MEMASUKI aula LIA (Lembaga Indonesia Amerika) di Jalan Teuku
Umar 9, Jakarta, Rose Pandanwangi mendapat tepuk tangan hangat.
Ruang itu sesungguhnya kurang ideal buat konser. Luasnya 5 x 20
meter. Kursi yang dipajang tidak terpakai seluruhnya, tak lebih
dari 100 orang yang hadir pada 15 Pebruari itu. Tapi mereka ini
orang pilihan, dan itulah sebabnya Rose, 49 tahun, merasa sreg
main.
Mengenakan baju warna pclangi, Rose mengangguk sebentar kepada
hadirin. Kemudian meneruskan pada Elvira Manusama-Tobing yang
duduk di depan piano. Lagu pertama Pagi Menguning karya
Kusbini, mengalun lembut dan berisi. Ini membuat pengunjung
diam. Terpukau oleh suara mezzo soprano Rose. keplok yang
terdengar bukanlah sambutan basa-basi.
Chairil Anwar
Gebrakan pertama mendapat sambutan yang hangat, meskipun sayang
loyo pada nomor-nomor berikutnya. Deretan lagu. Setitik Embun
Mochtar Embun. Di Sela-Sela Rumput Hijau Maladi, Dahaga
Iskandar dan Samangat RAJ Soedjasmin dengan syair Chairil
Anwar, lewat tanpa kesan. Hanya Lagu Untuk anaku karya
Syaiful Bahri yang sempat menolong dibawakan dengan penjiwaan
dan ekpresi yang mantap.
Melihat penampilan Rose selama 1 jam dalam usia seperti
sekarang, memang bisa membuat orang cemburu pada dedikasinya
yang masih menggebu-gebu untuk ukuran Indonesia, meskipun
tidak pada kesenian radisionil sejak remaja, di kota
kelahirannya, Ujung Pandang, ia sudah belajar musik. Ia juga
pernah mengecap pendidikan musik di Nederland. Sampai 1964 ia
sudah meraih 14 piala dari kejuaraan Bintang Radio RRI. Bukan
itu saja: ia juga mendirikan opera sendiri, 'Hidup Mengalun
Dendang'. Opera ini sekarang memang sudah tidak ada, anggotanya
rontok satu persatu. Sekarang, selain menjadi solis Paduan Suara
LIA, ia juga menjadi anggota Orkes Kamar Jakarta.
Seorany pengamat kawakan yang juga berkecimpung dalam opera dan
konser berkomentar: "Jangan bandingkan Ibu Rose dengan 20 tahun
yang lewat.
Sekarang ini kurang berhasil, tapi secara keseluruhan baik.
Banyak juga nomor yang bagus, terutama untuk 3 lagu negro
spiritual. Tapi untuk lagu Indonesianya, kurang. Tak ada
ekspresi di dalamnya. Kurangnya latihan terlihat jelas."
Ia menilai, wanita pada umur sebelum 50 tahun masih bisa
diandalkan menyanyi tapi selebihnya payah. Sedang untuk
laki-laki ia memberi batasan 70 tahun. Rose membenarkan
kurangnya latihan. "Kami latihan 2 bulan. Itu pun tidak secara
teratur, praktisnya baru Januari kemarin."
Menghadapi latihan yang kurang mencapai target sampai-sampai
Rose pernah ngambek. "Satu bulan lebih. saya tidak membuka
mulut. Mendengar musik NHK yang di IV saja saya matikan. Saat
itu saya berpikir: mengakhiri nyanyi saya tak puas meneruskannya
juga tidak puas. Tapi untunglah kemudian datang dorongan dari
suaminya Sudjojono untuk tetap nyanyi. Rose pun kembali. "Tapi
nanti kalau sudah 50 tahun umur saya akan melukis. Kata
bapak, saya ada bakat melukis."
Penampilan di LIA bagi Rose sendiri semacam introspeksi. "Ini
penting sekali. Apakah saya sudah menurun atau belum, soalya
saya sudah tidak muda lagi. Kritik sangat penting. Saya pengin
tahu, kapan saya ini menurun. Kalau cuma mengandalkan tepuk
tangan banyaknya penonton yang asal nonton saja, saya tak puas,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini