Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menentang arus batang asai

Memperingati HUT provinsi Jambi ke-32, diadakan lomba yang diikuti 75 tim perahu (karet, kayak, kayu) mengarungi deras arus & kelokan sungai batang asai. tujuannya: untuk pariwisata & membuka keterpencilan.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHADAPI derasnya air yang bahkan mengasyikkan itu memang tak serupa menentang arus yang amsal. Makanya, 8-9 Januari silam sekitar 75 tim perahu (karet, kayak, kayu) mengarungi deras arus dan kelokan Sungai Batang Asai. Ini merupakan salah satu acara memperingati hari ulang tahun Provinsi Jambi ke-32. Peserta dari Jakarta, Bandung, Yogya, Palembang, dan tuan rumah Jambi bahkan sejak November tahun lalu sudah siap. Sembilan tim Bandung, misalnya, setelah menerima undangan dari panitia, lalu berlatih dua kali seminggu di Sungai Cisadane, Citarum, dan Cimandiri. Tapi, dalam masa uji coba itu korban jiwa pun jatuh. Seorang anggota Lintas Alam dan Penempuh Rimba Gideon Bandung tewas ketika berlatih di Sungai Cimandiri beberapa hari menjelang berangkat ke Jambi . "Kami batal berangkat. Juga perahu kami rusak," kata Luki dari Gideon kepada wartawan TEMPO Hedy Susanto. Lomba Perahu Arus Deras memang jarang dilakukan. Sejak Reli Citarum I 1975 dan Citarum II 1977 tak ada lagi lomba sejenis itu. Sedangkan ekspedisi juga tak sering dilakukan. Misalnya yang dilakukan Wanadri: di Sungai Selabung, Sumatera Selatan (1984), di Sungai Alas, Aceh (1986), di Sungai Kahayan, Kalimantan Selatan (1986), dan di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur (1987). Sungai Batang Asai di Kabupaten Sarolangun Bangko, yang menjadi hulu Sungai Batanghari, dianggap panitia cukup ideal sebagai arena lomba. Grade atau tingkat kesulitannya berkisar 2-3 (sedangkan grade Sungai Alas 5-6). "Kurang ideal, karena penurunannya cuma 2-5 meter tiap kilometer. Yang ideal adalah 2 kali lebih curam," kata Arif, peserta dari Bandung. Mulai start bagi 400 orang pelomba, yang telah dipilih panitia (setelah disurvai oleh Mapala UI) adalah Desa Muara Talang di hulu Batang Asai. Untuk mencapai desa terpencil itu peserta harus menempuh jarak sekitar 300 kilometer ke tenggara kota Jambi. Perjalanan dilakukan dengan bis, plus 12 jam lagi berperahu sembari melawan arus ke hulu. Dua hari perlombaan dengan perahu karet itu berlangung dalam hujan melalui dua etape: Muara Talangranjung Kasiro di hari pertama, dan Tanjung Kasiro Berau di hari kedua. Dalam pada itu, penduduk 14 desa yang berdomisili di sepanjang sungai menyaksikan para pelomba meliuk di atas arus deras, mengelakkan bongkahan batu. Mereka menonton sambil mendulang emas, bersawah, dan menderes karet. "Selain untuk pariwisata, ini merupakan salah satu upaya membuka daerah ini dari keterpencilan," kata Gubernur Jambi Masjchun Sofwan pada Bersihar Lubis dari TEMPO. September 1987, Masjchun juga telah menghadiahkan sebuah antena parabola untuk masyarakat Pekan Gedang, ibu kota kecamatan Batang Asai.Burhan Piliang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus