Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menu Pahit untuk Al Gore

Konferensi Bali tak menyepakati target pengurangan emisi karbon secara drastis. Skema REDD Indonesia disetujui.

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hidangan pahit” itu disodorkan kepada Al Gore begitu dia menjejak Bali pada Kamis pekan lalu: Amerika Serikat menjadi penghalang utama proses persidangan Konferensi Perubahan Iklim di Bali yang diikuti 189 negara. Setelah penerbangan Oslo-Denpasar yang melelahkan selama 15 jam, Al Gore terpaksa menelan pil pahit itu. Walaupun kabar itu sesungguhnya cerita lama.

Pada 12 konferensi perubahan iklim terdahulu, Amerika hampir selalu menjadi ”biang keladi”. Puncaknya pada 1997, ketika Presiden George Bush menolak menandatangani Protokol Kyoto. Di Bali, pada konferensi ke-13 ini, kelakuan AS juga belum berubah. Hal itu membuat Gore, pemenang Nobel Perdamaian 2007, tak habis mengerti.

”Semua negara sudah bergerak amat maju. Tapi negara saya, Amerika Serikat, merusak semua kemajuan di sini,” ucapnya. Pidato yang keras itu kontan disambut aplaus panjang dari sekitar 600 hadirin. ”Anda berhak marah dan frustrasi,” mantan Wakil Presiden Amerika itu menambahkan.

Ya, Gore marah lantaran delegasi Amerika menolak menyetujui target penurunan emisi karbon yang diperbesar (deeper cut) bagi negara-negara maju, yakni 25-40 persen pada 2020. Uni Eropa dan negara-negara berkembang yang tergabung dalam G-77 setuju. Bahkan mereka meminta kesepakatan itu bersifat mengikat dan masuk Deklarasi Bali. Amerika, plus Kanada dan Jepang, menolak angka-angka itu, juga sifat kesepakatan yang mengikat.

Ketua Delegasi Amerika Serikat Harlan L. Watson menegaskan Protokol Kyoto selama ini tak efektif. ”Kami butuh sesuatu yang lebih baik dari itu,” katanya. Lebih baik yang dimaksud Watson adalah sesuai dengan program ”environmentally effective and economically sustainable” pemerintahnya. Ini berarti AS tak ingin kelangsungan industrinya terancam lantaran target penurunan emisi yang dinaikkan dari 5 persen pada 2008-2012 menjadi lima kali hingga delapan kali lipat pada 2020 (baca ”Madu di Utara, Racun di Selatan”).

Target 25-40 persen adalah angka minimal yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-bangsa. Kondisi pemanasan bumi, sejatinya, jauh lebih gawat dan memerlukan target-target yang lebih ambisius. PBB melihat negara berkembang sudah menunjukkan komitmen penyelamatan hutannya. Tinggal negara maju bersedia memangkas secara drastis emisi gas rumah kaca mereka.

Rachmat Witoelar, Presiden Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer sibuk membikin manuver baru untuk melunakkan Amerika. Rachmat mengajukan angka baru: penurunan emisi pada 2050 dipilih separuh dari emisi pada 2000. Sigmar Gabriel, ketua delegasi Jerman, bahkan mengancam Jerman tak akan mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Ekonomi dengan AS bila tak ada hasil dari Konferensi Bali. AS pada akhirnya melunak dengan menyatakan bersedia membahas target-target baru pada konferensi mendatang. Tapi tetap saja target 25-40 persen yang diinginkan tak masuk Deklarasi Bali. ”Pertanyaan: sampai berapa lama kita akan menunggu?” ucap Yvo de Boer.

Menurut Emil Salim, konferensi selama dua minggu yang ditutup Jumat lalu itu memberikan kerangka bagi Konferensi Denmark 2009 yang akan menjadi pengganti Protokol Kyoto. ”Dagingnya akan disepakati di Polandia pada tahun depan dan di Denmark,” kata ketua delegasi Indonesia itu. Ukuran keberhasilan Konferensi Bali, katanya, ”Apakah kerangka itu menunjukkan arah yang jelas untuk perundingan selanjutnya.”

Bagi Indonesia, ada berita baik. Konferensi Bali menyetujui skema insentif untuk mencegah emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) yang diajukannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung bertemu dengan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf dan Gubernur Papua Barnabas Suebu pada Jumat pekan lalu untuk membahas kesiapan proposal pendanaan REDD kedua provinsi.

Para pengusaha pun akan mendapat peluang dana dari negara-negara maju untuk proyek ramah lingkungan melalui skema Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM). Di pantai Pulau Besar, sekitar 500 meter dari Hotel Westin—tempat konferensi—puluhan pengusaha hadir. Mereka mengincar ”kue CDM”.

Senin pekan lalu, misalnya, Yudhoyono menyaksikan acara penandatanganan kontrak bernilai US$ 236 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun di Pulau Besar, kawasan wisata Nusa Dua, Bali. Proyek ini menyangkut pembangunan pembangkit listrik energi panas bumi di sejumlah daerah. Ada pula proyek carbon capture storage dan pembangunan pembangkit listrik dengan biomassa atau sampah. ”Energi panas bumi adalah energi yang ramah lingkungan, sehingga akan mendukung rezim perubahan iklim,” kata Yudhoyono.

Sehari menjelang kongres berakhir, PT Manunggal Energi Group Indonesia mengundang wartawan dalam dan luar negeri mengunjungi tempat pembuangan sampah Suwung di Denpasar. Perusahaan ini berjanji, pada 2010, akan membangun pembangkit listrik dari gas metana yang ada dalam tumpukan sampah itu. Biaya pembangkit berkapasitas 9,6 megawatt itu US$ 20 juta. Dananya diperoleh dari kredit karbon melalui skema CDM.

Tampaknya, ”proyek akan” tersebut bakal bermunculan di setiap daerah. Apalagi sejumlah keputusan dalam Konferensi Bali memberikan peluang bagi Indonesia dan negara berkembang lain.

Apakah ini berarti Indonesia sukses mengail ”untung” dari Konferensi? ”Cuma pepesan kosong,” kata Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, Emmy Hafidz. Dia merujuk pada persetujuan Konferensi terhadap skema REDD. Dalam putusannya, selain degradasi dan deforestasi, aspek konservasi masuk skema tersebut.

Selama sidang, India memang paling ngotot memaksakan aspek konservasi. Maklum, negara di kaki Pegunungan Himalaya ini memiliki banyak taman nasional yang bisa dijual di pasar karbon atau memperoleh dana dari lembaga khusus. Awalnya, usul India itu ditentang banyak peserta, termasuk negara-negara berkembang dalam G-77. Namun India tetap memaksakan kehendaknya sehingga skema REDD terkatung-katung.

Negara-negara pemilik hutan tropis akhirnya menerima usul India. ”Kita akomodasikan keinginannya,” ujar Sunaryo, anggota delegasi Indonesia dari Departemen Kehutanan. Bentuk komprominya: mengganti kata konservasi dengan kalimat ”enhancing carbon stock throw management forest”. Terminologi ini memasukkan juga taman-taman nasional.

Menurut Emmy Hafidz, aspek konservasi seharusnya dimasukkan ke Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati. Sedangkan urusan mengurangi emisi karbon lebih didominasi aspek deforestasi dan degradasi yang lajunya banyak terjadi di Brasil, Indonesia, dan Kongo. Dana dari skema REDD nantinya bakal tersebar ke mana-mana, antara lain India, Bangladesh, dan Papua Nugini.

Jika diibaratkan kue, dana itu harus dipotong kecil-kecil agar semuanya dapat. ”Duit yang Indonesia peroleh bakal sedikit, padahal masalah kita amat besar,” kata Emmy.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan Wahyudi Wardoyo membantah kesimpulan Emmy. Menurut dia, sejak awal merumuskan skema REDD, Indonesia sudah memasukkan aspek konservasi. ”Kini kompetisi jadi terbuka, dan dapat membawa kebaikan bagi pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal,” katanya. Indonesia juga memiliki potensi besar dalam konservasi. Kita, ujarnya, ”Jangan selalu mengemis dari negara luar untuk mengelola hutan.”

Isu lain yang ramai dibahas dalam Konferensi adalah dana adaptasi. Dana ini disepakati dua persen dari CDM dan negara-negara berkembang mendapat kelonggaran untuk menggunakannya. Tapi, dalam Konferensi, negara-negara berkembang ingin mereka yang menentukan besarannya.

Untung Widyanto (Nusa Dua)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus