MULA-mula cuma enam rusa yang mati. Lalu ketika jumlah itu bertambah menjadi 27, tindakan mengisolasikan rusa yang masih hidup segera dilakukan. Binatang bertanduk yang dipelihara di halaman rumah Gubernur Ben Mboy di Kupang itu segera dipindahkan ke Camplong, tempat yang memang khusus untuk penangkaran rusa milik Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Nusa Tenggara Timur. Kematian rusa gubernur itu - demikian penduduk di sana menyebutnya -semula dikira karena "overgrazing", kelebihan populasi di lokasi tanah yang terbatas. Maklum, idealnya, menurut para ahli, setiap hektar mestinya cuma menampung 6 sampai 7 ekor rusa, sehingga persediaan rumput cukup dan rusa tak makan sembarangan. Sebab, kalau lapar, biasanya tanah pun turut dimakan. Memang belum jelas benar sebab-sebab pasti kematian rusa Timor itu. Namun, yang jelas, kasus yang terjadi tahun lalu itu muncul dalam sebuah makalah yang dibawakan delegasi Indonesia yang hadir pada seminar Veterinary Epidemology & Economics ke-4 yang berlangsung di Singapura, pekan lalu. Makalah dari LPPH (Lembaga Penelitian Penyakit Hewan) Bogor telah menguraikan adanya kasus SA-MCF (Sheep-associated Malignant Catarrhal Fever) atau yang populer disebut "penyakit ingusan" pada hewan piaraan, dan yang menjadi penyebab adalah domba. Penyakit itu di luar Indonesia adalah penyakit sporadis yang sangat rendah keabnormalannya. "Penyakit ingusan" atau ada pula yang menyebut "penyakit makan tanah" yang sering membabat habis sapi Bali (Bos javanicus) dan kerbau-kerbau (Bubalus bubalis) di Indonesia ternyata lebih tinggi angka kerentanannya. Sementara penyebab dan terapi pengobatannya belum ditemukan secara mujarab, ternyata rusa-rusa Timor (Cervus timorensis) di Kupang itu diduga sudah terkena SA-MCF pula. Dan inilah yang baru yang menarik perhatian para ahli epidemi di seminar internasional tersebut. Tanda-tanda fisik dari hewan yang terserang MCF ialah matanya bengkak, hidungnya penuh ingus kental kuning dan berbau sekali. Dagingnya bagaikan disedu air panas, dan kalau hewan itu menemukan ajal, dia sudah tak bisa dikenal lagi wujudnya. Suhu badannya tinggi. Kalau yang diserang sarafnya, gejala klinis pada si ternak ialah kalau dia merunduk terus, terkulai lemas. Karena itu disebut "penyakit makan tanah". Tetapi kalau virus MCF menyerang alat pencernaannya, dia akan mencret bercampur darah. Di Indonesia sendiri, MCF pertama kali diketahui tahun 1894. Dalam catatan, penyakit ini pernah menyerang hewan-hewan piaraan di Pamekasan, Bogor, Medan, Watampone, dan kota-kota lain. Yang pasti, kalau MCF sudah menyerang hewan suatu tempat, angka kematiannya langsung melonjak. Pernah di akhir 1978 sampai pertengahan 1979, sapi Bali yang ada di Banyuwangi nyaris punah. Biasanya hewan itu buru-buru dipotong oleh pemiliknya sebelum terkena ajal MCF. Celakanya lagi, penyakit ternak yang juga disebut Bovine herpesvirus 3 ini, virus herpeslah yang menjadi penyebabnya, hingga kini belum di temukan vaksinnya. Juga belum ditemukan obat penyembuhannya, padahal ajal bisa terjadi dalam waktu hanya 2 minggu saja setelah terjangkit. Satu-satunya usaha pencegahan, seperti dikatakan drh. Masduki Partaredja, Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan, "Isolasikan saja hewan yang sakit dan yang sehat." Akan halnya yang baru dan yang menarik dari peserta seminar itu ialah rusa Timor yang terserang SA-MCF itu. Penyakit yang mempunyai gejala parabolik ini (karena pcnyebabnya virus) dugaan santer adalah domba yang memang berbakat carner, yang menyebabkannya. Rusa Tirnor sendiri adalah salah satu satwa lindung di NTT. Keistimewaannya, binatang itu mempunyai tanduk yang cepat tumbuh dan indah bercabang-cabang Akhir-akhir ini pasaran internasional akan tanduk rusa membaik. Selandia Baru sebagai pengekspor utama selalu kewalahan memenuhi permintaan pasar. Mengapa NTT, yang sejak dulu berpenghasilan utama ternak potong dan juga memiliki rusa, tidak mengekspornya? Usaha pemula untuk menangkarkan rusa datang dari Gubernur NTT, dr. Ben Mboy, sendiri. Tahun 1981 keluar izin dari Ditjen PPA Departemen Kehutanan. Ada 9 ekor rusa waktu itu, sebagai "modal" untuk diternakkan. Lokasi tangkar adalah pekarangan gubernuran yang luasnya sekitar 2 ha itu. "Pemeliharaan rusa mudah," kata Dirjen PHPA Rubini Atmawidjaja, "hanya sayangnya, sangat sensitif." Betul saja. Di pertengahan tahun 1984 jumlah rusa berlipat ganda jadi sekitar 50 ekor. Nah, di saat itulah, kedapatan 6 ekor rusa mati. Ketika kejadian itu, ternyata 6 dari 30 ekor sapi Bali di lokasi yang berdekatan dengan pekarangan Gubernur itu juga menemui ajalnya. Peristiwa ini membuat Kepala Dinas Peternakan NTT, drh. Malessi, dan drh. Umbu dari Labkeswan (Laboratorium Kesehatan Hewan) Kupang tak berdaya. Kemudian permintaan bantuan pun dilontarkan ke alamat Bakitwan (Balai Penelitian Penyakit Hewan) di Bogor. Maklum, di Kupang sendiri fasilitas untuk meneliti penyakit belum lengkap benar. Ternyata, bukan hanya dokter hewan Bogor yang datang ke Kupang. Tapi beberapa peneliti luar negeri yang mengetahui mulai tertarik. MCF biasa-nya menyerang hewan-hewan piaraan, seperti sapi dan kerbau. Tapi rusa, baru kali inilah kejangkitan MCF. Ketika masalah MCF pada rusa ini diungkapkan di seminar Singapura yang dihadiri tak kurang dari 35 negara itu, "makalah mendapat sambutan hangat", kata salah seorang delegasi yang tak mau disebut namanya. "Hingga kini, MCF belum bisa terungkapkan," kata anggota delegasi tersebut. Saran beberapa delegasi dari negara lain antara lain adakan pemisahan domba positive carrier dari hewan-hewan lainnya. Dan si domba inilah yang kabarnya disatukan dengan rusa-rusa itu menjadi penghuni halaman Gubernur NTT. Toeti Kakialatu Laporan biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini