KIAT dua minggu yang lalu, "Kembali ke Konsep Lama", membuat seorang pembaca bertanya apakah masih ada lagi contoh lain dari Swedia tentang konsep dan teknologi lama yang tetap dipakai dan tetap menguntungkan. Ada, tentu saja. Contoh lain yang ingin saya kemukakan adalah Dr. Refaat El Sayed. Ia orang Mesir, belajar kimia di Universitas Uppsala, Swedia, menikah dengan gadis Swedia, dan kemudian menjadi warga negara Swedia. Umurnya baru 39 tahun, tetapi telah 29 temuannya dipatenkan. Antara lain sebuah alat pemurni air yang di Indonesia dipasarkan oleh Electrolux. Refaat jelas bukan orang konservatif. Pabriknya di Strangnas, 55 kilometer di luar kota Stockholm, dicapainya dengan ngebut di atas Saab Turbo dalam waktu setengah jam. Ia sendiri Yang mengemudikan, karena sopir menurut dia hanyalah pemborosan. Saya pernah duduk di sebelahnya, sambil memegangi jantung saya supaya tidak merosot ke bawah. Tiap kali ia menguap, saya mengajaknya bicara, takut ia akan ketiduran sambil mengemudi. Ia memang selalu tampak mengantuk. Harinya panjang, dan 200 hari dalam setahun dipakainya untuk perjalanan dinas. Refaat, sesuai dengan keahliannya, adalah seorang pengusaha farmasi. Suksesnya di bidang ini justru karena ia tidak merasa perlu mengalihkan cara kerja low-tech di pabriknya. Ketika semua pabrik farmasi memakai dana besar-besaran untuk meriset misteri DNA dan cara kerja hi-tech, Refaat tenang-tenang memakai terus produksi cara kuno: fermentasi. Fermenta, pabrik milik Refaat itu, kini adalah salah satu supplier antibiotik terbesar. Fermenta memang tidak membuat produk jadi yang langsung mencapai konsumen, karena itu nama Fermenta jarang sekali dikenal. Ia hanya menyuplai bahan baku antibiotik ke pabrik-pabrik farmasi lain yang kemudian akan membuatnya menjadi produk jadi. "Dengan cara ini, pasar saya menjadi besar. Semua pabrik farmasi bisa menggunakan bahan antibiotik dari Fermenta. Kami tak perlu bersaing dengan branded product yang pasarnya cuma secuil-secuil itu," kata Refaat. Kalau orang lain sudah bersiap meninggalkan proses fermentasi, Refaat justru melihat sebuah peluang besar. Refaat sangat yakin bahwa fermentasi bukanlah bisnis yang telah mendengar lonceng kematian. Tantangan itu tiba kepadanya ketika pada 1981 Astra (perusahaan farmasi terbesar di Swedia, tak ada hubungannya dengan Toyota Astra Motor) mengumumkan akan menutup pabriknya yang merugi. Ketika Refaat datang, Astra dengan senang hati menerima tawaran 6 juta dolar AS untuk pabrik yang sudah berusia 30 tahun itu. Pada saat itu, pabrik dengan kapasitas seperti itu bisa bernilai 60 juta dolar AS. Refaat lalu membuka tabungan hasil royalty paten-patennya dan menempatkan dana pribadi sebesar 800.000 dolar AS. Sisanya dipinjam dari bank. Refaat juga berhasil membujuk Astra agar berjanji membeli setengah dari produksi penisilin yang dihasilkan pabrik itu. Pada tahun pertama saja Fermenta sudah menghasilkan keuntungan. Itu dicapai dengan upaya efisiensi dan keberhasilan Refaat memasarkan produknya dengan tak kenal lelah. Ia berkeliling dunia menjajakan penisilin. Ia sendiri hanya membawa pulang gaji bulanan sebesar 1.127 dolar AS. Ia adalah chief executive officer yang mungkin paling rendah gajinya di dunia. Sekretarisnya - bukan gadis cantik berdandan menor - merangkap juga sekretaris direktur pemasaran, dan penunjuk jalan untuk tamu yang datang ke pabrik. Siasat Refaat adalah memproduksi antibiotik dengan harga serendah-rendah-nya. Itu hanya bisa dicapai bila ia bisa menggandakan output produksinya. Untuk itu Refaat memakai teknologi sederhana. Sebagai pemakan nasi, Refaat berhasil memanfaatkan beras sebagai medium untuk membiakkan spora menjadi penisilin kasar. Dan itu berarti produksi masal. Pada masa lalu antibiotik hanya bisa diproduksi dalam jumlah kecil-kecilan dan volume yang tak menentu. Fermenta memang sebuah fenomena luar biasa. Di bursa saham Stockholm bulan November lalu, nilai saham Fermenta naik 314% dibanding setahun sebelumnya, ketika untuk pertama kalinya saham Fermenta dijual untuk umum. Pendapatan tahun 1985 ini diperkirakan 217% di atas tahun lalu. Tak heran bila Refaat mulai berpikir keluar. Ini khas cara berpikir Swedia, negara kecil dan pasar kecil. Ia membeli sebuah pabrik di dekat Paris, semula milik Squibb, dan "mengunci" Squibb dengan perjanjian untuk membeli hasil produksi pabrik itu. Dengan cara yang sama ia juga membeli sebuah instalasi pabrik milik Wyeth di Pennsylvania, dan sebuah pabrik lagi di Italia. Semuanya dengan harga "obral". Karena pabrik-pabrik itu sedang merugi dan akan ditutup. Tahun lalu Refaat juga merundingkan kemungkinan usaha patungan di enam negara lain. Hasilnya? Mulai tahun depan penisilin hasil fermentasi sudah akan diproduksi di India, Korea Selatan, Taiwan, dan Mesir. Refaat El Sayed telah menunjukkan bahwa menatap ke depan tidak selamanya berarti meninggalkan tempat berpijak kini. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini