak boleh lupa mereka masih punya hak sebagai anak. Di antaranya pendidikan, akses bertemu dengan keluarga, pemeriksaan yang ramah anak, dan tak boleh ada ekspose identitas mereka.

Identitas sebagian anak terungkap karena mereka keluarga selebritas....

Kami memang sulit mengontrol. Karena itu, kami minta dengan penuh empati bahwa anak-anak ini usianya masih 16-17 tahun dan masih punya masa depan yang panjang. Tolong video mereka di media sosial diturunkan dan tak perlu dibagikan lagi. Kedua pihak, baik korban maupun pelaku, masih membutuhkan kesempatan bertumbuh dan mendapatkan ruang yang ramah bagi anak. Semua anak yang mengalami situasi ini harus terjamin hak dan perlindungannya.

Anda sudah bersurat ke Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menghapus video rekaman perundungan di media sosial. Apa hasilnya?

Kami berharap video yang beredar dan identitas yang tersebar bisa disetop. Kami juga mengirim surat ke Dewan Pers karena setiap kasus perundungan yang viral selalu disuarakan media massa. Kami mendata pemberitaan yang menayangkan ulang rekaman peristiwa itu dan mendapatkan laporan dari publik. Kami sampaikan itu ke Dewan Pers.

Apakah ada kendala ketika KPAI mengadvokasi kasus perundungan ini?

Binus School kurang memberi akses kepada banyak pihak. Sebagai lembaga pengawasan, kami punya prosedur menembusnya melalui surat dan meminta koordinasi. Ada sebuah dinamika di lingkup internal Binus School soal koordinasi dan kebijakan terhadap murid yang dropout.

Anda berkomunikasi dengan siapa saja untuk mengatasi persoalan itu?

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ada juga pihak yang kami anggap punya kompetensi dan legal standing untuk melakukan koordinasi. Kami tak mau pihak yang bertanggung jawab atas perlindungan anak-anak itu justru tak melakukan langkah yang semestinya.

Kami mendapat informasi bahwa geng di Binus School sudah lama eksis, termasuk perundungannya. Apa temuan Anda?

Perlu transparansi dan keterbukaan soal itu. Sebab, ada yang menyebut itu bullying atau ragging, perpeloncoan yang menjadi rantai kekerasan untuk mencapai sebuah level eksistensi atau kelas sosial tertentu. Pada akhirnya kami sedang tidak menyampaikan penilaian bahwa sekolah ini layak atau tidak. Bukan itu poin kami.

Apa?

Pemetaan kami adalah siapa korban dan siapa pelaku. Dua-duanya anak, mari kita lakukan langkah-langkah pelindungan.

Apa langkah KPAI mengawal kasus perundungan ini sampai tuntas?

Dalam aspek hukum, kami sudah mengidentifikasi beberapa langkah. Kami, misalnya, memastikan bahwa proses ini harus memenuhi Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak karena ada tiga subyek hukum dalam perkara ini: korban, pelaku, dan saksi. Pada ketiga kategori itu ada anak yang berhadapan dengan hukum.


Ai Maryati Solihah

Tempat dan tanggal lahir: 
Cianjur, Jawa Barat, 17 Desember 1980

Jabatan publik:
• Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2022-2027)
• Komisioner KPAI (2017-2022)

Pendidikan:
• Sarjana pendidikan agama Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat
• Master ilmu politik Universitas Nasional, Jakarta

Laporan harta kekayaan:
Rp 593,5 juta (2022)


Sejauh mana polisi punya perspektif pelindungan anak dalam perisakan di Binus School?

Mereka mendapat masukan sebelum menggelar perkara. Kami ingin tindakan yang diambil terhadap anak-anak yang masuk kategori pelanggaran sedang tak bisa dibawa ke tahanan. Bisa jadi tetap bersama keluarga dengan jaminan tak mempersulit penyidikan. Kami minta juga proses ini dilakukan dengan waktu sesingkat-singkatnya. Polisi sejauh ini melakukan sesuai dengan koridor.

Tak hanya di Binus School, kekerasan pada anak juga terjadi di pondok pesantren Al Hanifiyyah, Kediri, Jawa Timur. Apa temuan Anda di sana?

Kami juga turun di Kediri dan minta ada komitmen yang dibangun banyak pihak. Jika belum ada standard operating procedure, harus mulai dibuat di tingkat santri. Setidaknya dibuat aturan yang disepakati bersama di level pengasuh dan wali santri. Kemudian diketahui lembaga yang menaungi, yakni Kementerian Agama.

Mengapa insiden itu bisa terjadi sehingga menewaskan seorang santri?

Jumlah kekerasan di lembaga pendidikan keagamaan tak sedikit. Aksi kekerasan tak hanya terjadi di lembaga pendidikan keagamaan Islam atau pesantren, tapi juga di institusi asrama dengan basis Katolik, Protestan, atau Buddha. 

Apakah kasus di institusi yang punya asrama selain pesantren tak banyak terungkap?

Saya bukan ingin mengatakan bahwa ada peristiwa tapi tidak dilaporkan. Yang saya ingin tekankan bahwa ada kemungkinan peristiwa serupa terjadi di sana. Sebab, selama negara belum hadir serta paradigma pendidikannya masih belum mengikuti arus modernisasi dan standardisasi, ada peluang institusi itu membuat rumah tangganya sendiri. Mereka bisa berjalan tanpa kontrol dari pemerintah yang semestinya menaungi.

Asrama dan pesantren merupakan institusi tertutup sehingga anak rentan mengalami kekerasan. Anda sepakat?

Otoritas lembaga pendidikan berbasis agama seperti asrama atau pesantren itu melebihi negara. Karena mereka memang memiliki formulasi atau model yang ada sebelum negara ini merdeka. Tradisinya cukup unik. Syukurnya ada Undang-Undang Pondok Pesantren yang mengatur ketentuan ideologis. Ajaran di dalam sana tak boleh bertabrakan dengan ideologi negara. Dalam sepuluh tahun terakhir sudah terasa bagaimana pesantren mengajarkan pemahaman yang moderat.

Tapi masih ada lembaga pendidikan keagamaan yang resistan terhadap pengawasan. 

Banyak sekali kasus pemerintah sulit menembus pesantren ataupun lembaga pendidikan keagamaan. Banyak pesantren yang tak terbuka kepada kami. Jangankan KPAI, lembaga setingkat pemerintah daerah atau kementerian saja sulit. Karena mereka merasa sangat otonom. Pelajaran berharganya adalah tak boleh ada keterlambatan dalam merespons dan menangani situasi yang melibatkan anak-anak kita.

Anda punya pengalaman kesulitan mengawasi pesantren?

Kami pernah dibarikade oleh tim keamanan di pesantren milik Panji Gumilang di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. KPAI sampai tidak boleh masuk. Itu sekolah berbasis keagamaan yang elite. Pasti selalu ada hal-hal yang seperti itu. Tentu pelajaran berharga bagi kita adalah tidak boleh ada keterlambatan dalam menangani, mengelola, dan merespons ketika ada situasi di pesantren yang menyangkut anak kita.

Bukankah Kementerian Agama yang mesti lebih berani mengatasi kekerasan di pesantren?

Kementerian punya otoritas dalam memformulasikan pendekatan keilmuan dan keagamaan. Juga model berasrama, apakah pendidikannya bisa dilakukan di luar tapi tetap tinggal di pesantren.

Kementerian Pendidikan pernah mengeluarkan regulasi pencegahan perundungan. Seberapa efektif implementasi aturan itu?

Sebetulnya, untuk tingkat regulasi, sudah ada peningkatan secara substansi sampai operasional. Bukan hanya aturan yang jadi kebijakan. Operasionalnya itu diikuti oleh pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) di tiap level satuan sekolah. Dalam kasus di Binus School, saya belum tahu apakah mereka sudah membentuk tim itu sehingga bisa terjadi perundungan. Jika sudah terbentuk, mereka sudah bekerja atau belum.

Apakah TPPK efektif mencegah perundungan?

Aturan itu mencakup jenis kekerasan. Dulu jenis kekerasannya cuma fisik, cenderung pada perpeloncoan dan pemalakan. Sekarang jenisnya banyak sekali, dari fisik, psikologis, perundungan siber, hingga kebijakan yang diskriminatif. Pemerintah memformulasikan ragam kekerasan itu untuk menjadi kebijakan pencegahan di tingkat satuan pendidikan.

Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah saat memberikan keterangan pers di Jakarta, 27 September 2022. Antara/HO-Dokumentasi Pribadi

Karena kekerasan anak marak belakangan ini, kewenangan KPAI yang sebatas mengawasi rasanya tak cukup. Anda setuju?

Mandat Undang-Undang Perlindungan Anak, kami tak diberi kewenangan investigasi atau mencari fakta. Implementasinya kami harus bekerja dalam multistrategi. Salah satunya penguatan kelembagaan yang awalnya sekadar rekomendasi. Bisakah kami melakukan investigasi kasus, misalnya. Sekarang ini kami seolah-olah hanya watchdog. Namun saya harus berkaca bahwa lembaga kami tak seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Perangkat kelembagaan mereka memiliki biro yang kuat. Posisi kami secara kelembagaan belum sampai situ. 

Meski begitu, apakah hasil rekomendasi Anda dilaksanakan para pemangku kepentingan?

Pada 2023, misalnya, jumlah hasil pengawasan perlindungan anak yang ditindaklanjuti kementerian atau lembaga mencapai 17 dalam setahun. Capaiannya, di tingkat kementerian, baik Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Agama, 17 rekomendasi itu dilaksanakan.

Bagaimana bila lembaga itu tak patuh pada saran KPAI?

Kami bergerak pada aspek pengawasan. Ada saja hambatan di aspek keadilan pada ranah hukum, pemulihan psikologis, dan akses terhadap orang tua. Beragam persoalan yang mengitari anak untuk memperoleh kesejahteraan, itulah yang kami hadapi. Intinya, basis kami adalah koordinasi, advokasi secara umum, dan rekomendasi. Kalau lembaga lain tak menjalankan rekomendasi kami, mereka akan dipanggil Ombudsman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pemerintah Sulit Menembus Lembaga Pendidikan Agama"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus