Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMATIAN keluarga di Kalideres, Jakarta Barat, mulai menunjukkan titik terang. Polisi tidak menemukan ada pihak luar rumah yang terlibat. “Semua pintu terkunci dari dalam, tidak ada bercak darah dan jejak orang lain di luar empat korban,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Komisaris Besar Hengki Haryadi pada Senin, 21 November lalu.
Empat jenazah ditemukan meninggal di dalam salah satu rumah di Perumahan Citra Garden Satu Extension, Kalideres, pada Kamis, 10 November lalu. Mereka adalah Rudyanto Gunawan, 71 tahun, Renny Margaretha Gunawan (68), Dian Febbyana Apsari Dewi (42), dan Budyanto Gunawan (68). Rudyanto dan Margaretha adalah ayah dan ibu Dian. Adapun Budyanto adalah adik Rudyanto.
Penemuan empat jenazah berawal dari kecurigaan warga terhadap bau busuk di sekitar rumah korban. Apalagi mereka sudah lebih dari satu bulan tidak tampak keluar dari rumah. Sejak September, nomor telepon para korban sudah tidak bisa dihubungi.
Tjong Tjie Kian alias Asiung, Ketua Rukun Tetangga 007 Perumahan Citra Garden Extension 1, mengatakan sudah sekitar dua bulan para penghuni rumah tidak ke luar dan berkomunikasi dengan warga. Asiung terakhir kali berkomunikasi dengan Dian melalui aplikasi pesan WhatsApp pada 30 Agustus lalu untuk menagih iuran listrik. “Iya, Om. Maaf ya, Om. Jadi ngerepotin. Nanti aku kabari lagi,” ujar Asiung menirukan pesan Dian.
Warga kompleks menjebol pagar besi rumah keluarga tersebut karena bau busuk makin menusuk. Pintu rumah terkunci. Saat diintip lewat jendela, mereka melihat Budyanto tergeletak di ruang tamu. Mereka lantas melapor ke Kepolisian Sektor Kalideres.
Di dalam rumah, polisi menemukan empat penghuni rumah telah meninggal. Dian dan ibunya tergeletak berdua di kamar belakang. Adapun Rudyanto dan Budyanto berada di kamar tengah dan ruang tamu.
Awalnya polisi menduga keempat korban meninggal karena kelaparan. Tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh mereka. “Dari pemeriksaan dokter, tidak ada makanan di lambung korban, otot-ototnya juga mengecil,” tutur Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat Komisaris Besar Pasma Royce pada Jumat, 11 November lalu.
Empat hari kemudian Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan meralat pernyataan Pasma. Menurut Endra, dugaan korban meninggal karena kelaparan belum terbukti.
Seseorang yang ikut menyelidiki kasus ini mengatakan kesimpulan korban meninggal bukan karena kelaparan diambil setelah tim kepolisian bertemu dengan para pakar forensik dan kriminolog Universitas Indonesia di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, pada Senin, 14 November lalu.
Persamuhan itu menyimpulkan peluang korban meninggal karena kelaparan sangat kecil. Salah satu alasannya, mereka berada di lingkungan yang mudah memperoleh bantuan makanan.
Kepala Departemen Forensik Fakultas Kedokteran UI Ade Firmansyah Sugiharto ikut dalam penelitian jenazah keempat korban. Ia membenarkan bahwa kecil kemungkinan korban meninggal karena kelaparan.
Lambung yang kosong tidak bisa serta-merta disimpulkan bahwa korban mengalami kelaparan. “Rata-rata empat jam setelah makan lambung akan kosong. Tidak perlu sampai berhari-hari,” ucapnya kepada Tempo pada Kamis, 24 November lalu.
Kondisi otot jenazah yang menyusut dan mengering juga tidak bisa disimpulkan disebabkan kelaparan. “Jaringan otot mengecil dan kering itu karena proses mumifikasi alami pada mayat,” katanya. Mumifikasi adalah bentuk lanjut pembusukan mayat yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembapan.
Rata-rata mayat yang berada di dalam ruangan kering akan mengalami mumifikasi setelah meninggal selama dua-tiga bulan karena terus-menerus dipengaruhi suhu udara kering. Tubuh jenazah mengalami dehidrasi sehingga jaringan tubuh mengerut, mengeras, kering, keriput, dan berwarna cokelat gelap. “Itu yang terjadi pada empat jenazah korban tersebut,” ujar Ade.
Ade menduga kematian korban disebabkan dua hal. Pertama, keracunan. Kedua, mereka tengah sakit atau ada faktor psikologis tertentu yang menyebabkan korban tidak ke luar rumah atau minta tolong hingga akhirnya wafat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana olah TKP lanjutan di rumah satu keluarga yang meninggal di Kalideres, Jakarta Barat, 16 November 2022/Tempo/M. Faiz Zaki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini tim peneliti masih menguji ulang jaringan jenazah untuk mengetahui apakah ada racun di tubuh korban. “Juga dilakukan penelitian psikologi korban, karena korban berperilaku tidak wajar,” ucap Ade. Ketidakwajaran perilaku tersebut tampak dari sikap korban yang tertutup dan ada dugaan menyembunyikan kematian Margaretha yang diduga meninggal lebih dulu.
Pernyataan Ade didukung temuan terbaru polisi. Margaretha diduga meninggal pada Mei lalu. Fakta tersebut diperoleh dari kesaksian seorang pegawai koperasi simpan-pinjam yang mendatangi rumah korban pada 13 Mei lalu. Mereka hendak menggadaikan rumah.
Budyanto dan Dian yang menyambut pegawai itu. Saat masuk rumah, ia mencium bau busuk. Budyanto berkilah bau itu berasal dari got yang belum dibersihkan. Saat berkeliling di dalam rumah, pegawai yang identitasnya masih dirahasiakan itu melihat Margaretha sudah terbujur kaku di kasur kamar.
Kepada si pegawai, Dian mengatakan ibunya masih hidup. “Menurut Dian, ibunya masih hidup. Sambil menyisir rambut ibunya yang rontok, dia bilang setiap hari memberi minum susu ke ibunya,” tutur Hengki Haryadi.
Fakta baru ini membuka kemungkinan lain penyebab kematian sebagian korban. Selain Margaretha, ketiga anggota keluarga lain meninggal karena terpapar racun dari mayat yang membusuk. “Karena selama berbulan-bulan mereka dalam satu ruangan dengan mayat yang membusuk, apalagi kondisi rumah tertutup dan pengap. Setiap hari menghirup gas beracun dari mayat yang membusuk bisa menyebabkan sakit,” kata Ade.
Berdasarkan pengamatan Tempo, ventilasi di rumah korban hanya ada di ruang tamu dan kamar depan yang menuju pagar besi. Tidak ada jendela di sisi kanan dan kiri karena diapit rumah lain. Tidak terlihat pula kompresor penyejuk udara di rumah tersebut.
Tim penyelidik menduga kondisi psikologi Dian, Rudyanto, dan Budyanto bermasalah. Mereka diperkirakan berupaya menyembunyikan kematian atau tidak mengakui Margaretha telah meninggal. “Itu hal yang tidak wajar. Perlu ada investigasi psikologis para korban untuk mengetahuinya,” ucap Ade.
Handoyo, adik ipar Margaretha, mengatakan tidak tahu banyak mengenai kondisi keempat korban. Ia terakhir berkomunikasi dengan mereka 20 tahun lalu. Sementara itu, istrinya berkomunikasi dengan mereka dua tahun lalu. Handoyo memastikan keluarga Margaretha bukan termasuk keluarga miskin sehingga meninggal karena kelaparan. “Kalaupun mereka tidak punya makanan dan kelaparan, mereka mestinya bisa menghubungi kami,” ujarnya.
Psikolog forensik Nathanael Sumampouw mengatakan pihaknya masih melakukan autopsi psikologi untuk mengidentifikasi profil psikologi para korban kematian keluarga Kalideres. “Kami juga mengkaji dari barang-barang yang ada di dalam rumah, buku, dokumen, dan lainnya untuk mendapat gambaran besar mengenai profil mereka,” katanya.
HADI MULYANA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo