PAK Lurah akan punya tugas tambahan, yakni mengetuk pintu warganya dan mengharuskan orangtua agar menyekolahkan anaknya yang berusia 13-15 tahun. Ini adalah pelaksanaan program wajib belajar bagi lulusan SD, seperti dikemukakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan dalam Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat, Rabu pekan lalu. Program wajib belajar untuk tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sendiri direncanakan baru dilaksanakan secara penuh awal Pelita VI (1994-1999). "Daya tampung SLTP, yang selama ini hanya 68 persen lulusan SD, diharapkan nanti naik menjadi 85 persen," kata Winarno Hami Seno, Direktur Pendidikan Menengah Umum. Sebenarnya, tambah Winarno, beberapa tahapan persiapan wajib belajar SLTP itu sudah dirintis sejak awal Pelita V ini. Yang sudah dikerjakan ialah school mapping, meneliti jumlah sekolah, perkiraan anak usia masuk SLTP, dan program penyuluhan. Menjelang pelaksanaan secara penuh program wajib sekolah bagi anak-anak berusia 13-15 tahun itu pemerintah mulai berbenah. Yang dianggap perlu dipersiapkan ialah tenaga pengajar, peralatan, dan gedung sekolah. Bahkan program wajib belajar SLTP itu, selain dilaksanakan lewat SLTP reguler, juga akan diikutsertakan madrasah tsanawiyah, SMP terbuka -- bagi anak yang tak bisa mengikuti SMP biasa -- kejar paket B, pondok pesantren, dan kursus-kursus sebagai tempat ujian persamaan SLTP. Tak bisa terelakkan bahwa wajib belajar SLTP harus dilaksanakan. Seharusnya, program itu dilaksanakan lebih awal untuk menampung hasil program wajib belajar tingkat SD yang dicanangkan sejak 1984. Pembangunan SD baru, SD Inpres, penambahan guru, memang telah digalakkan tatkala itu. Menurut Hasan Walinono, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, program wajib belajar itu telah berhasil menjaring 95% anak usia 612 tahun. Anak-anak yang tak tertampung di SD, ujar Walinono, terutama adalah mereka yang menderita kelainan atau rumahnya benar-benar terpencil. Maka, wajar bila Menteri Fuad Hassan mengumumkan akan dilaksanakan program wajib belajar anak usia SLTP. Sebenarnya, di atas kertas, puncak "ledakan" lulusan SD hasil wajib belajar itu adalah pada 1989-90 (tahun ke-1 Pelita V), yakni 3.817.000. Selanjutnya, jumlah lulusan SD cenderung turun. Misalnya, pada 1990-91 diperkirakan menjadi 3.815.000 dan tahun berikutnya 3.725.000. Namun, menurut Hasan Walinono, lulusan SD yang melanjutkan ke tingkat SLTP tahun lalu sudah 68%. Tahun ini diperkirakan mencapai 69,4%. Sementara itu, anak usia 13-15 tahun yang sekolah di tingkat SLTP pada 1989-90 cuma 56,6%, dan pada 1990-91 diperkirakan naik menjadi 59,8% dari sekitar 12,5 juta anak. Agaknya banyak sebab mengapa tak semua lulusan SD melanjutkan ke SLTP. Kecuali kemampuan dan biaya, pembangunan gedung "SLTP Inpres" seperti SD sampai ke pelosok agaknya baru akan dimulai. Dalam Pelita V ini, akan dibangun 2.000 gedung baru dan penambahan 23.000 ruang kelas untuk SMP Negeri. Berdasarkan catatan di Direktorat Pendidikan Menengah Umum, sekarang ini baru ada lima provinsi yang sudah siap dan mampu melaksanakan wajib belajar SLTP. Yakni DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali, dan Bengkulu. Di lima provinsi itu, fasilitas yang diperlukan sudah memadai dan daya tampungnya sudah mencapai 100%. Di Jawa Barat, misalnya, lulusan SD yang tertampung di SLTP tercatat hanya 64%, sementara daya tampungnya baru 50% lebih. "Umumnya orangtua murid mempunyai alasan ekonomi. Mereka tak punya biaya untuk menyekolahkan anaknya sampai SMP. Juga, umumnya anak-anak di desa seumur itu sudah membantu orangtuanya bertani," kata A. Rusman, Kepala Sub-Bagian Penerangan Kanwil Departemen P dan K Jawa Barat. Alasan semacam itu diakui oleh Nana S., 43 tahun, salah satu orangtua yang punya anak lulus SD. Dia telah menetapkan anaknya tak perlu melanjutkan ke SMP karena tak ada biaya. Padahal Hendi, 12 tahun, tergolong cerdas. Di kelasnya ia menduduki peringkat kedua. "Sayang sih sayang, tapi biaya cukup berat," kata Nana, seorang sopir angkutan kota di Bandung. Agaknya, untuk memasukkan anak ke SLTP, seseorang mesti menghitung biaya. Kalau biaya memang memberatkan mungkin pemerintah perlu memikirkan kemungkinan pembebasan SPP. "Kemungkinan itu bisa saja, bila pemerintah mampu. Ini memang konskuensinya," kata Hasan Walinono dengan nada hati-hati. Sebab, ia belum punya gambaran mengenai hal bebas SPP itu. Yang justru dirisaukan Hasan Walinono menjelang wajib belajar SLTP ini adalah soal sedikitnya jumlah guru. Sekarang pun, katanya, kekurangan guru untuk SLTP sudah mulai dirasakan. Tahun ini, misalnya, 293 ribu guru harus mengajar 7,5 juta murid SLTP. Sementara itu, pengangkatan guru baru tiap tahun rata-rata cuma 20 ribu orang. "Masalahnya bukan sekadar mengadakan guru saja, tapi guru yang berkualitas baik," katanya. Hambatan program wajib belajar SLTP itu, dalam dugaan Hasan Walinono, juga akan muncul dari masyarakat sendiri. "Banyak yang masih berpikiran pendidikan SLTP tak perlu. Mereka beranggapan, toh lulusan SD juga bisa bekerja," katanya. "Ini memang tantangan, dan kami siap untuk berkampanye wajib belajar SLTP ini." Para lulusan SLTP nantinya memang tak harus melanjutkan ke SLTA. Namun, itu pun terserah pada masyarakat. Menurut rencana, dalam Repelita VI, pendidikan dasar 9 tahun dapat dilaksanakan secara nasional dalam bentuk wajib belajar tingkat SLTP itu. Gatot Triyanto, Sri Indrayati (Jakarta), dan Ida Farida (Bandung).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini