Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Riuh Mencari Tjalie

Komunitas teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia mengadaptasi dua kumpulan cerpen Tjalie Robinson, seorang keturunan Belanda pencinta kultur Indo. Pencarian yang hendaknya tak berhenti.

18 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pekuburan, perempuan itu menari-nari dengan membawa semangka. Ukurannya lebih besar daripada kepala manusia. Kelihatannya berat, meski buah itu bisa berputar-putar dengan loncer di tangannya. Semangka kemudian ditaruh begitu saja. Ketika datang si peninggal pekuburan, semangka itu lantas dilempar ke atas kepala. Pecah berantakan.

Pekuburan itu bukanlah pekuburan yang asli. Rabu pekan lalu, sebagian ruang pertunjukan di gedung Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, disulap bak taman kematian. Di atas lantai ruangan—setingkat dengan kursi penonton—kita melihat ada sepotong ruang yang ditata seperti makam, lengkap dengan nisan, tanah berserak, dan bunga tabur.

Menempel pada sisi layar, duduklah para musisi keroncong dan dalang wayang, lengkap dengan panggung kecilnya. Terus berjejeran, di samping mereka, para aktor dan aktris dari komunitas teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung duduk menunggu tampil. Layar menyajikan potongan-potongan film dan foto Indonesia, dari era kolonial, penjajahan Jepang, hingga tsunami pada 2004. Bertumpuk di atasnya, terlihat bayang-bayang tubuh si perempuan yang menari. Rupanya, peristiwa di muka panggung langsung disemprotkan melalui peralatan multimedia ke layar.

Dalam lakon Cuk, rumah orang mati itu adalah tempat tinggal Tuan Barres. Ia guru musik pemain cello, yang bangga sekadar menjadi penonton bagi dunia di luar makam itu. ”Aku membayar sewa atas semua ruang di dalamnya,” kata dia. Tuan Barres adalah teman Cuk, seorang gadis tangguh. Cuk gelisah dengan hidupnya yang ada dalam dua dunia: dirinya yang asli—bernama Gerda yang ”manis juwita”—sementara ia hidup dikelilingi lingkungan laki-laki dan senapan. Ia mengaku pemburu yang doyan membunuh, meski belakangan ia pun mati tak berdaya.

Cerita berikutnya, Cis, juga berkisah tentang perempuan. Kali ini bernama Didi. Ia dari jenis yang pemarah dan kecewa karena cintanya, seorang laki-laki Indo, pulang ke Belanda, sementara ia berbadan dua. Lihatlah Didi berputar-putar di atas kursi roda, dan jatuh tersungkur tak bangun lagi. Didi dan Cuk dimainkan dengan sungguh apik oleh aktris Mella Septiyanti.

Cuk dan Cis diadaptasi dari Tjoek dan Tjies, kumpulan cerpen karya Vincent Mahieu alias Tjalie Robinson (1911-1974). Ia seorang Indo dari ayah Belanda dan ibu campuran Inggris dan Jawa. Tjalie menghabiskan 44 tahun hidupnya di Hindia Belanda. Ia pernah menjadi guru dan kontributor surat kabar. Di zaman Jepang, ia menghuni setidaknya dua kamp konsentrasi. Ketika Hindia Belanda kemudian merdeka menjadi Indonesia, Tjalie menekuni profesi wartawan. Tapi aktivitasnya mempertahankan kultur Indo banyak mengundang kontroversi hingga ia kembali ke Belanda pada 1955. Di sana ia mendirikan majalah Tong Tong—kini bernama Moesson—dan mengawali tradisi pasar malam besar bagi kalangan Indo di Belanda pada 1959, hingga kini.

Tjalie, kata asisten sutradara Hermana H.M.T., sangat suka pada wayang dan keroncong. ”Maka kami mencoba menggabungkan keduanya walau sangat sulit,” kata Hermana tentang pertunjukan yang dibiayai Kedutaan Besar Belanda itu.

Ya, kesulitan itu sungguh tampak dalam jalannya pertunjukan. Ada begitu banyak peristiwa yang berlangsung paralel selama dua jam itu: tarian kontemporer berkostum Jawa; fragmen teatrikal, lakon wayang lengkap dengan dialog dalang, dan aksi gelut (bahasa Sunda: berkelahi) ala Cepot; musik keroncong yang dikombinasikan dengan tradisi karawitan; dan layar multimedia yang berkelebat antara masa lalu dan ruang kini. Sungguh riuh.

Sutradara Asep Budiman mengatakan ia ingin menggali ikon-ikon budaya yang dimiliki Tanah Air, seperti tari, wayang, dan musik keroncong, demi menyampaikan pesan yang universal. Itu pun diantar melalui metafora yang bertaburan dan multipersepsi. ”Saya tidak pikir apakah ini postmodernism atau avant-garde atau apalah,” katanya.

Tak ada yang salah dengan menjadi riuh. Menurut Slamet Rahardjo Djarot, aktor senior yang malam itu hadir, sesungguhnya titik temu antara Timur dan Barat tak akan habis dicari. Dan pencarian-pencarian itu kemudian akan menjadi latihan yang baik bagi setiap generasi aktor/aktris untuk menimba pengalaman. ”Jangan berhenti. Teruslah mencari,” katanya.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus