Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia mengkritisi Uni Eropa yang masih merundingkan penundaan penerapan secara penuh kebijakan European Deforestation Regulation (EUDR) atau Peraturan Bebas Deforestasi. Uni Eropa masih merundingkan penundaan implementasi penuh EUDR selama 12 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya penundaannya sampai 30 Desember 2024, tapi akan diundur menjadi 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan 30 Juni 2026 untuk usaha mikro dan kecil. Indonesia memiliki lima komoditas terdampak peraturan EUDR, yaitu kayu, sawit, kakao, kopi dan karet, dan mulai mengambil langkah-langkah persiapan pemenuhan persyaratan EUDR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi menilai aturan soal benchmarking atau pemeringkatan risiko dalam EUDR berpotensi menimbulkan sejumlah tantangan terutama bagi negara-negara produsen utama seperti Indonesia.
“Sistem benchmarking saat ini, yang berpotensi menyamaratakan risiko seluruh komoditas dalam suatu negara dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti diskriminasi terhadap komoditas berisiko rendah serta dampak negatif terhadap petani kecil dan komunitas lokal dan masyarakat adat,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia dalam pernyataannya, Senin, 25 November 2024.
Koalisi ini terdiri dari 45 organisasi swadaya masyarakat, serikat petani dan buruh perkebunan, organisasi masyarakat adat, komunitas lokal, serta perwakilan perempuan dan pemuda. Mereka meluncurkan Kertas Posisi Bersama tentang benchmarking EUDR.
Sistem benchmarking EUDR saat ini dinilai berdampak negatif terhadap petani kecil dan komunitas lokal dan Masyarakat Adat. “Selain itu, kurangnya transparansi dalam proses penilaian dan terbatasnya keterlibatan pemangku kepentingan menimbulkan kekhawatiran mengenai keadilan dan efektivitas sistem ini,” kata koalisi.
EUDR mensyaratkan produk-produk yang masuk atau keluar dari Uni Eropa harus memiliki lima syarat, yaitu (1) bebas deforestasi sejak 31 Desember 2020; 2) diproduksi sesuai peraturan perundang-undangan negara produsen; dan 3) disertai pernyataan uji tuntas (due diligence).
Koalisi memberikan 10 rekomendasi kepada Uni Eropa untuk mengembangkan sistem pemeringkatan EUDR.
Pertama, penilaian spesifik risiko komoditas. Caranya dengan menerapkan penilaian risiko terpisah untuk masing-masing komoditas dalam suatu negara.
Kedua, peningkatan keterlibatan pemangku kepentingan. Menetapkan mekanisme formal untuk konsultasi dengan negara-negara produsen selama proses penilaian risiko. Lalu melibatkan organisasi masyarakat sipil lokal, masyarakat adat, dan petani kecil dalam pengumpulan dan verifikasi data.
Ketiga, transparansi metodologi. Mempublikasikan detail metodologi untuk perhitungan risiko. Lalu memperbarui dan mempublikasikan data secara berkala dan sumber yang digunakan untuk penilaian.
Keempat, penilaian sub-nasional. Menyempurnakan pendekatan risiko sub-nasional, penilaian untuk memperhitungkan variasi regional dalam risiko deforestasi dan tata kelola. Kemudian memberikan pedoman yang jelas mengenai cara pelaksanaannya di tingkat sub-nasional. Penilaian akan dilakukan dan terintegrasi ke dalam peringkat risiko negara secara keseluruhan.
Kelima, mitigasi dampak. Mengembangkan mekanisme dukungan bagi negara-negara tergolong berisiko tinggi, termasuk teknis bantuan dan program peningkatan kapasitas.
Keenam, indikator risiko tambahan. Memasukkan indeks korupsi dan prevalensi konflik agraria sebagai indikator risiko.
Ketujuh, kejelasan jangka waktu. Menetapkan dan mengkomunikasikan kerangka waktu yang jelas untuk pengumpulan data, periode penilaian, dan siklus peninjauan.
Kedelapan, penilaian dampak sosial-ekonomi. Melakukan penilaian potensi secara menyeluruh dampak sosial-ekonomi terhadap negara produsen, terutama pada petani kecil dan komunitas adat. Kemudian mengembangkan strategi mitigasi untuk meminimalkan dampak negatif terhadap kelompok rentan.
Kesembilan, pengakuan atas inisiatif keberlanjutan. Membangun mekanisme untuk mengenali dan mempertimbangkan keberlanjutan nasional yang memiliki inisiatif seperti SVLK-Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian, dan ISPO-Indonesia Sustainable Palm Oil di Indonesia ke dalam proses penilaian risiko. Lalu memberikan insentif bagi negara-negara untuk melakukan penguatan sistem keberlanjutan nasional.
Kesepuluh, perbaikan dan peninjauan berkelanjutan. Menerapkan proses peninjauan berkala untuk sistem benchmarking itu sendiri, yang melibatkan konsultasi multistakeholder. Selanjutnya membentuk panel ahli independen untuk melakukan hal tersebut, mengawasi dan memvalidasi penilaian risiko.
Koalisi menyatakan, jika rekomendasi ini diadopsi, Uni Eropa bisa menyempurnakan pendekatan untuk menciptakan sistem yang lebih adil, efektif, dan benar-benar berkelanjutan dalam memerangi deforestasi.
“Dengan bekerja sama secara erat dengan negara-negara produsen dan mempertimbangkan konteks unik dari berbagai komoditas dan wilayah, UE dapat mengembangkan sistem yang lebih kuat dan adil yang mendorong kemajuan nyata menuju rantai pasokan yang berkelanjutan dan bebas deforestasi,” tulis koalisi.