Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM beberapa tahun terakhir, transisi menuju energi bersih menjadi topik yang banyak dibicarakan di dunia. Di Indonesia, transisi energi ini tidak terlepas dari komitmen pemerintah Indonesia terhadap Perjanjian Paris untuk menekan laju emisi gas rumah kaca guna menghindari kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, transisi dari sumber energi dengan emisi yang tinggi menuju rendah tidak semata-mata menjadi urusan pemerintah. Nyatanya, transisi energi akan berdampak terhadap masyarakat umum, khususnya kelompok rentan dan termarginalkan. Karena itu, proses-proses dalam transisi energi ini perlu dilaksanakan secara adil dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini belum ada standar ukuran pencapaian tentang seberapa adil agenda transisi energi yang disepakati, baik secara nasional maupun global. Karena itu, perlu melihat lebih dalam bagaimana konsep dan studi kasus transisi energi saat ini.
Aktivitas pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan. Dok. TEMPO/STR/Eko Siswono Toyudho
Konsep Transisi Energi Berkeadilan
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan transisi energi berkeadilan sebagai proses menghijaukan ekonomi dengan cara yang adil dan inklusif untuk semua pihak. Transisi ini adalah proses menuju ekonomi ramah lingkungan yang dikelola dengan baik dan berkontribusi pada tujuan pekerjaan yang layak bagi semua, inklusi sosial, dan pemberantasan kemiskinan.
Sejalan dengan definisi ILO, pemerintah Indonesia dalam Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif JETP 2023 menerangkan bahwa transisi berkeadilan sebagai transisi energi yang risiko dan peluang sosial, ekonomi, dan lingkungannya didistribusikan secara adil di antara para pemangku kepentingan sesuai dengan kapasitas serta kondisi mereka. Dengan demikian, pemangku kepentingan yang rentan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memitigasi risiko, dan mendapat manfaat dari peluang transisi yang ada.
Lalu siapa saja yang dimaksudkan dengan pemangku kepentingan di sini?
Nick Robins dan James Rydge dalam artikelnya berjudul “Why a Just Transition is Crucial for Effective Climate Action” pada 2019 menjabarkan transisi berkeadilan mencakup pertimbangan atas dampak serta keterlibatan, baik dari pekerja, masyarakat, aktor dalam rantai nilai (produsen, usaha, dan konsumen), maupun masyarakat. Gambar di bawah ini menggambarkan cakupan serta aksi-aksi yang diperlukan untuk mencapai transisi yang dinilai adil.
Pedoman: Mendorong Transisi Berkeadilan di Indonesia (2023) berdasarkan Robins dan Rydge (2019). Dok: Azka Azifa/Dala Institute
Di samping mempertimbangkan dan melibatkan pihak-pihak yang terkena dampak, keadilan dalam pelaksanaan transisi dapat dilihat dari sedalam apa proses dan aksi-aksinya. Gaylor Montmasson-Clair, ekonom dari lembaga think-tank Trade and Industrial Policy Strategies (TIPS), membaginya dalam tiga dimensi, yaitu keadilan prosedural, keadilan distributif, dan keadilan restoratif.
Keadilan prosedural, juga disebut keadilan partisipatif, menekankan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Contohnya adalah bagaimana partisipasi pihak-pihak yang terkena dampak mengidentifikasi masalah yang timbul hingga merumuskan dan menetapkan potensi solusi untuk memitigasi dampak tersebut.
Dalam hal mengatasi efek langsung dari proses transisi, keadilan distributif mengacu pada pembagian risiko dan tanggung jawab di antara pihak-pihak yang terlibat dalam transisi. Sedangkan keadilan restoratif berkonsentrasi pada pemulihan kerusakan yang dialami oleh individu, masyarakat, dan lingkungan serta penyediaan kerangka kerja untuk memperbaiki atau memulihkan keadaan.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana penerapan transisi berkeadilan dalam konteks Indonesia saat ini?
Transisi di Daerah Penghasil Batu Bara
Pada 2023, Bank Dunia berkolaborasi dengan beberapa mitra, termasuk Dala Institute, untuk menerbitkan laporan berjudul “Social Dimensions of Climate Change in Indonesia”. Dalam laporan ini, Bank Dunia mengulas dampak dan kebijakan perubahan iklim yang terpusat pada pihak yang terkena dampak, termasuk masyarakat yang tinggal di daerah penghasil batu bara. Sebagai sumber energi utama di Indonesia dan salah satu negara produsen batu bara terbesar di dunia, batu bara memainkan peran penting dalam perekonomian nasional dan masyarakat yang menggantungkan hidup pada emas hitam ini.
Saat ini sumber produksi batu bara terkonsentrasi di Kalimantan dan Sumatera dengan skala operasi serta kontribusi terhadap perekonomian daerah yang berbeda-beda. Di Kalimantan Timur, batu bara menyumbang lebih dari sepertiga pendapatan domestik regional bruto (PDRB) pada 2021, terbesar di Indonesia. Adapun di Sumatera Selatan, kontribusinya terhadap PDRB jauh lebih kecil, tapi tetap besar dibanding rerata daerah lain, yakni 7,9 persen.
Area tambang batu bara di Sumatera Selatan. Dok. TEMPO/STR/Parliza Hendrawan
Meskipun batu bara menjadi bagian penting dalam perekonomian dan sosial daerah tersebut, karakteristik keduanya berbeda. Tambang batu bara di Sumatera Selatan dimulai sejak akhir 1800-an ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Saat ini, meski ada beberapa perusahaan besar, seperti PT Bukit Asam, pertambangan di Sumatera Selatan pada umumnya dikelola oleh masyarakat.
Sedangkan di Kalimantan Timur, tambang batu bara baru dimulai pada 1990-an. Pemain utamanya saat ini adalah perusahaan dengan skala besar.
Dalam laporan tersebut dijelaskan, dengan perbedaan karakteristik daerah, pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam transisi batu bara juga berbeda. Banyaknya produsen batu bara skala kecil di Sumatera Selatan menjadikan transisi yang berkeadilan perlu melibatkan banyak orang yang berkaitan erat dengan masyarakat lokal.
Sedangkan di Kalimantan Timur, perusahaan pertambangan batu bara nasional menjadi pemangku kepentingan utama. Kendati demikian, dampak transisi batu bara akan meluas ke rantai nilai yang bergantung pada komoditas tersebut. Transisi batu bara di Kalimantan Timur juga berkaitan dengan sektor forestry and other land use (FOLU), yang juga sedang mengalami transisi. Seiring dengan majunya transisi batu bara, masyarakat mungkin akan lebih bergantung pada sektor FOLU dan pertanian. Sebaliknya, jika transisi FOLU lebih maju, pemangku kepentingan lokal mungkin menjadi lebih bergantung pada batu bara.
Karena itu, transisi di Kalimantan Timur perlu dikelola dengan lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan konflik yang lebih jauh. Terlebih di dalam masyarakat terdapat kelompok dengan kerentanan berbeda-beda. Jika kerentanan setiap kelompok tidak diatasi atau proses transisi dianggap tak adil, peningkatan persaingan untuk sumber daya dapat memecah komunitas dan menyebabkan konflik antarkelompok.
Di Indonesia, komunitas tambang batu bara terdiri atas masyarakat lokal, masyarakat adat, migran, dan transmigran. Struktur sosial biasanya berhierarki dan berpusat pada perusahaan tambang yang menyediakan infrastruktur serta pekerjaan. Dampak yang diharapkan dari penghentian batu bara dapat menyebabkan konflik, terutama jika persaingan untuk pekerjaan dan sumber daya meningkat. Penting untuk mengatasi kerentanan setiap kelompok melalui berbagai intervensi dan memastikan bahwa tidak ada kelompok yang merasa tidak didengar atau terpinggirkan. Lewat gambar di bawah ini dapat dilihat contoh kelompok masyarakat yang terkena dampak dan transisi yang dibutuhkan.
Contoh kelompok masyarakat yang terkena dampak dan bentuk transisi yang dibutuhkan. Dok: Azka Azifa/Dala Institute
Pelibatan Masyarakat dalam Transisi Energi
Melihat banyaknya kelompok masyarakat yang terkena dampaknya, kebijakan transisi energi yang berkeadilan tidak cukup menjadi ranah pembahasan di meja pemerintah saja. Merujuk keadilan prosedural, berbagai kelompok masyarakat perlu dilibatkan dalam proses identifikasi masalah hingga perumusan kebijakan.
Secara ketentuan, hal ini dimungkinkan melalui diskusi-diskusi yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat melalui forum-forum musyawarah daerah. Pelibatan publik juga bisa dilakukan lewat media komunikasi dan perangkat hubungan masyarakat yang banyak dimiliki pemerintah saat ini.
Namun apakah itu cukup untuk menyebutkan transisi energi benar-benar melibatkan partisipasi masyarakat? Seberapa dalam keterlibatan masyarakat dalam transisi energi juga perlu dilihat lebih jauh.
Merujuk "tangga partisipasi", yang pertama kali dikenalkan oleh Sherry Phyllis Arnstein pada 1969, tingkat partisipasi masyarakat dalam sebuah kebijakan dapat dilihat dari tingkatan paling bawah atau mendasar, seperti pemberian informasi dan konsultasi. Pelibatan semacam ini masih sebatas upaya simbolis, masyarakat belum benar-benar terlibat secara prosedural dalam proses pengambilan keputusan. Adapun pada tingkatan tertinggi, partisipasi bisa berbentuk kemitraan dan pendelegasian.
Transisi energi yang berkeadilan jelas membutuhkan partisipasi publik yang bermakna. Hanya dengan begitu, implementasi kebijakan transisi energi tidak hanya adil dari kacamata pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah dan masyarakat yang terkena dampaknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini bagian dari Kolokium, program penulisan sains popular dan pengembangan komunitas peneliti yang dikelola Tempo. Sebagai rubrik, Kolokium terbit setiap Sabtu.