Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mencari

Pengusaha dari Malaysia, Filipina, PNG dan Indonesia yang tergabung dalam asosiasi produsen kayu Asia Tenggara (SEALPA) mengadakan pertemuan di bali. Yang di harapkan dapat menghasilkan harga yang wajar. (eb)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA bertemu di Kota Kinabalu, ibukota negara bagian Sabah, Malaysia Timur beberapa waktu lalu. Pekan lalu mereka berbincang-bincang lagi di Hotel Bali Beach. Pesertanya lumayan: 75 pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Kayu Asia Tenggara (SEALPA). Terdiri dari Malaysia Pilipina, Papua Nugini dan Indonesia SEALPA yang didirikan atas prakarsa Masyarakat Perkayuan Indonesia, Pebruari 1975 itu, kini lagi susah. Hargaharga, selain tidak seragam, juga terus merosot akibat penyakit resesi yang belum pulih benar itu. Maka di Bali para produsen itu lagi memeras otak bagaimana cara sebaiknya mengerem harga yang terus turun itu. Juga keseragaman ukuran kayu bulat yang mereka ekspor mendapat perhatian yang tidak sebentar. Tak berlebihan bila kalangan kayu disini merasa mendapat "kehormatan" selama minggu-minggu ini, seperti ucap direktur eksekutif MPI Sadikin Djajapercunda. Di samping pertemuan SEALPA di Bali, di Jakarta juga lagi berlangsung Kongres Kehutanan se Dunia (lihat hal. 43 dan hal. 47). Menarik juga melihat hadirnya para pembeli kayu terbesar dalam pertemuan SEALPA itu: dari Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Kepada mereka, para produsen dari sekawan negara itu ingin mencari tahu berapa sebenarnya yang dibutuhkan para konsumen itu. Ini, seperti kata Taswin Natadiningrat, agar tercapai keseimbangan antara suplai dan permintaan. "Supaya pihak produsen jangan terus dipermainkan oleh konsumen," katanya. Kabarnya para pembeli itu suka juga tak menepati permintaannya, hingga timbul suplai yang berlebih. Kalau memang benar demikian, maka kelebihan itu bisa membanting harga. Juga selama ini harga kayu bulat dari kawasan ini terpengaruh oleh keadaan musim dan perobahan kurs Yen. Sejak awal tahun ini Indonesia mengurangi produksi kayu bulatnya 10% yang kemudian diikuti oleh Sabah, Juli lalu. Tindakan ini rupanya membantu menaikkan harga kayu meranti dari US$ 58 ke US$ 64 - US$ 67 per m3 FOB Samarinda dewasa ini. Indonesia Terkaya Berkata Firmansyah ketua komite pemasaran SEALPA, "tujuan kita bukanlah harga yang terlalu tinggi, tapi harga yang wajar." Berapa "harga yang wajar," kalangan MPI sulit menentukannya. Beberapa eksportir Indonesia menghitung harga sekitar US$ 70 - US$ 75 per m3 barulah memberi keuntungan lumayan. Tapi bila tinggi harganya, dikuatirkan akibatnya menghambat pertumbuhan industri kayu di dalam negeri," ujar Sadikin. Dari keempat anggota SEALPA, Indonesia terkaya memiliki hutan. Areal hutan produksinya seluas 47,2 juta hektar. Terdapat Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebanyak 407, terdiri dari investasi nasional 323, asing 14 dan perusahaan patungan 70 dengan total areal 38,1 juta hektar. Di sini investasi berkisar US$1 milyar, terdiri dari nasional US$ 733 juta, asing US$ 80 juta dan modal patungan US$ 256 juta. HPH diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dengan kesempatan untuk diperbaharui. Tapi tidak semua pemegang HPH mengolah hutan konsesi masing-masing. Dari 407 pemegang HPH, menurut data Ditjen Kehutanan tahun 1976, terdapat 108 yang menandatangani kontrak karya dengan perusahaan-perusahaan lain, meliputi 8 juta hektar. Jika harga tidak sesuai dengan tingkat keuntungan yang layak, maka bidang pengusahaan hutan cenderung tidak akan melakukan tambahan investasi. Jika harga murah, maka suplai tidak akan sanggup memenuhi permintaan. Dewasa ini masa bebas pajak untuk pengusaha kayu, rata-rata sudah habis. Limapuluh prosen dari alat produksi sekarang ini sudah harus diganti. Itulah sebabnya SEALPA menginginkan harga yang layak dan stabil. Walaupun harga kayu bulat sudah naik, keadaan dewasa ini belum menarik untuk peremajaan alat produksi. Empat tahun lalu, misalnya, sebuah traktor D-7 berharga US$ 65.000 sampai US$ 70.000. Sekarang ini harganya sudah menjadi US$ 190.000. Maka negara produsen kini menjaga stok Jepang -- konsumen terbesar -- jangan melebihi 2 bulan atau kira-kira 4 juta m3. Kini suplai kayu bulat di Jepang sebesar 4,2 juta m3, yaitu konsumsi 2 bulan 10 hari. Tapi Jepang sendiri tak mau menimbun sampai 3 bulan, karena kwalitasnya bisa rusak di dalam air. Menurut seorang ahli, pengurangan produksi tidak selalu dalam kaitan stabilitas harga. Pilipina, misalnya, mengurangi ekspor kayu bulatnya 50% untuk tujuan pengembangan industri dalam negerinya. Mungkin Sabah mengurangi produksi dan ekspornya untuk alasan sama dengan Pilipina. Mereka sudah mengelola hutannya selama 20 tahun, sedang Indonesia secara intensif baru 8 tahun. Tindakan Pilipina itu, katanya, pantas diikuti dalam menilai kembali pengusahaan hutan Indonesia. Di Bali, SEALPA juga berusaha memperbaiki peraturan log grading. Selama ini negara produsen dalam kontrak penjualannya memakai ukuran tersendiri. Indonesia, misalnya memakai ukuran m3, Sabah pakai cubic feet, Pilipina dengan squarefeet. Sedangkan Jepang, pembeli, punya cara lain lagi. Jika berhasil diciptakan keseragaman ukuran kayu bulat ini, pasti itu akan menunjang kelancaran perdagangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus