Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Apa Hasil COP27 Mesir Paling Penting

Wawancara Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Yeb Saño yang memantau dari dekat negosiasi konferensi iklim COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir.

27 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOLOR dua hari dari jadwal, Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, baru ditutup pada Ahad pagi, 20 November lalu. Meski sudah jadi tradisi Konferensi Iklim selalu molor, tambahan waktu COP27 menjadi yang terlama sejak COP pertama 1992, yakni Konferensi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Delegasi hampir 200 negara berkumpul di kota pantai Laut Merah itu sejak Ahad, 6 November lalu. Ditambah peserta dari media, pengamat, industri, dan para pelobi, total peserta COP27 yang dicatat oleh panitia mencapai 45 ribu orang. Mereka berkumpul di pusat konferensi di tengah gurun yang baru dibangun pemerintah Mesir tiga bulan terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada tiga pembahasan alot yang membuat COP27 molor: menghentikan semua energi fosil pada 2030, pembiayaan adaptasi dan mitigasi krisis iklim, serta pembiayaan kehilangan dan kerugian (loss and damage) bagi negara-negara berkembang. Negara-negara maju dan industri mengerahkan sekitar 600 pelobi untuk menjegal proposal India menghentikan energi fosil itu.

Proposal India tersebut mengejutkan, mengingat dalam COP26 Glasgow bersama Cina, India menganulir keputusan penghentian bertahap batu bara. Soal ini para pelobi menang. Proposal ini gagal melaju ke tahap final. Hanya dua yang kemudian menjadi keputusan. “Selama 30 tahun kita menunggu keputusan pendanaan loss and damage ini,” kata Yeb Saño, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, beberapa jam setelah COP27 usai, kepada Tempo.

Yeb Saño orang Filipina. Ia bergabung ke Greenpeace pada 2016. Sebelumnya dia menjadi negosiator iklim mewakili pemerintah Filipina dalam setiap COP. Karena datang sebagai utusan Greenpeace, status Yeb adalah peninjau (observer). Namun dia mengamati dari dekat negosiasi-negosiasi yang alot. Saat wawancara melalui Zoom, matanya masih sembab karena kurang tidur mengikuti konferensi maraton. 

Apa yang terjadi di COP27 sampai molor dua hari?

Membahas tiga area: menghentikan energi fosil, dana mitigasi dan adaptasi krisis iklim, serta pembiayaan loss and damage. Awalnya kami tidak terlalu berharap loss and damage fund akan terwujud. Tapi akhirnya mereka setuju. Ini tonggak penting dalam mitigasi krisis iklim. Sebab, ini menjadi sinyal penting keadilan iklim. Selama 30 tahun kita menunggu dana ini dibentuk. Area kedua tentang dana adaptasi. Sebelum negara mengalami kerugian dan kerusakan, kita harus mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Sayangnya, jumlah dana yang mengalir untuk adaptasi sangat kecil. Bidang negosiasi kunci ketiga adalah apakah COP27 dapat menghasilkan keputusan untuk keluar dari bahan bakar fosil. Yang terakhir ini sulit. 

Untuk apa dana loss and damage?

Memberi dukungan bagi negara-negara yang mengalami kerugian dan kerusakan, baik ekonomi maupun nonekonomi, akibat bencana iklim. Negara berpenghasilan rendah sangat sedikit punya pilihan menghadapi bencana iklim. Sangat sulit bagi mereka bangkit kembali. Masyarakat Indonesia yang terkena dampak naiknya permukaan air laut, atau kegagalan dalam pertanian, tidak bisa mengakses uang dan dukungan keuangan jika tidak ada pendanaan ini.

Berapa nilainya?

Itu tanda tanya besar karena negara-negara kaya bahkan belum mampu memenuhi komitmen US$ 100 miliar mandat Perjanjian Paris 2015. Janji US$ 100 miliar itu dibuat di Kopenhagen, Denmark, pada 2009. Sampai sekarang tak terwujud. 

Siapa yang akan mengelola dananya?

Salah satu perdebatan terbesar dalam COP27 adalah ihwal ini. Negara-negara kaya berusaha menyusun mekanisme keuangan di luar UNFCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim). Tapi penting bahwa dananya harus ada di dalam UNFCCC. Sebab, jika di luar UNFCCC, akan menyalahi prinsip pencemar harus membayar. Pemilihan negara penerima juga akan selektif sehingga tak efisien.

Jadi semua itu belum dibahas dalam COP27?

Belum terlihat.

Maka apa selanjutnya?

Ada banyak pekerjaan untuk COP28 guna memastikan uangnya ada. Kami juga harus memastikan, selain negara, sektor swasta memberi kontribusi. Jadi ini sangat tergantung bagaimana dana itu dirancang dan dimobilisasi. Sebab, negara-negara juga punya komitmen adaptasi dan mitigasi. Dana loss and damage disepakati didedikasikan pada 2028. PBB membentuk Komite Peralihan satu bulan sejak sekarang (Presiden COP27 Sameh Shoukry mengatakan Komite Peralihan yang akan bekerja merancang loss and damage fund sebelum Maret 2023).

Bentuk pendanaannya akan berupa hibah atau utang?

Harus hibah. Itu yang kami dorong. 

Bagaimana negara berkembang seperti Indonesia bisa mengakses dana tersebut?

Ini skema pembahasan yang alot. Banyak negara termasuk anggota Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat, dan negara maju berkeras bahwa hanya negara yang paling rentan yang berhak mendapatkan dana itu. 

Dalam hal penghapusan bahan bakar fosil, apa sikap negara-negara Asia?

Sangat sulit melihat secara utuh posisi tiap negara dalam penghapusan bahan bakar fosil. Tapi kelihatannya Indonesia tidak memblokir. Tidak jelas siapa yang mendukung dan siapa yang menolak. Kabarnya ada 80 negara mendukung, tapi kami tidak tahu mana saja 110 negara yang menolak.

Anda melihat ada sense of urgency krisis iklim dalam COP27?

Sama seperti COP lain. Selalu politis. Ada kesepakatan mengurangi emisi 43 persen pada 2030. Tapi tidak ada hasil untuk pengurangan bahan bakar fosil. Menurut saya, sulit mencapai pengurangan emisi jika bahan bakar fosil tidak dihapus.

Apa alasan negara-negara maju?

Terhalang oleh kepentingan industri bahan bakar fosil. Itu sangat jelas. Dalam COP kali ini banyak sekali pelobi industri bahan bakar fosil. Menurut sebuah laporan, setidaknya ada 600 pelobi bahan bakar fosil yang hadir dalam COP tersebut. Dan itu banyak sekali. 

Pasal 6 Perjanjian Paris tentang perdagangan karbon apakah dibahas lagi?

Itu menjadi bagian penting mencapai ambisi mencegah krisis iklim. Penyelesaiannya melalui pasar dan nonpasar. Tapi soal pasar karbon mesti hati-hati. Greenpeace menentang semua proyek penggantian karbon karena kita tidak memiliki kemewahan menyelesaikan perubahan iklim dengan membiarkan negara-negara kaya terus mencemari udara kita, lalu mereka mengimbangi emisi tersebut dengan meminta negara-negara berkembang dan miskin menerapkan pengurangan emisi dan memperdagangkan kredit emisinya. 

Bagaimana Anda menilai aliansi hutan hujan Brasil, Indonesia, dan Kongo?

Sangat penting. Ini benar-benar sinyal positif.

Aliansi ini bisa menaikkan daya tawar negara berkembang kepada negara maju dalam pembiayaan iklim?

Hal krusial jika kemitraan ini menciptakan lebih banyak karbon, ketergantungan pada pasar karbon, dan membuka semua hutan yang tersisa di tiga negara ini ke pasar karbon. Itu akan menyebabkan deforestasi meluas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "COP27 Menghasilkan Tonggak Penting Mitigasi Iklim"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus