GEMPA di Meksiko, September lalu, memberikan banyak pelajaran bagi para ahli konstruksi. Dari sini ketahuan, konstruksi bangunan mana yang tahan gempa dan mana yang tidak. Sebab, gempa berkekuatan 8,1 pada skala Richter itu, sekalipun menghancurkan sekitar 400 bangunan tinggi, banyak juga gedung jangkung lain, dekat bangunan yang runtuh, tetap tegak. Mengapa demikian? Mulanya, para ahli menduga akan menemukan jawaban lewat mazhab konstruksi yang digunakan: pada Metode Desain Statis (SDM) atau Metode Desain Dinamis (DDM). Penganut mazhab pertama percaya bahwa konstruksi yang dirancang harus mampu melawan kekuatan gempa. Sedangkan pengikut mazhab DDM adalah mereka yang mencoba menjinakkan keganasan gempa dengan menyerap energinya. Alhasil, SDM cenderung menghasilkan struktur yang kaku, sedangkan DDM cenderung ke struktur luwes. Menurut Profesor Kiyoshi Muto, yang menciptakan teori DDM pada akhir 1950-an, "Jepang masih didominasi penganut SDM." Ironisnya, para ahli Amerika justru lebih percaya pada teori Muto - yang dipergunakan untuk bangunan Wisma Nusantara, Jakarta. Ternyata, apa yang terjadi di Meksiko tak menyangkut kedua mazhab itu. Yang ditemukan justru faktor baru, yaitu perlunya pengetahuan lebih mendalam tentang keadaan tanah tempat bangunan didirikan. "Bangunan yang paling ringkih adalah yang bertingkat 7 hingga 20, terutama yang berbentuk asimetris dan mempunyai ruang kosong di bagian bawah," kata Profesor Emilio Rosenblueth, ahli struktur bangunan pada Universitas Nasional Meksiko. "Sehingga lokasinya perlu diperhatikan sekali." Karena Meksiko sudah diduga akan diguncang gempa, cuma para ahli geologi tak tahu kapan saatnya, wilayah ini jauh-jauh hari sudah dipenuhi dengan berbagai peralatan pengamat gempa. Ketika bencana itu terjadi, hampir semua data dari berbagai segi terekam. "Ini memang gempa yang paling lengkap datanya," kata seorang geolog AS. Nah, dari data yang terkumpul itu, terjawab mengapa bangunan tertentu saja yang ambruk dan lainnya tidak. "Gedung yang ambruk adalah yang beresonansi dengan getaran gempa," kata Rosenblueth. Resonansi terjadi bila suatu benda mendapatkan getaran yang sama dengan getaran alamiahnya. Untuk gedung bertingkat 7 hingga 20 diperkirakan mempunyai frekuensi alamiah 1/2 - bila gedung itu digoyangkan, akan bergerak seperti pendulum dengan periode 2 detik. Makin tinggi gedung, makin panjang periode alamiahnya. Misalnya, gedung World Trade Center di New York, 104 tingkat, mempunyai periode alamiah 10 detik. Dr. Esteva Maraboto, ahli struktur tanah pada Universitas Autonomous, Meksiko, yakin bahwa sebagian besar lahan di Mexico City, akibat gempa, bergetar dengan periode 2 detik. Padahal, gempa itu menghasilkan getaran dengan berbagai macam periode. Mexiko City tertolong karena struktur tanah menyaring getaran itu. Proses menyaring itu terjadi karena adanya lapisan yang berbeda, seperti kerikil, pasir, dan tanah liat. Lapisan tersebut terbentuk karena Meksiko, dulunya, merupakan dasar sebuah danau yang dikelilingi bukit karang - persis seperti Kota Bandung. Adalah longsoran tebing dari bukit di sekelilingnya yang kemudian menimbun danau hingga menjadi dataran kering. Tentu saja timbunan itu bukan lapisan yang keras, melainkan gembur. Ketika getaran gempa tiba di daerah perbatasan lapisan tanah yang berbeda, sebagian gelombang getaran dipantulkan. Ada yang pantulannya menyebabkan getaran teredam (interferensi destruktif), ada pula yang justru memperkuat (interferensi konstruktif). Dalam kasus Meksiko, getaran yang diperkuat adalah yang periodenya 2 detik. Itulah sebabnya gedung Latin American Tower, 37 tingkat, tak mengalami banyak kerusakan, sekalipun bangunan yang didirikan pada 1950-an ini terletak di daerah yang paling besar guncangannya. Soalnya, periode alamiah gedung ini 3,7 detik. Dari pengalaman itu, para ahli sepakat bahwa perlu diadakan penelitian mendalam tentang periode alamiah berbagai kota-kota di dunia. Dengan demikian, di kota tersebut dapat diketahui gedung tingkat berapa yang aman dan tingkat berapa yang tidak. Soalnya, telah terbukti bahwa gedung lebih rendah tak selalu berarti lebih tahan terhadap gempa. Yang juga disepakati adalah bentuk gedung yang dianggap ringkih. Yaitu, bangunan berbentuk asimetris, seperti Hotel Indonesia, Jakarta gedung yang bagian bawahnya lowong dan bagian atasnya bersekat banyak, seperti hotel atau flat juga bangunan bertingkat yang berdekatan satu sama lain. Masalahnya, bila tak bangunan sama tinggi, arah goyangnya bisa berbeda hingga saling menghantam. Selain itu, terbukti pula bahwa bangunan tahan gempa adalah yang fondasinya terletak pada silinder baja, karena fondasi semacam itu mampu meredam getaran. Cuma saja harganya mahal. Bangunan Surabaya Delta Plaza, misalnya, harus menyisihkan 30 persen dari biaya pembangunan, yang diperkirakan sekitar Rp. 100 milyar, untuk struktur tahan gempa itu (TEMPO, 21 September 1985). Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini