SEORANG lelaki setengah umur jalan-jalan di Wales, Inggris
bagian barat daya. Suatu saat ia menegur seseorang: Shwd ichi
heddi? (Apa kabar). Yang ditegur -- pribumi Wales itu--tentu
saja kaget, sebab tamunya berkulit cokelat gelap. Bahkan di
Llandudno Wales bagian utara, dengan fasih ia mengucapkan "apa
kabar" dalam dialek setempat: Sut ydac chi heddiw?
Lelaki bersuara bariton itu adalah Suyoto Suryo-di-Puro, ketika
itu, 1962-1967, Kepala Perwakilan pada Kedubes RI di London.
"Saya selalu mempelajari bahasa di tempat saya ditugaskan. Tapi
aneh, di Wales saya tidak menemukan orang berbicara bahasa
Welsh," katanya suatu ketika kepada wartawan Daily Express.
Orang sana tampaknya lebih banyak ngomong bahasa Inggris resmi
daripada bahasa lokal tersebut.
Suyoto mempelajari bahasa Welsh dari buku Teach Yourself Welsh,
berikut pita-pita rekamannya, dibantu seorang guru bahasa.
Karena cukup fasih, ia kemudian diundang mengisi siaran bahasa
Welsh lewat TV dalam jaringan BBC. Gara-gara siaran tersebut dia
diwawancarai koran-koran setempat.
Bagi Suyoto, bahasa Welsh itu gampang--dibanding bahasa-ibunya,
Jawa. Menurut dia bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah
yang paling sukar dipelajari. Untuk mempelajari bahasa Welsh, ia
hanya memerlukan waktu enam bulan.
Kepada koran Daily Mirror, Suyoto berkata: "Saya dididik dalam
bahasa Belanda. Sehari-hari saya berbicara dalam bahasa Jawa
dengan istri saya, ngomong dalam bahasa Prancis dengan tukang
masak sedang di kantor, saya berbicara dalam bahasa Inggris
atau Indonesia. Ketika di Roma, saya mengajar bahasa Italia dan
di Kuba belajar bahasa Spanyol. Istri saya menguasai delapan
bahasa, tapi anak-anak saya pada malas. Mereka hanya menguasai
lima bahasa."
Novel, Tidak
Bekas dubes di Afghanistan ini (1970-1974), juga pernah bertugas
sebagai diplomat di Kanada dan Tunisia, serta mengunjungi tak
kurang dari 20 negara. Kini ia menguasai secara aktif enam
bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris
Prancis, Jerman, Spanyol, Italia. Ia juga mengerti
bahasa-bahasa lain seperti Arab, Rusia. Jepang, Welsh. Dan kini,
setiap hari, pagi sampai malam, ia bisa dijumpai di Perhimpunan
Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA) yang dulu bernama Lembaga
Indonesia-Amerika (LIA), Jalan Pramuka, Jakarta.
Suyoto Suryo-di-Puro, kini 67 tahun, adalah orang Indonesia
pertama yang menjadi direktur eksekutif lembaga tersebut.
Seminggu tiga kali ia juga berkantor di Jalan Teuku Umar sebagai
staf ahli Mensesneg bidang pendidikan dan bahasa.
Rumahnya di Cipete Selatan, Jakarta Selatan, cukup besar,
dengan halaman yang luas teduh oleh pepohonan. "Tanahnya saya
beli tahun 1965. Ketika itu masih sepi. Saya mencangkul sendiri
dan menanam pohon-pohonan. Rumahnya juga saya rancang sendiri,"
katanya.
Di ruang tengah rumahnya tampak sederet rak besar memuat sekitar
5.000 buku, sebagian besar buku pelajaran berbagai bahasa,
berikut sejumlah kamus. Sebagian lagi berupa buku-buku mengenai
politik dan filsafat. Ia juga menyimpan koleksi kaset dan
piringan hitam pelajaran berbagai bahasa. "Sampai sekarang saya
masih belajar terus. Kalau tidak, kan bisa ketinggalan zaman,"
katanya.
Ia memang kutu buku. Tapi hanya buku-buku mengenahi bahasa,
politik dan filsafat saja yang dipelajari. Novel misalnya,
tidak. "Ketika masih di sekolah menengah, saya suka membaca
karya-karya Charles Dickens atau Karl May. Setelah itu tidak
lagi, kecuali kalau sudah tidak punya bahan bacaan," ujarnya.
"Saya pikir, kalau mau saya sendiri bisa menulis novel. Bahkan
mungkin lebih serem," tambahnya sambil tertawa. Yang pasti, ia
sangat suka membaca biografi tokoh-tokoh besar dunia.
Menurut ayah dari lima anak dan kakek delapan cucu ini, ia sudah
gemar mempelajari bahasa asing sejak masih di sekolah menengah,
di zaman Belanda dulu. Karena itu ia selalu jadi juarakelas.
"Untuk bahasa Inggris, Prancis dan Jerman saya selalu mendapat
angka 10. Sedang untuk bahasa Belanda saya hanya jadi juara
kedua -- kalah sedikit dari anak-anak Belanda," katanya.
Ia tidak hanya mempelajari bahasa asing lewat buku-buku
pelajaran sekolah (yang menggunakan pengantar bahasa Belanda),
melainkan juga dari buku-buku terbitan Jerman atau Prancis yang
metodanya lain pula. Dengan kata lain ia mempelajari bahasa dari
berbagai metoda. Tamat dari sekolah menengah, ia mampu menguasai
empat bahasa asing: Belanda, Inggris, Prancis, Jerman.
Ketika itu ia sudah mampu mengajar bahasa asing kepada
teman-teman sekelasnya. Bahkan kemudian membuka les privat
bahasa Inggris dan Prancis. Salah seorang murid les privat itu
kemudian menjadi istrinya--yang meninggal pada 1966 di London,
ketika Suyoto bertugas di sana. Sambil kuliah di Sekolah Tinggi
Hukum, Suyoto mengajar bahasa Belanda dan Inggris di Mulo dan
AMS Muhammadiyah di Jakarta. Di antara guru-guru lainnya
terdapat Djuanda, WiIopo (keduanya bekas perdana menteri) dan
Maria Ulfah (bekas menteri sosial).
Tamatan sekolah menengah zaman dulu bisa menguasai bahasa asing
dengan fasih. Tapi anak-anak sekarang, sudah jadi sarjana tapi
bahasa asingnya kacau," katanya. Menurut dia, kalau belajar
secara benar, anak-anak tamatan SMA seharusnya sudah bisa
menguasai dua atau tiga bahasa asing. Caranya, sejak kelas satu
SLP murid-murid harus diberi dasar-dasar bahasa asing yang kuat.
"Belajar bahasa itu tidak sulit, asal mau dikoreksi dan
mengoreksi diri," katanya. "Kelemahan orang Indonesia ialah
kurang membaca dan enggan mengecek ke kamus. Selalu mengecek ke
kamus--itu motto saya," tambahnya. Sebab, menurut dia, bahasa
itu yang penting suara atau cara mengucapkannya.
"Mendengar dan memperhatikan suaralah yang penting tulisan
hanyalah pegangan saja. Sekarang ini yang dipelajari justru
tulisannya, itu salah," katanya lagi.
Untuk mempelajari bahasa asing khususnya bahasa Inggris, menurut
Suyoto, tidak perlu bantuan orang asing, misalnya native
speaker. "Sebab hanya orang Indonesia sendirilah yang tahu
kesulitan kita dalam mempelajari bahasa asing. Meskipun orang
asing itu memang jago dalam bahasanya, tapi mereka tidak tahu
kesulitan kita," katanya. Sekarang ia sedang menyusun buku
pelajaran bahasa Inggris dengan metoda baru.
Salah seorang pendiri Departemen Luar Negeri (1945) dan bekas
Kepala Protokol Istana Presiden (1958-60) ini kini baru sembuh
dari sakit. Di jalan raya Cianjur--dalam perjalanan dari Bandung
ke Jakarta awal bulan lalu--mobilnya tabrakan. Bagian-bagian
wajah, dada dan tangannya luka.
"Untung kapital saya tidak rusak," katanya terbahak-bahak sambil
menunjuk kepalanya. Tampaknya ia memang mengandalkan rasio.
Meski begitu, ia masih sempat mengingat hal-hal yang bersifat
rohaniah. Apalagi setelah mengalami musibah bulan lalu itu.
"Selama ini saya terlalu mementingkan hal-hal duniawi, melupakan
soal-soal keakhiratan," katanya. "Sebagai orang yang pernah
mendapat didikan berdasarkan filsafat Jawa kuno - bahwa kegiatan
fisik harus seimbang dengan mental-spiritual saya sekarang
sadar, selama ini saya kurang seimbang," tambahnya.
Itulah sebabnya awal bulan ini ia merasa perlu melawat ke Sala
(Jawa Tengah) dan Nganjuk (Jawa Timur) untuk menziarahi makam
leluhurnya. Suyoto sendiri lahir di Nganjuk pada 20 Agustus
1915, sementara salah seorang leluhurnya masih ada ikatan darah
dengan Pura Mangkunegaran, Sala. Itulah barangkali sebabnya ada
gelar kebangsawanan raden mas--yang tidak lagi ia cantumkan pada
kartu namanya.
Mengaku tak pernah maerasa capek, "karena sudah terbiasa bekerja
keras sejak muda," Suyoto Suryo-di-Puro kini punya hobi baru,
yaitu merekam acara siaran film ilmiah dari televisi dengan VTR.
"Tapi selama seminggu menziarahi makam leluhur itu, saya
benar-benar ingin melupakan segala macam kesibukan, " katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini