Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karton hitam berukuran 3 kali 1 meter itu membentang di seberang kantor delegasi Kanada. Empat pemuda berambut pirang menggoyang-goyangkan karton dengan berbagai tulisan: ”Is This Leadership?” dan ”C’est du Leadership?” Mereka juga mengangkat kliping artikel dari The Globe & Mail bertajuk ”Canada climate hypocrite, UN envoy says”.
Raut wajah empat mahasiswa dari The Canadian Youth Delegation itu tampak geram. Rabu siang pekan lalu, di bawah panas terik, mereka melontarkan kecaman terhadap delegasi Kanada yang baru keluar dari tenda yang dijadikan kantor sementara di kawasan Nusa Dua, Bali. ”Kami sama sekali tak mengerti alasan Kanada yang masih menunggu aksi dari India dan Cina,” kata Joanna Dafoe, mahasiswi ilmu politik Universitas Toronto, Kanada, kepada Tempo.
Pernyataan Joanna merujuk pada sikap delegasi Kanada dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua. Sepekan bersidang, negara di utara Benua Amerika ini belum menunjukkan komitmennya untuk mengurangi emisi karbon dioksida yang mereka produksi. Kanada malah mengulur-ulur waktu dengan meminta prasyarat terlebih dulu dari India dan Cina.
Sikap Kanada tersebut membuat Climate Action Network (CAN)—jaringan internasional sekitar 430 lembaga swadaya masyarakat untuk membatasi perubahan iklim—menggolongkan negara ini sebagai negara yang memperlambat kemajuan negosiasi. Selain Kanada, tiga negara mendapat cap hitam serupa, yakni Amerika Serikat, Jepang, dan Australia.
Cap hitam itu makin kental setelah Climate Action Network memperoleh bocoran dokumen pemerintah Kanada yang berisi instruksi kepada delegasinya untuk menyabotase negosiasi. Dalam dokumen itu Kanada menginginkan ”national circumstances”—sebutan untuk sebuah target yang lemah. ”Pil racun ini bertujuan mengganggu proses negosiasi di Bali pada saat sidang memasuki hari-hari akhir yang kritis,” tulis lembaga itu dalam buletin ECO edisi 10 Desember 2007.
Proposal Kanada itu, menurut CAN, jelas melanggar prinsip dasar United Nations Framework Convention on Climate Change. Prinsip tersebut adalah common but differentiated responsibilities, yang artinya memiliki tanggung jawab bersama tapi dalam porsi berbeda-beda dalam hal target pengurangan emisi gas rumah kaca. Lembaga itu menilai Kanada tak pantas menuntut India dan Cina memiliki target mengurangi emisi yang sama dengan negara maju.
Data statistik yang dilansir CAN menunjukkan ketimpangan itu. Emisi gas rumah kaca Kanada adalah 22 ton per kapita, padahal penduduknya hanya 33 juta orang. Sedangkan Cina cuma 3 ton dan India hanya 1 ton. Penduduk dua negara itu 30 kali lipat lebih banyak dibanding Kanada. Adapun Amerika Serikat 24 ton dan Jepang 10 ton per kapita.
Sikap Kanada memang dilandasi kepentingan dalam negerinya. Maklum, Kanada salah satu negara penghasil minyak bumi paling besar di dunia. Sebagian besar produksi minyak buminya dijual ke Amerika Serikat, yang selama ini menolak meratifikasi Protokol Kyoto. Apalagi ada tekanan kuat dari dunia bisnis di Kanada untuk lebih banyak membakar bahan bakar fosil.
Tuduhan ini dibantah Eric Richer, sekretaris pers Menteri Lingkungan Kanada John Baird. ”Kami datang ke Bali untuk ikut berunding,” kata Richer kepada Tempo. Kanada, ujarnya, berkomitmen mengurangi emisi karbon dengan target 20 persen pada 2020 dan 60 persen pada 2050. Menurut dia, target itu tak mungkin tercapai tanpa mengikutsertakan Cina, India, dan Amerika Serikat.
Namun, tak bisa dimungkiri, aksi Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Jepang di Bali membuat persidangan jadi molor. Misalnya dalam hal skema pengaturan pengurangan emisi pasca-2012. Negara-negara berkembang yang tergabung dalam G-77 dan Uni Eropa mendesak agar pengaturan itu bersifat mengikat (binding commitment).
Namun keempat negara penghasil emisi besar itu berkukuh pada komitmen yang fleksibel yang didasari target nasional masing-masing. ”Masalahnya, tak ada kepercayaan antara Utara dan Selatan,” kata juru bicara G-77, Munir Akram dari Pakistan. Menurut dia, Utara yang mewakili negara-negara maju memiliki agenda tersembunyi, khususnya terkait dengan hambatan-hambatan perdagangan.
Agenda tersebut juga mempengaruhi pembahasan teks deklarasi lainnya. Misalnya saat membicarakan transfer teknologi. ”Butuh waktu tiga jam untuk menempatkan isu ini dalam agenda,” kata Mena Raman, Ketua Friends of the Earth International. Menurut dia, delegasi Cina merasa dibohongi karena pada hari pertama sudah ada kesepakatan untuk tak membawanya ke dalam contact group.
Sementara negara-negara berkembang begitu jelas mencantumkan proposal tentang kebutuhan dana adaptasi dan transfer teknologi, Mena tak melihat adanya kepemimpinan yang datang dari negara-negara di Utara.
Negara-negara G-77 dan para aktivis LSM juga kecewa dengan sikap Jepang. ”Proposal Jepang untuk mengganti Protokol Kyoto bentuk kemunduran,” ujar salah seorang delegasi Indonesia yang tak ingin disebut namanya. Proposal tersebut menginginkan peran yang lebih besar dari negara berkembang dalam hal pengurangan emisi gas rumah kaca. Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Emmy Hafidz menilai proposal Jepang itu sebagai upaya menghambat negosiasi.
Peran besar negara berkembang pun menjadi tuntutan Amerika Serikat. Tuntutan itu dinilai oleh sebagian besar peserta konferensi tak realistis. Ini lantaran negara-negara maju lebih dulu membangun industrialisasi dengan skala yang lebih besar. Itu berbeda dengan negara-negara berkembang, yang kini dibelit kemiskinan dan tak punya cukup teknologi untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim. ”Negara-negara maju sendiri belum membuktikan komitmen yang sudah disepakati bersama dalam Protokol Kyoto,” ujar Mena.
Ketua Delegasi Amerika Serikat Harlan L. Watson menegaskan Protokol Kyoto selama ini tak efektif. ”Kami butuh sesuatu yang lebih baik dari protokol itu,” katanya. Dia membantah tuduhan bahwa negaranya menjadi penghalang jalannya konferensi di Bali. Menurut dia, di dalam negerinya ada program environmentally effective and economically sustainable sehingga pertumbuhan emisi dapat ditekan dari 1,6 persen menjadi 1,5 persen.
Umbrella Group menginginkan negosiasi baru harus mencakup lingkungan alam serta upaya-upaya yang ambisius, komprehensif, dan setara. Umbrella Group merupakan kelompok dari Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia, Rusia, Norwegia, Islandia, Selandia Baru, dan Kazakhstan.
Menteri Lingkungan Hidup Jepang Ichiro Kamoshita menjelaskan pihaknya ingin menepati komitmen mengurangi emisi. Diakuinya, mengurangi emisi 6 persen bukan sesuatu yang mudah. ”Sekarang kami dalam proses merevisi target penerimaan Protokol Kyoto dan akan meluncurkan rancangan yang lebih kuat pada Maret 2008,” katanya.
Ruang-ruang sidang Bali International Convention Center di Nusa Dua menjadi saksi perdebatan delegasi G-77 plus Cina dan Uni Eropa melawan Umbrella Group. Di luar ruang, ratusan aktivis LSM melanjutkan unjuk rasa, termasuk Joanna Dafoe bersama 30 rekannya dari Canadian Youth Delegation.
Gadis 21 tahun itu mengibaratkan negaranya seperti mobil yang memacu mesinnya untuk melintasi lampu lalu lintas. Mobil itu tak menghentikan lajunya karena kendaraan lain (India dan Cina) tak mengurangi kecepatannya. ”Kami prihatin karena kondisi ini akan menjadi bencana mahadahsyat,” ucapnya.
Untung Widyanto, Andree Priyanto, Wuragil (Nusa Dua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo