Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lubang di rumah perumnas

Soegiyanto berhasil mempertahankan disertasi berjudul pengendalian kondisi lingkungan thermis & penerangan alami siang hari di dalam rumah sederhana type perumnas di daerah jakarta. (ling)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUARGA Soegiarto, yang terdiri dari 9 jiwa, menghuni rumah Perumnas tipe T45. Di Sukaluyu, pinggiran Bandung, tipe T45 semula hanya seluas 90 m2 dengan dua kamar tidur utama, satu ruang tamu, satu dapur, ruang makan, dan kamar pembantu. "Rumah (No. H48) ini terasa sesak," kata Nyonya Soegiarto yang punya perabot berlebihan pula. Maka keluarga itu kemudian menambah ruangan di bagian dapur sampai menjadi bertingkat, hingga rumah itu kini seluas 120 m2. Para tetangga tampaknya berbuat serupa -- merombak bangunan asli untuk memperluas ruangan. Lalu-lintas angin jadi terhalang. Cahaya di dalamnya berkurang. Banyak penghuni tak mengetahui bahwa kondisi lingkungan serupa itu bisa merusak kesehatan. Ir. R.M. Soegijanto, lektor kepala, Ketua Laboratorium Fisika Bangunan ITB, telah melakukan penelitian atas keadaan di Sukaluyu itu. Dia pun meneliti sejumlah rumah sederhana bikinan Perumnas di Jakarta sejak 1977. Hasil penelitiannya menjadi bahan disertasi, dan Soegijanto berhasil mempertahankannya di depan 18 guru besar, di Balai Pertemuan Ilmiah ITB, 6 Maret. Berjudul Pengendalian Kondisi Lingkungan Thermis dan Penerangan Alami Siang Hari di Dalam Rumah Sederhana Type Perumnas di Daerah Jakarta dan Bandung, disertasinya setebal 10 cm (600 halaman). Dr. Ir. R.M. Soegijanto, 44 tahun, menyimpulkan rumah tipe sederhana yang banyak dibangun oleh pemerintah maupun pihak swasta perlu diubah perencanaannya. "Dengan perubahan itu kondisi lingkungan thermis dan sinar alami siang hari dapat dikendalikan," katanya. Dia sengaja memilih daerah penelitian yang berlainan keadaan geografisnya. Bandung di daerah dataran tinggi, sedang Jakarta di daratan rendah dekat pantai -- keduanya berada dalam lingkungan iklim tropis lembab. Kondisi penerangan alami siang hari dianggap nyaman, menurut Soegijanto, jika ia mencapai rata-rata 2% pada bidang kerja minimum (ruangan). Rumah tinggal memerlukan tingkat penerangan minimal 200 lux (lux = satuan ukuran jumlah sinar sebuah lilin jarak 1 meter yang jatuh pada permukaan tiap m2). Untuk mencapai yang 2% itu, diusahakan lubang cahaya sekitar 7-10% dari luas lantai. Posisi lubang cahaya mempengaruhi pola distribusi faktor penerangan siang hari. Akan baik hasilnya jika lubang cahaya dibuat sejajar dengan panjang dinding. Rumah sederhana Perumnas yang ditelitinya, katanya, ternyata (sebagian besar) belum seberapa parah dalam penerangan sinar alaminya. Namun dia melihat kenyataan tingginya teperatur dalam rumah yang mengabaikan ventilasi. Panas terbesar diketahuinya datang dari atap. Tanpa ventilasi atap, baik di Jakarta maupun Bandung, panas maksimum dalam ruangan atap lebih besar daripada panas di luar. Menurut Soegijanto, perlu ada pengendalian temperatur udara di dalam ruangan. Antara lain dengan cara mengeluarkan panas dari dalam ruangan oleh aliran udara itu sendiri, yang dinamakannya ventilasi dalam, dengan membikinnya di bagian atap. Yaitu pada bagian renggang antara atap dan dinding rumah. "Pada rumah Perumnas ventilasi atap ini tak ada," kata Soegijanto. Rumah Perumnas memakai atap asbes. Bila genteng dipakai, tentu celah-celahnya dapat mengalirkan udara. Tidak Nyaman Laju aliran udara yang diperlukan, katanya, harus pula dikendalikan supaya ruangan tetap segar. Udara segar yang dibutuhkan untuk kesehatan di dalam ruangan dianggapnya harus sebanyak 17 m3/jam/orang, aau 26 m3/jam/orang bila di situ ada sumber pencemaran ringan. Misalnya, asap rokok yang terus-menerus. Ventilasi tak tetap, katanya, diperlukan juga seperti kaca nako. Tapi sangat dianjurkannya ventilasi pada bagian bawah dinding. "Orang Belanda dulu di sini, bila membangun rumah, selalu membuat ventilasi di dinding sebelah bawah," katanya memberi contoh. Tapi seberapa kenyamanan yang bisa diperoleh dalam rumah Perumnas? Sekitar 100.000 unit setahun yang dibangun. Kesimpulan Soegijanto ialah perencanaannya perlu diubah. Karena rumah tipe sederhana itu sudah nyaman dalam kondisi lingkungan penerangan alami, tapi tidak nyaman dalam lingkungan thermis. Dan ventilasi lain, menurut pengamatan Soegijanto, akan membantu mencapai kenyamanan itu. Dalam kondisi rumah yang sama, kenyamanan mungkin sudah tercapai bagi penghuni di Bandung tapi belum bagi yang di Jakarta. Pembangunan oleh Perurnnas pada dasarnya telah memenuhi standar Dep. Pekerjaan Umum. Tapi peraturan PU tak ada, atau sedikit sekali, menentukan kondisi kenyamanan itu, menurut Soegijanto. Terutama dikritiknya peraturan PU itu karena tidak jelas menyinggung penggunaan bahan bangunan yang kelak mempengaruhi kondisi lingkungan dalam rumah. Soegijanto beranggapan sample yang dia teliti cukup mewakili perumahan sederhana umumnya. Hasil penelitiannya ini akan sama hasilnya bila dilakukan pula di daerah lain di Indonesia karena iklim yang tak jauh berbeda. "Ketegangan jiwa" bisa timbul dengan suhu panas di dalam rumah karena kondisi thermis yang tak nyaman. Itulah peringatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus