Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Si jangkung dari buaran

Manusia raksasa dari pekalongan, suparno, dibawa ke jakarta oleh pimpinan grup bola basket "tomang sakti", untuk dijadikan pemain basket. tapi tak betah dan pulang ke pekalongan. (or)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pemain bola basket Tomang Sakti, Jakarta, tampak kecewa. Bukan karena mereka kalah bertanding, tapi karena Suparno lenyap. Manusia raksasa calon pemain Tomang Sakti ini tengah malam 3 Maret, tiba-tiba menghilang bersama orang tuanya. Suparno bin Harun, 24 tahun, memang antik kata Soesamto, pimpinan Tomang Sakti, "dan susah dicari gantinya," seperti tinggi badannya 230 cm, lebih tinggi dibanding Nasrul (210 cm) dari Padang atau Mustaman (213 cm) dari Jombang, Ja-Tim. Parno lahir dari orang tua yang normal. Begitu pun kakaknya, adiknya, dan juga anak-anaknya --semua normal. Tubuh Parno menjadi besar secara luar biasa setelah berumur 12 tahun, sesudah dikhitankan. Melihat tubuhnya yang luar biasa tinggi itulah pimpinan Tomang Sakti berhasrat menjadikan dia pemain bola basket dan memboyong dia dari Pekalongan ke Jakarta. Pada usia 16 tahun, ia menikah dan sekarang dikurniai 4 putra. Gairah seksnya lumrah saja, juga makannya. Sehari tiga piring nasi dengan lauk tempe, tahu dan sayur. "Siang hari kalau tak ada uang saya tak makan," kata Parno menceritakan keadaan hidupnya ketika masih berada di Pekalongan. Katanya, dia tak tega makan di warung sendirian sementara di rumah anak-anaknya belum tentu makan. Maklum, Parno bukan dari keluarga mampu. Rumahnya di Desa Paweran, Buaran (Pekalongan) berdinding bambu berlantai tanah. Ia hanya bersekolah sampai kelas 3 SD. Ayahnya, Harun (55 tahun), tukang becak, tak mampu menyekolahkan lebih tinggi. Dengan modal pendidikan itu ia bekerja di pabrik tekstil Sapugarut, Pekalongan. Gajinya sekitar Rp 5.000/minggu, meski sudah 10 tahun kerja. Ia baru sekali memakai sandal selama hidup. Dan ketika sandal itu rusak, tak ada uang untuk membeli baru. Sehingga jarak 5 km ke tempat kerja terpaksa dijalani dengan telanjang kaki. Sejak pertengahan Februari 1982 Suparno yang kurang lancar berbahasa Indonesia itu tinggal di asrama Tomang Sakti di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Ayahnya yang turut serta, bekerja dan tinggal di asrama sebuah pabrik biskuit di Tangerang. Di asrama Tomang Sakti Parno tak mau ditempatkan di kamar ber-AC, bersama pemain-pemain lainnya. Karena itu kemudian dia ditempatkan di asrama tempat ayahnya tinggal. Parno pun mulai latihan lari-lari di lapangan rumput di asrama itu. Sore harinya pergi ke lapangan Tomang Sakti di Daan Mogot. Pelatih Herry Anggoro kemudian memberinya latihan ringan. "Saya tak berani menggenjot denan latihan keras, karena belum ada hasil pemeriksaan dokter," katanya. Parno tak pernah sakit gawat. Pilek hanya sekali-sekali. Tapi sakit tumor Hypophysiskah dia--seperti yang diderita Nasrul dan orang-orang bertubuh luar biasa tinggi lainnya? Hypophysis adalah kelenjar sebesar biji kacang tanah yang menggantung dari otak, terbaring tak jauh dari biji mata, di sebelah dalam tulang pelipis. Kelenjar ini menghasilkan hormon pertumbuhan secara berlebihan dan masuk ke dalam darah. Dokter Lie Djoe Eng dari RS Sumber Waras memang mengakui sedang memeriksa kesehatan Suparno. Ia tak bersedia mengungkapkan hasilnya. Yang jelas, pemeriksaan masih belum selesai, karena Suparno masih harus memeriksakan matanya ke RS Cipto Mangunkusumo -tapi keburu pulang kampung. Hampir tiga minggu ia menjalani latihan setiap sore selama sejam. Hasilnya ternyata cukup baik. Misalnya, dia dapat membalikkan tubuhnya secara cepat setelah menerima bola. Padahal sebelumnya ia tak pernah memegang bola. "Dia sudah tahu pantulan di papan," kata Herry, si pelatih. Bola dengan mulus ia masukkan ke keranjang setelah dipantulkan lewat papan. Kelincahannya pun bisa diandalkan. Bola yang menggelinding masuk di antara besi penyangga balok, dia ambil dengan menyusup. Padahal berat badannya 1 8 kg, panjang telapak kakinya 32 cm dan lingkar pinggangnya 117 cm. Jari tangannya yang besar dengan cekatan mencomot bola yang datang. "Ini luar biasa bagi seorang pemain basket," puji salah seorang pengurus Tomang Sakti, Ali Sanjaya. Risiko "Dalam setahun berlatih, saya yakin dia akan jadi," kata Herry. Ia yakin pembinaan pada Parno belum terlambat. Sebab, Muk Thaik Tjuk, pemain utama RRC (tinggi badan 225 cm) yang pernah memperkuat RRC dalam kejuaraan dunia tahun 1978, baru digarap setelah berumur 27 tahun. Apakah kelincahan Muk memang bisa diandalkan? "Kurang bisa lari," kata Harsuki, Ketua Bidang Luar Negeri Perbasi (Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia) yang pernah menyaksikan permainan orang RRC itu. Begitu pula lambat bereaksi membalik. Mungkin karena itu juara Asia untuk bola basket masih dipegang Korea. Akan Parno, yang daya loncatnya baru 5 cm di atas lantai, menurut Herry bukan jadi halangan buat maju. Malah pimpinan Tomang Sakti sudah begitu yakin, Parno bisa dibawa try out ke Filipina Juni nanti. Latihan dan fasilitas yang diberikan kepada Parno dan ayahnya, ternyata tak membuat orang jangkung itu betah. Misalnya tiga bungkus rokok kretek tiap hari, sepatu dan sandal khusus. "Saya tidak betah, karena di Tomang Sakti disiplin terlalu keras--apalagi pekerjaan yang dijanjikan untuk saya belum juga dipenuhi," ungkap Suparno kepada TEMPO di Pekalongan. Ia merasa tak melarikan diri dari Jakarta, "sebab sebelumnya saya sudah minta izin, meskipun tidak diizinkan." Satu-satunya yang menjadi ganjelannya sekarang adalah uang Rp 110.000 yang telah diterima ayahnya dari Tomang Sakti untuk membayar utang. "Tapi saya tetap mau main basket, asal jaminannya jelas," tambah Suparno. Menurut pimpinan Tomang Sakti, Soesamto, lebih dari Rp 500 ribu uang telah habis untuk menggarap Parno. Tapi Soesamto tak menghitung untung ruginya. "Itu sudah risiko. Kami hanya melihat dari segi kepentingan nasional," kata Soesamto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus