MEREKA bertemu di Kota Kinabalu, ibukota negara bagian Sabah,
Malaysia Timur beberapa waktu lalu. Pekan lalu mereka
berbincang-bincang lagi di Hotel Bali Beach. Pesertanya lumayan:
75 pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Kayu Asia
Tenggara (SEALPA). Terdiri dari Malaysia Pilipina, Papua Nugini
dan Indonesia SEALPA yang didirikan atas prakarsa Masyarakat
Perkayuan Indonesia, Pebruari 1975 itu, kini lagi susah.
Hargaharga, selain tidak seragam, juga terus merosot akibat
penyakit resesi yang belum pulih benar itu.
Maka di Bali para produsen itu lagi memeras otak bagaimana
cara sebaiknya mengerem harga yang terus turun itu. Juga
keseragaman ukuran kayu bulat yang mereka ekspor mendapat
perhatian yang tidak sebentar. Tak berlebihan bila kalangan kayu
disini merasa mendapat "kehormatan" selama minggu-minggu ini,
seperti ucap direktur eksekutif MPI Sadikin Djajapercunda. Di
samping pertemuan SEALPA di Bali, di Jakarta juga lagi
berlangsung Kongres Kehutanan se Dunia (lihat hal. 43 dan hal.
47).
Menarik juga melihat hadirnya para pembeli kayu terbesar dalam
pertemuan SEALPA itu: dari Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Kepada mereka, para produsen dari sekawan negara itu ingin
mencari tahu berapa sebenarnya yang dibutuhkan para konsumen
itu. Ini, seperti kata Taswin Natadiningrat, agar tercapai
keseimbangan antara suplai dan permintaan. "Supaya pihak
produsen jangan terus dipermainkan oleh konsumen," katanya.
Kabarnya para pembeli itu suka juga tak menepati permintaannya,
hingga timbul suplai yang berlebih. Kalau memang benar demikian,
maka kelebihan itu bisa membanting harga. Juga selama ini harga
kayu bulat dari kawasan ini terpengaruh oleh keadaan musim dan
perobahan kurs Yen.
Sejak awal tahun ini Indonesia mengurangi produksi kayu bulatnya
10% yang kemudian diikuti oleh Sabah, Juli lalu. Tindakan ini
rupanya membantu menaikkan harga kayu meranti dari US$ 58 ke US$
64 - US$ 67 per m3 FOB Samarinda dewasa ini.
Indonesia Terkaya
Berkata Firmansyah ketua komite pemasaran SEALPA, "tujuan kita
bukanlah harga yang terlalu tinggi, tapi harga yang wajar."
Berapa "harga yang wajar," kalangan MPI sulit menentukannya.
Beberapa eksportir Indonesia menghitung harga sekitar US$ 70 -
US$ 75 per m3 barulah memberi keuntungan lumayan. Tapi bila
tinggi harganya, dikuatirkan akibatnya menghambat pertumbuhan
industri kayu di dalam negeri," ujar Sadikin.
Dari keempat anggota SEALPA, Indonesia terkaya memiliki hutan.
Areal hutan produksinya seluas 47,2 juta hektar. Terdapat Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) sebanyak 407, terdiri dari investasi
nasional 323, asing 14 dan perusahaan patungan 70 dengan total
areal 38,1 juta hektar. Di sini investasi berkisar US$1 milyar,
terdiri dari nasional US$ 733 juta, asing US$ 80 juta dan modal
patungan US$ 256 juta. HPH diberikan untuk jangka waktu 20 tahun
dengan kesempatan untuk diperbaharui.
Tapi tidak semua pemegang HPH mengolah hutan konsesi
masing-masing. Dari 407 pemegang HPH, menurut data Ditjen
Kehutanan tahun 1976, terdapat 108 yang menandatangani kontrak
karya dengan perusahaan-perusahaan lain, meliputi 8 juta hektar.
Jika harga tidak sesuai dengan tingkat keuntungan yang layak,
maka bidang pengusahaan hutan cenderung tidak akan melakukan
tambahan investasi. Jika harga murah, maka suplai tidak akan
sanggup memenuhi permintaan.
Dewasa ini masa bebas pajak untuk pengusaha kayu, rata-rata
sudah habis. Limapuluh prosen dari alat produksi sekarang ini
sudah harus diganti. Itulah sebabnya SEALPA menginginkan harga
yang layak dan stabil. Walaupun harga kayu bulat sudah naik,
keadaan dewasa ini belum menarik untuk peremajaan alat produksi.
Empat tahun lalu, misalnya, sebuah traktor D-7 berharga US$
65.000 sampai US$ 70.000. Sekarang ini harganya sudah menjadi
US$ 190.000.
Maka negara produsen kini menjaga stok Jepang -- konsumen
terbesar -- jangan melebihi 2 bulan atau kira-kira 4 juta m3.
Kini suplai kayu bulat di Jepang sebesar 4,2 juta m3, yaitu
konsumsi 2 bulan 10 hari. Tapi Jepang sendiri tak mau menimbun
sampai 3 bulan, karena kwalitasnya bisa rusak di dalam air.
Menurut seorang ahli, pengurangan produksi tidak selalu dalam
kaitan stabilitas harga. Pilipina, misalnya, mengurangi ekspor
kayu bulatnya 50% untuk tujuan pengembangan industri dalam
negerinya. Mungkin Sabah mengurangi produksi dan ekspornya untuk
alasan sama dengan Pilipina. Mereka sudah mengelola hutannya
selama 20 tahun, sedang Indonesia secara intensif baru 8 tahun.
Tindakan Pilipina itu, katanya, pantas diikuti dalam menilai
kembali pengusahaan hutan Indonesia.
Di Bali, SEALPA juga berusaha memperbaiki peraturan log grading.
Selama ini negara produsen dalam kontrak penjualannya memakai
ukuran tersendiri. Indonesia, misalnya memakai ukuran m3, Sabah
pakai cubic feet, Pilipina dengan squarefeet. Sedangkan Jepang,
pembeli, punya cara lain lagi.
Jika berhasil diciptakan keseragaman ukuran kayu bulat ini,
pasti itu akan menunjang kelancaran perdagangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini