PANTAI Kuta dan pantai Uluwatu, yang kondang ke mancanegara sebagai pantai surga, pada tahun 2000 barangkali cuma tinggal nama. Gulungan ombak yang kian hari makin keras menerjang membuat sejengkal demi sejengkal pantai di kawasan wisata itu hilang ditelan samudra. "Tak sampai 10 tahun lagi obyek wisata yang terkenal itu akan habis semua, dan tinggal menjadi di kenangan," ujar Prof. J.A. Katili, ahli geologi terkemuka Indonesia. Maka, Katili menyarankan agar pemerintah segera mengambil tindakan drastis untuk menyelamatkan daerah pantai tersebut. Ia, seperti dikutip Suara Pembaruan pekan lalu, mengusulkan agar Bandara Ngurah Rai, Denpasar, dipindahkan dari kawasan pantai ke pedalaman. Katili menuding bandar udara internasional itu sebagai biang keladi terjadinya pengikisan pantai Kuta dan pantai Uluwatu. Menteri KLH Emil Salim membenarkan tudingan Katili itu. Ketika bandar udara tersebut dibangun pada 1969, menurut dia, studi Andal (Analisa Dampak Lingkungan) belum dikenal. Maka, landasan pacu Bandar Udara Ngurah Rai itu dibangun menjorok ke laut. Tanjung yang terbuat dari tanah beton itu mengubah perilaku gelombang laut setempat. "Arus dipecah, membelok lalu memukul pantai di kanan-kirinya," kata Menteri Emil Salim kepada Leila S. Chudori dari TEMPO. Jika pukulan ombak jatuh di bagian kiri (selatan), maka yang terkena adalah pantai Uluwatu. Jika yang terjadi sebaliknya, maka korbannya adalah pantai Kuta. Menurut sumber TEMPO di kantor Pemda Bali, pukulan ombak pada kedua pantai tersebut kian hari makin meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ahli dari Japan International Corporation Agency (JICA) memang menunjukkan bahwa abrasi pada kedua pantai itu cukup serius. Pada periode 1978-1988 garis pantai di Kuta telah tergusur ke darat sejauh 50 meter -- di beberapa tempat bahkan ada yang sampai 200 meter. Tim JICA menaksir, sekitar 16.000 m2 lahan pantai Kuta tenggelam setiap tahunnya. Akibatnya, pasir putih di daerah pantai Hotel Kartika Plaza, Kuta, yang terletak sekitar 1 km dari Bandar Udara Ngurah Rai, telah menipis. Untuk menambal pantai yang terkikis itu, pengelola Hotel Kartika Plaza telah mengajukan permohonan kepada Pemda Bali agar diizinkan mengeruk pasir putih dari kawasan Tanjung Benoa. Pasir itu akan dipakai menguruk pantai di belakang hotel. Tapi suara tak setuju sempat muncul. "Mestinya pantai Tanjung Benoa jangan diganggu gugat," ujar sumber TEMPO tadi. "Memindahkan pasir dari Benoa ke Kuta sama saja tutup lubang gali lubang. "Kedua pantai itu akan sama-sama rusak." Di saat soal pengikisan pantai itu ramai digunjingkan, landasan pacu Bandara Ngurah Rai justru tengah diperluas. Areal yang tergusur untuk perluasan adalah daerah pepohonan bakau di sebelah Selatan bandara tersebut. "Penebangan itu akan mempercepat laju abrasi di pantai Uluwatu," kata sumber TEMPO tersebut. Kontraktor proyek perluasan Bandar Udara Ngurah Rai, Nurcahyo, menolak tudingan telah melakukan penebangan hutan bakau secara tidak semena-mena. "Pepohonan itu berada di atas lahan bandara, dan sama sekali bukan hutan lindung," ujarnya. Ia menambahkan bahwa dalam pelaksanaan perluasan bandara itu, kontraktor telah melakukan studi Andal. Hasilnya? "Go!," tambahnya. Bagi Nurcahyo, mempersoalkan dampak pembangunan Bandar Udara Ngurah Rai pada saat ini sungguh tidak relevan. "Itu persoalan lama," ujarnya. "Ketika itu, jangankan Andal, Undang-Undang Lingkungan Hidup pun belum ada." Soal pengikisan pantai Kuta itu, tambahnya, tak semata-mata gara-gara landasan pacu yang menjorok ke laut. Kepala Biro KLH Bali, Drs. I Ketut Wiana, menambahkan bahwa pengikisan dipercepat dengan adanya pengambilan karang laut oleh penduduk, dan pembangunan hotel-hotel di dekat pantai. "Yang pasti, setiap hotel dibangun, selalu saja pantainya jadi terkikis. Paling tidak di kanan-kirinya," ujarnya. Keadaan ini tak cuma di pantai Kuta dan Uluwatu, tetapi juga terjadi di pantai Sanur, Legian, dan Nusa Dua. Abrasi memang merupakan gejala umum bagi pantai-pantai berpasir di Bali. Pantai-pantai telanjang itu semakin hari terlihat kian kurus saja. Lepas dari soal landasan pacu yang menjorok ke laut itu, Pimpinan Proyek Pantai Bali dari Kantor Wilayah PU Bali, R. Djarot Soeharjadi, melihat bahwa pengambilan karang oleh penduduk merupakan kasus yang menonjol. Hilangnya batu karang itu membuat struktur pasir pantai kehilangan penyangga. hingga mudah dihanyutkan arus samudra. Keadaan itu kian memburuk oleh penanganan yang tidak terpadu. Tak percaya? Silakan tengok Pantai Kuta. Pertamina Cottages memilih cara membangun tanggul sejajar garis pantai, sepanjang 350 meter, untuk melindungi lahan pantainya. Pada bekas lokasi Bina Marga Guest House, PU membuat krib, tanggul yang menjorok ke laut, sejauh 70 m. Sementara itu, Hotel Sun Set membangun kombinasi antara tanggul dan krib. Studi yang dibuat tim ahli JICA tak menemukan penyebab tunggal terjadinya abrasi di pantai Kuta. Di beberapa tempat, kasus pengambilan karang laut memang menjadi alasan terkuat atas berlangsungnya proses abrasi. Di tempat lain, pantulan gelombang yang menumbuk beton tanggul bandara dianggap sebagai penyebab pokok. Maka, Menteri Emil Salim keberatan atas usul pemindahan Bandara Ngurah Rai itu. "Kita bisa membangun krib di sana, dan krib akan mematahkan gelombang," ujarnya optimistis. Putut Tri Husodo (Jakarta) dan Joko Daryanto (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini