SEPERTI diduga, gugatan Presiden Direktur PT Mertju Buana, Probosutedjo, terhadap pimpinan Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), Christianto Wibisono, berakhir dengan perdamaian. Wajah Christianto berubah cerah begitu kuasa hukum Probo, R.O. Tambunan, usai membacakan persetujuan perdamaian (dading), yang bersampul merah, Rabu pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Chris, panggilan akrab Christianto, 45 tahun, kemudian menandatangani dading itu. Begitu juga kuasanya, Jhon Kusnadi, dan R.O. Tambunan. Selepas sidang, Chris, yang dikerumuni wartawan, agak enggan berkomentar. "Perdamaian hari ini ibarat kado istimewa buat saya karena bersamaan dengan ulang tahun ke-18 anak saya, Yasmin. Juga istri saya, Kumala Dewi, yang akan berulang tahun ke-43 pada Jumat esok," kata Chris gugup. Tak seperti hari-hari yang lewat -- sejak Probo memperkarakannya 7 Maret lalu Chris agaknya kini sudah bisa tidur nyenyak. Akibatnya, bukan hanya Chris yang dikabarkan menderita sakit lever tapi juga ladangnya, PDBI, konon, mengalami krisis kepercayaan dari konsumen. Semua itu bermula dari pemaparan Chris dalam diskusi panel "Aspek Hukum Konglomerat dalam Sistem Ekonomi Indonesia" di Universitas Tarumanagara (Untar), Jakarta, pada 20 Februari 1990. Waktu itu Chris menyebut-nyebut nama pengusaha konglomerat Indonesia yang lahir, menjadi kaya, dan merajalela karena telah menerima fasilitas lisensi dan proteksi dari Pemerintah. Di antara pengusaha itu, Chris mengungkapkan beberapa nama, di antaranya Lim Sioe Liong dan Probosutedjo, yang ngebut dengan dana duopoli cengkeh. Setelah itulah, Lim dan Probo berkiprah ke segala bidang usaha lewat persaingan bebas, dengan praktek dumping. Mendengar kabar itu, Probo, 60 tahun, rupanya berang. Melalui R.O. Tambunan, ia memperkarakan Chris, baik secara pidana maupun perdata. Sebab, menurut Probo, apa yang diutarakan Chris tadi semata-mata "fitnah tanpa bukti". Karena nama baiknya tercemar, Probo menuntut ganti rugi Rp 50 milyar -- kecuali jika Chris sanggup meminta maaf melalui iklan di 20 media massa Ibu Kota. Giliran Chris yang "belingsatan". Berkali-kali ia berupaya menemui Probo untuk berdamai dan meminta maaf, tapi tak kunjung berhasil. Memang, dalam beberapa pertemuan bisnis, Chris sempat bertemu dengan Probo. Tapi, Probo tak sekali pun berhasrat menyinggung perkara itu. Probo, kata R.O. Tambunan, mau berdamai asal Chris sudah yakin bahwa makalah "cengkeh" itu tak benar. Untuk itu, harus dibuktikan di pengadilan setelah Chris melakukan penelitian tentang tata niaga cengkeh ke Setneg, Departemen Perdagangan, atau instansi lainnya. Baru pada 26 April jalan perdamaian terbentang, setelah Chris dan istrinya sowan ke rumah Probo. Waktu itu, Probo dengan senyum lebar menyambut jabatan "maaf" dari Chris. Hasilnya, tuntutan iklan di 20 media massa itu dikorting menjadi tiga media massa saja -- belakangan malah nama ketiga media massa ini tak harus dimuat di dalam dading. Puncaknya, Selasa pekan lalu, sekitar pukul 20.00. Probo menyetujui iklan itu tak perlu ada, cukup dengan siaran pers Chris saja. Sebab, "Selama ini saya sudah melihat kesungguhan Chris minta maaf," ujar Probo, seperti diutarakan Tambunan. Maka, jadilah dading itu, yang berisi delapan pasal. Chris mengakui bahwa segala yang diutarakan dalam diskusi tadi, yang menyangkut Probo, adalah tidak benar. Sebaliknya, Probo juga akan mencabut pengaduan pidananya. "Inilah cara orang Indonesia. Tak setiap perkara harus diselesaikan secara hukum," kata Rektor Untar, D. Khumarga, penyelenggara diskusi panel tersebut. "Semua manusia bisa salah. Di seminar, saya akan lebih bersikap dewasa," ujar Chris. Hp. S, Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini