Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Menyusun buku dia bertanya, shwd ichi heddi?

Bekas dubes ri untuk afghanistan. suyoto suryodipuro sejak kecil belajar bahasa. kini menguasai 12 bahasa asing, sedang menyusun buku pelajaran bahasa inggris dengan metode baru.(tk)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG lelaki setengah umur jalan-jalan di Wales, Inggris bagian barat daya. Suatu saat ia menegur seseorang: Shwd ichi heddi? (Apa kabar). Yang ditegur -- pribumi Wales itu--tentu saja kaget, sebab tamunya berkulit cokelat gelap. Bahkan di Llandudno Wales bagian utara, dengan fasih ia mengucapkan "apa kabar" dalam dialek setempat: Sut ydac chi heddiw? Lelaki bersuara bariton itu adalah Suyoto Suryo-di-Puro, ketika itu, 1962-1967, Kepala Perwakilan pada Kedubes RI di London. "Saya selalu mempelajari bahasa di tempat saya ditugaskan. Tapi aneh, di Wales saya tidak menemukan orang berbicara bahasa Welsh," katanya suatu ketika kepada wartawan Daily Express. Orang sana tampaknya lebih banyak ngomong bahasa Inggris resmi daripada bahasa lokal tersebut. Suyoto mempelajari bahasa Welsh dari buku Teach Yourself Welsh, berikut pita-pita rekamannya, dibantu seorang guru bahasa. Karena cukup fasih, ia kemudian diundang mengisi siaran bahasa Welsh lewat TV dalam jaringan BBC. Gara-gara siaran tersebut dia diwawancarai koran-koran setempat. Bagi Suyoto, bahasa Welsh itu gampang--dibanding bahasa-ibunya, Jawa. Menurut dia bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah yang paling sukar dipelajari. Untuk mempelajari bahasa Welsh, ia hanya memerlukan waktu enam bulan. Kepada koran Daily Mirror, Suyoto berkata: "Saya dididik dalam bahasa Belanda. Sehari-hari saya berbicara dalam bahasa Jawa dengan istri saya, ngomong dalam bahasa Prancis dengan tukang masak sedang di kantor, saya berbicara dalam bahasa Inggris atau Indonesia. Ketika di Roma, saya mengajar bahasa Italia dan di Kuba belajar bahasa Spanyol. Istri saya menguasai delapan bahasa, tapi anak-anak saya pada malas. Mereka hanya menguasai lima bahasa." Novel, Tidak Bekas dubes di Afghanistan ini (1970-1974), juga pernah bertugas sebagai diplomat di Kanada dan Tunisia, serta mengunjungi tak kurang dari 20 negara. Kini ia menguasai secara aktif enam bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris Prancis, Jerman, Spanyol, Italia. Ia juga mengerti bahasa-bahasa lain seperti Arab, Rusia. Jepang, Welsh. Dan kini, setiap hari, pagi sampai malam, ia bisa dijumpai di Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA) yang dulu bernama Lembaga Indonesia-Amerika (LIA), Jalan Pramuka, Jakarta. Suyoto Suryo-di-Puro, kini 67 tahun, adalah orang Indonesia pertama yang menjadi direktur eksekutif lembaga tersebut. Seminggu tiga kali ia juga berkantor di Jalan Teuku Umar sebagai staf ahli Mensesneg bidang pendidikan dan bahasa. Rumahnya di Cipete Selatan, Jakarta Selatan, cukup besar, dengan halaman yang luas teduh oleh pepohonan. "Tanahnya saya beli tahun 1965. Ketika itu masih sepi. Saya mencangkul sendiri dan menanam pohon-pohonan. Rumahnya juga saya rancang sendiri," katanya. Di ruang tengah rumahnya tampak sederet rak besar memuat sekitar 5.000 buku, sebagian besar buku pelajaran berbagai bahasa, berikut sejumlah kamus. Sebagian lagi berupa buku-buku mengenai politik dan filsafat. Ia juga menyimpan koleksi kaset dan piringan hitam pelajaran berbagai bahasa. "Sampai sekarang saya masih belajar terus. Kalau tidak, kan bisa ketinggalan zaman," katanya. Ia memang kutu buku. Tapi hanya buku-buku mengenahi bahasa, politik dan filsafat saja yang dipelajari. Novel misalnya, tidak. "Ketika masih di sekolah menengah, saya suka membaca karya-karya Charles Dickens atau Karl May. Setelah itu tidak lagi, kecuali kalau sudah tidak punya bahan bacaan," ujarnya. "Saya pikir, kalau mau saya sendiri bisa menulis novel. Bahkan mungkin lebih serem," tambahnya sambil tertawa. Yang pasti, ia sangat suka membaca biografi tokoh-tokoh besar dunia. Menurut ayah dari lima anak dan kakek delapan cucu ini, ia sudah gemar mempelajari bahasa asing sejak masih di sekolah menengah, di zaman Belanda dulu. Karena itu ia selalu jadi juarakelas. "Untuk bahasa Inggris, Prancis dan Jerman saya selalu mendapat angka 10. Sedang untuk bahasa Belanda saya hanya jadi juara kedua -- kalah sedikit dari anak-anak Belanda," katanya. Ia tidak hanya mempelajari bahasa asing lewat buku-buku pelajaran sekolah (yang menggunakan pengantar bahasa Belanda), melainkan juga dari buku-buku terbitan Jerman atau Prancis yang metodanya lain pula. Dengan kata lain ia mempelajari bahasa dari berbagai metoda. Tamat dari sekolah menengah, ia mampu menguasai empat bahasa asing: Belanda, Inggris, Prancis, Jerman. Ketika itu ia sudah mampu mengajar bahasa asing kepada teman-teman sekelasnya. Bahkan kemudian membuka les privat bahasa Inggris dan Prancis. Salah seorang murid les privat itu kemudian menjadi istrinya--yang meninggal pada 1966 di London, ketika Suyoto bertugas di sana. Sambil kuliah di Sekolah Tinggi Hukum, Suyoto mengajar bahasa Belanda dan Inggris di Mulo dan AMS Muhammadiyah di Jakarta. Di antara guru-guru lainnya terdapat Djuanda, WiIopo (keduanya bekas perdana menteri) dan Maria Ulfah (bekas menteri sosial). Tamatan sekolah menengah zaman dulu bisa menguasai bahasa asing dengan fasih. Tapi anak-anak sekarang, sudah jadi sarjana tapi bahasa asingnya kacau," katanya. Menurut dia, kalau belajar secara benar, anak-anak tamatan SMA seharusnya sudah bisa menguasai dua atau tiga bahasa asing. Caranya, sejak kelas satu SLP murid-murid harus diberi dasar-dasar bahasa asing yang kuat. "Belajar bahasa itu tidak sulit, asal mau dikoreksi dan mengoreksi diri," katanya. "Kelemahan orang Indonesia ialah kurang membaca dan enggan mengecek ke kamus. Selalu mengecek ke kamus--itu motto saya," tambahnya. Sebab, menurut dia, bahasa itu yang penting suara atau cara mengucapkannya. "Mendengar dan memperhatikan suaralah yang penting tulisan hanyalah pegangan saja. Sekarang ini yang dipelajari justru tulisannya, itu salah," katanya lagi. Untuk mempelajari bahasa asing khususnya bahasa Inggris, menurut Suyoto, tidak perlu bantuan orang asing, misalnya native speaker. "Sebab hanya orang Indonesia sendirilah yang tahu kesulitan kita dalam mempelajari bahasa asing. Meskipun orang asing itu memang jago dalam bahasanya, tapi mereka tidak tahu kesulitan kita," katanya. Sekarang ia sedang menyusun buku pelajaran bahasa Inggris dengan metoda baru. Salah seorang pendiri Departemen Luar Negeri (1945) dan bekas Kepala Protokol Istana Presiden (1958-60) ini kini baru sembuh dari sakit. Di jalan raya Cianjur--dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta awal bulan lalu--mobilnya tabrakan. Bagian-bagian wajah, dada dan tangannya luka. "Untung kapital saya tidak rusak," katanya terbahak-bahak sambil menunjuk kepalanya. Tampaknya ia memang mengandalkan rasio. Meski begitu, ia masih sempat mengingat hal-hal yang bersifat rohaniah. Apalagi setelah mengalami musibah bulan lalu itu. "Selama ini saya terlalu mementingkan hal-hal duniawi, melupakan soal-soal keakhiratan," katanya. "Sebagai orang yang pernah mendapat didikan berdasarkan filsafat Jawa kuno - bahwa kegiatan fisik harus seimbang dengan mental-spiritual saya sekarang sadar, selama ini saya kurang seimbang," tambahnya. Itulah sebabnya awal bulan ini ia merasa perlu melawat ke Sala (Jawa Tengah) dan Nganjuk (Jawa Timur) untuk menziarahi makam leluhurnya. Suyoto sendiri lahir di Nganjuk pada 20 Agustus 1915, sementara salah seorang leluhurnya masih ada ikatan darah dengan Pura Mangkunegaran, Sala. Itulah barangkali sebabnya ada gelar kebangsawanan raden mas--yang tidak lagi ia cantumkan pada kartu namanya. Mengaku tak pernah maerasa capek, "karena sudah terbiasa bekerja keras sejak muda," Suyoto Suryo-di-Puro kini punya hobi baru, yaitu merekam acara siaran film ilmiah dari televisi dengan VTR. "Tapi selama seminggu menziarahi makam leluhur itu, saya benar-benar ingin melupakan segala macam kesibukan, " katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus