DI Kalimantan Barat, nasib petani lada seperti jatuh ditimpa tangga. Harga lada, yang Juli tahun lalu Rp7.800 per kg, dalam lima bulan terakhir ini anjlok Rp4.000. Sementara itu, kebun lada sebagai sumber penghasilan petani di sana sudah banyak yang tak tertolong dan amukan jamur ganas. Pohon yang kena jamur atau phytopthora itu ada yang sedang berbuah atau masih dalam usia produksi. "Pohon lada di kebun saya itu sudah lebih dari seribu yang mati kering," ucap Syarif Muhammad, 60 tahun, petani lada yang bermukim di Sambas. Tapi yang dialami Bun Djan Pin, di antara 4.500 pohon itu, sudah 2.000 batang diganyang jamur. Dan yang ludes semua, 5 ribu pohon adalah milik Si Po. Total, di Kabupaten Sambas saja, yang kena bencana sudah 418 ribu batang. Sedangkan yang di Pontianak, baru ketahuan sekitar 10 persen yang diserang jamur. "Kasus ini sejak tiga bulan lalu sudah dilaporkan ke atasan, tapi belum ada tim yang turun kemari," kata Ir. Munting H.I.S., Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Sambas. Disbun di sana cuma mempekerjakan dua tenaga penyuluh, selain mereka itu memang tidak dilengkapi oleh sarana obat. Kemudian, upaya membasmi penyakit itu terserah pada si petani lada saja. Karena itu, Bun Djan Pin, misalnya, mencoba menyemprot fungisida Capfoltan 50WP yang dibelinya dari Serawak. Namun, usahanya itu sia-sia belaka. "Penyakit yang melanda pohon lada itu perlu diteliti tuntas, dan tim yang lengkap perlu segera diturunkan," kata Kadir A. Rahman, Direktur Balai Informasi Pertanian Kal-Bar. Tapi terhadap pohon lada di Pontianak yang mengalami serangan serupa sudah dilakukan penelitian sejak sebulan lalu. Itu milik PT Nusa Kalimantan yang luasnya 10 hektar. "Sekitar 10% tidak bisa diselamatkan lagi," kata Subagio, 26 tahun, peneliti dari Laboratorium Lapangan Disbun Kal-Bar. Di Kecamatan Sungai Raya, Sambas, juga sudah ada penelitian. Gejala penyakitnya sudah diketahui, memang phytopthora. "Dan karena banyak, belum diketahui phytopthora itu dari varietas mana yang menyerang," tambah Subagio. "Jika jenisnya phytopthora palmivora ya, memang ganas." Tapi jamur jenis apa pun selalu menyebalkan, karena menyerang daun, akar, dan pangkal batang di bagian bawah. Berkembang biak dengan spora, setelah benihnya diterbangkan angin atau dihanyutkan air, phytopthora menjadi-jadi bila kelembapan tinggi. Indikasinya adalah hujan. Tampak dari luar serangan jamur ganas tersebut cuma warna putih di batangnya yang hanya bisa jelas kalau dilihat di bawah mikroskop. Sebab, putih yang tadi itu belum tentu phytopthora. Dan kalau serangan jamur mulai di pangkal batang, maka pohon itu luka dan mengeluarkan cairan seperti oli. Penyakit seperti itu dialami tanaman milik Wan Amat, bekas nelayan yang sudah tiga tahun mendarat, membuka kebun lada. Pada mulanya ia melihat daun beberapa pohon ladanya menguning. Tapi di tempat lain, beberapa sentimeter dari tanah ada yang terluka di pangkal batangnya. Wan Amat tidak tahu akar pohon ladanya itu sudah membusuk, karena tak lama tanaman tersebut mati. Ketika serangan di daun, gejalanya bercak besar kecokelatan dan hitam, lalu rontok. Tapi itu bisa diatasi dengan menyemprotkan fungisida Difolatan 4F, yang sudah direkomendasikan Komisi Pestisida. Cuma kalau di pangkal batang yang kena, apalagi akar? "Apa pun obatnya, harapan nyaris tiada," tutur Subagio. Dan jika suatu kali ada daerah yang dirambah phytopthora, maka selanjutnya akan merepotkan. Sebab, jamur ini, kalau sudah mendekam di tanah, tak mati, kendati tidak ada tanaman yang dijadikan mangsanya. Kecuali bila sejak awal penanaman itu sudah dikaji baik-baik kondisi tanahnya. "Seharusnya memang sejak dari awal sudah diteliti," ujar M. Saidi, Bupati Sambas yang baru sebulan memangku jabatannya itu. Sedangkan dugaan Subagio, malapetaka itu bersumber dari jamur yang menyerang pohon karet, yang kini diganti dengan lada itu. "Bekas pohon karet yang mati sehabis ditebang biasanya jadi sasaran empuk untuk berkembangnya jamur," tutur Subagio lagi. Tapi, menurut Kadir, selama 15 tahun ini tidak pernah ada serangan penyakit yang membikin fatal seperti sekarang ini. Bahkan, kata Munting, ada ahli dari Bogor pernah menyatakan bahwa Kal-Bar sebenarnya sudah bebas phytopthora. Kini Bupati Saidi waswas mengingat hasil lada itu merupakan komoditi andalan Kal-Bar kedua setelah jeruk. Malah, Sambaslah daerah potensi utama lada. Arealnya hampir 2.700 hektar, dan memberi hasil setahun kira-kira 2 ribu ton. Di seluruh Kal-Bar, produksi lada sekitar 4 ribu ton, dengan nilai Rp16 milyar. Tapi tahun ini, begitu perkiraan Kadir, produksi akan melorot drastis karena diserang jamur. "Ya, Allah. Kalau sampai habis, ini memalukan. Saya mau pergi saja dari Kalimantan Barat ini," ujar Wan Amat mengeluh. Mungkin, pada tahun ini ia urung naik haji. Ia merasa upayanya memberantas penyakit itu sudah mentok, padahal pernah ada tiga sarjana dari Dinas Perkebunan Kal-Bar sempat menengok kebunnya. Bahkan di sekitar pohon lada itu pernah mereka sarankan agar disiangi oleh Wan Amat. Setelah itu, supaya disemprot fungisida, kemudian baru ditutup dengan daun pisang kering. "Pohon lada itu malah tambah cepat mati," tutur Wan Amat. Ia di antara 1.500 kepala keluarga di Sambas yang hidup dari kebun lada. Kini jamur ganas yang melanda lebih dari 417 ribu batang di Sambas itu mengancam investasi -- dari awal sampal menjelang panen -- yang bernilai Rp5 milyar itu. Sedangkan kerugian atas panen yang mestinya sudah dipetik hasilnya sekitar Rp2,5 milyar. Angka tersebut tentu bisa bengkak lagi kalau dihitung kerugian di seluruh Kal-Bar, yang memang potensial menghasilkan lada itu. "Sekarang, selain berusaha, kami hanya bisa berdoa saja supaya hujan tidak sering-sering lagi," kata Wan Amat.Suhardjo dan Djunaini K.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini