KELUARGA Soegiarto, yang terdiri dari 9 jiwa, menghuni rumah
Perumnas tipe T45. Di Sukaluyu, pinggiran Bandung, tipe T45
semula hanya seluas 90 m2 dengan dua kamar tidur utama, satu
ruang tamu, satu dapur, ruang makan, dan kamar pembantu.
"Rumah (No. H48) ini terasa sesak," kata Nyonya Soegiarto
yang punya perabot berlebihan pula. Maka keluarga itu kemudian
menambah ruangan di bagian dapur sampai menjadi bertingkat,
hingga rumah itu kini seluas 120 m2.
Para tetangga tampaknya berbuat serupa -- merombak bangunan
asli untuk memperluas ruangan. Lalu-lintas angin jadi
terhalang. Cahaya di dalamnya berkurang. Banyak penghuni tak
mengetahui bahwa kondisi lingkungan serupa itu bisa merusak
kesehatan.
Ir. R.M. Soegijanto, lektor kepala, Ketua Laboratorium Fisika
Bangunan ITB, telah melakukan penelitian atas keadaan di
Sukaluyu itu. Dia pun meneliti sejumlah rumah sederhana bikinan
Perumnas di Jakarta sejak 1977. Hasil penelitiannya menjadi
bahan disertasi, dan Soegijanto berhasil mempertahankannya di
depan 18 guru besar, di Balai Pertemuan Ilmiah ITB, 6 Maret.
Berjudul Pengendalian Kondisi Lingkungan Thermis dan Penerangan
Alami Siang Hari di Dalam Rumah Sederhana Type Perumnas di
Daerah Jakarta dan Bandung, disertasinya setebal 10 cm (600
halaman). Dr. Ir. R.M. Soegijanto, 44 tahun, menyimpulkan rumah
tipe sederhana yang banyak dibangun oleh pemerintah maupun pihak
swasta perlu diubah perencanaannya. "Dengan perubahan itu
kondisi lingkungan thermis dan sinar alami siang hari dapat
dikendalikan," katanya.
Dia sengaja memilih daerah penelitian yang berlainan keadaan
geografisnya. Bandung di daerah dataran tinggi, sedang Jakarta
di daratan rendah dekat pantai -- keduanya berada dalam
lingkungan iklim tropis lembab.
Kondisi penerangan alami siang hari dianggap nyaman, menurut
Soegijanto, jika ia mencapai rata-rata 2% pada bidang kerja
minimum (ruangan). Rumah tinggal memerlukan tingkat penerangan
minimal 200 lux (lux = satuan ukuran jumlah sinar sebuah lilin
jarak 1 meter yang jatuh pada permukaan tiap m2). Untuk
mencapai yang 2% itu, diusahakan lubang cahaya sekitar 7-10%
dari luas lantai. Posisi lubang cahaya mempengaruhi pola
distribusi faktor penerangan siang hari. Akan baik hasilnya
jika lubang cahaya dibuat sejajar dengan panjang dinding.
Rumah sederhana Perumnas yang ditelitinya, katanya, ternyata
(sebagian besar) belum seberapa parah dalam penerangan sinar
alaminya. Namun dia melihat kenyataan tingginya teperatur dalam
rumah yang mengabaikan ventilasi. Panas terbesar diketahuinya
datang dari atap. Tanpa ventilasi atap, baik di Jakarta maupun
Bandung, panas maksimum dalam ruangan atap lebih besar daripada
panas di luar.
Menurut Soegijanto, perlu ada pengendalian temperatur udara di
dalam ruangan. Antara lain dengan cara mengeluarkan panas dari
dalam ruangan oleh aliran udara itu sendiri, yang dinamakannya
ventilasi dalam, dengan membikinnya di bagian atap. Yaitu pada
bagian renggang antara atap dan dinding rumah. "Pada rumah
Perumnas ventilasi atap ini tak ada," kata Soegijanto. Rumah
Perumnas memakai atap asbes. Bila genteng dipakai, tentu
celah-celahnya dapat mengalirkan udara.
Tidak Nyaman
Laju aliran udara yang diperlukan, katanya, harus pula
dikendalikan supaya ruangan tetap segar. Udara segar yang
dibutuhkan untuk kesehatan di dalam ruangan dianggapnya harus
sebanyak 17 m3/jam/orang, aau 26 m3/jam/orang bila di situ ada
sumber pencemaran ringan. Misalnya, asap rokok yang
terus-menerus.
Ventilasi tak tetap, katanya, diperlukan juga seperti kaca
nako. Tapi sangat dianjurkannya ventilasi pada bagian bawah
dinding. "Orang Belanda dulu di sini, bila membangun rumah,
selalu membuat ventilasi di dinding sebelah bawah," katanya
memberi contoh.
Tapi seberapa kenyamanan yang bisa diperoleh dalam rumah
Perumnas? Sekitar 100.000 unit setahun yang dibangun. Kesimpulan
Soegijanto ialah perencanaannya perlu diubah. Karena rumah tipe
sederhana itu sudah nyaman dalam kondisi lingkungan penerangan
alami, tapi tidak nyaman dalam lingkungan thermis. Dan ventilasi
lain, menurut pengamatan Soegijanto, akan membantu mencapai
kenyamanan itu. Dalam kondisi rumah yang sama, kenyamanan
mungkin sudah tercapai bagi penghuni di Bandung tapi belum bagi
yang di Jakarta.
Pembangunan oleh Perurnnas pada dasarnya telah memenuhi standar
Dep. Pekerjaan Umum. Tapi peraturan PU tak ada, atau sedikit
sekali, menentukan kondisi kenyamanan itu, menurut Soegijanto.
Terutama dikritiknya peraturan PU itu karena tidak jelas
menyinggung penggunaan bahan bangunan yang kelak mempengaruhi
kondisi lingkungan dalam rumah.
Soegijanto beranggapan sample yang dia teliti cukup mewakili
perumahan sederhana umumnya. Hasil penelitiannya ini akan sama
hasilnya bila dilakukan pula di daerah lain di Indonesia karena
iklim yang tak jauh berbeda.
"Ketegangan jiwa" bisa timbul dengan suhu panas di dalam rumah
karena kondisi thermis yang tak nyaman. Itulah peringatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini