Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOM yang menggelegar di depan Kedutaan Besar Australia pada 9 September lalu telah menghancurkan apa saja, termasuk kerumunan manusia, di sekitar lokasi. Mereka yang hancur dan terluka segera dibawa ke rumah sakit, lalu keluarlah angka resmi korban: 9 meninggal dan lebih dari 180 luka-luka. Sebagian besar korban yang terluka telah boleh pulang. Namun derita para korban yang selamat (survivor) bukan hanya disebabkan oleh luka fisik. Masalah yang jauh lebih serius justru luka psikis yang tidak kasatmata.
Sebagai kejadian yang luar biasa, bom Kuningan, seperti bom JW Marriott, bom Bali, dan puluhan bom lain di Indonesia, dapat mengakibatkan trauma psikis yang mendalam bagi korban yang selamat. Orang yang dibekap trauma akan mengalami gejala seperti mimpi buruk yang berulang, ketakutan oleh bayangan mengerikan yang terus-menerus hidup dalam pikiran, selalu tegang, dan mudah kaget. Para survivor akan kaget dan ketakutan bahkan hanya jika mendengar suara ketukan pintu. Gejala itu dalam terminologi psikiatri dikenal sebagai post-traumatic stress disorder (PTSD).
Trauma dapat berakibat serius. Penderita dapat mengalami penurunan kinerja, gangguan dalam kehidupan rumah tangga, serta perubahan perilaku. Mereka yang tadinya periang dan percaya diri bisa berubah menjadi pemurung dan khawatir terus-menerus. Semua gejala ini bisa menetap untuk jangka waktu lama. Jangan heran jika hingga kini sebagian survivor bom Bali yang meledak dua tahun lalu masih menjalani sesi-sesi grup terapi dan pengobatan psikiatris. Begitu juga para korban yang selamat dari ledakan bom JW Marriott tahun lalu. Trauma psikis tetap dirasa meski luka fisik telah mengering dan fungsi tubuh telah kembali sempurna.
Semakin dekat seseorang ke lokasi ledakan, semakin besar kemungkinan terkena trauma. Dipercaya lebih dari 50 persen mereka yang terluka akibat bom akan menderita gejala-gejala psikis. Sedangkan 30 persen dari korban yang tidak terluka tapi berada di lokasi, menyaksikan banyak hal yang mengerikan, serta mendengar suara menggelegar dan jerit mematikan punya potensi untuk mengalami trauma. Ruang hancur, lingkungan porak-poranda seketika, dan pandangan yang mengerikan yang muncul seketika adalah perubahan yang sangat dramatis yang berada di luar jangkauan orang untuk mengatasinya.
Sayang, data mereka yang menderita trauma tidak pernah dilaporkan dan kerap diabaikan. Dokter di unit gawat darurat dan ruang perawatan cenderung menunggu munculnya gejala-gejala psikiatris yang berat, baru kemudian melibatkan psikiater. Pemerintah dan penyedia layanan kesehatan tidak punya program yang jelas. Bahkan survivor pun kadang tidak menyadari masalah serius yang dihadapi dan jarang mencari pertolongan untuk masalah ini.
Kita tahu kesadaran masyarakat akan kesehatan mental masih rendah. Orang sering menganggap masalah luka psikis akibat peristiwa traumatis hanyalah pencerminan dari jiwa yang lemah serta sikap yang kurang pasrah. Orang juga menganggap luka psikis sebagai keadaan yang seharusnya bisa diatasi oleh diri sendiri. Padahal problem mental yang timbul setelah ledakan merupakan reaksi yang normal yang bisa timbul pada semua orang. Dan mereka yang mengalami keadaan ini memerlukan pengobatan profesional serta dukungan keluarga dan lingkungan untuk dapat kembali ke kehidupan normal.
Kaum profesional dalam bidang kesehatan jiwa seharusnya terlibat sejak awal dalam pengobatan survivor yang mengalami luka-luka. Mereka bisa proaktif melakukan skrining pada korban. Pengobatan sedini mungkin sangat penting untuk mencegah berkembangnya luka psikis menjadi serius.
Ketika keadaan telah tenang, biasanya akan banyak survivor yang datang berobat dengan keluhan fisik seperti pusing, sakit kepala, mual, serta sesak dan nyeri dada. Para dokter diharapkan sensitif terhadap luka psikis yang dialami survivor dan tidak keliru dengan hanya berfokus pada keluhan fisik dan mengabaikan keterkaitan dengan peristiwa traumatis tersebut.
Karena rendahnya pengetahuan orang tentang trauma psikis, perlu diberikan informasi yang cukup bagi berbagai kalangan, terutama bagi para survivor, untuk membantu mereka mengerti apa yang dialami. Pemerintah juga dapat menyediakan akses yang mudah bagi survivor untuk mendapatkan pertolongan.
Proses penyembuhan trauma bisa berlangsung lama dengan menggunakan beberapa pendekatan, termasuk dengan pengobatan dan psikoterapi. Kadang dibutuhkan perawatan rumah sakit bagi yang sangat menderita. Dalam keadaan yang lebih baik, penderita bisa dibantu lewat konsultasi dan psikoterapi dengan teknik cognitive-behavioral therapy. Program-program grup terapi sesama korban pun bisa dilakukan dan menjadi bagian yang penting dalam proses pemulihan.
Yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan keluarga dan lingkungan kerja. Sikap empatik dan tidak merendahkan atau mengecilkan penderitaan para survivor akan membantu mereka menemukan kepercayaan diri, mengusir bayangan menakutkan, dan akhirnya menutup dan menghilangkan luka selamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo