Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang-orang yang memasang bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta itu (pekan kedua bulan ini) bukan orang jahat. Juga yang di Hotel Marriott maupun di Bali sebelumnya. Karena itu cap seperti "tindakan keji" yang dilemparkan kepada mereka hanya bisa dipahami kalau dilihat dari sisi korban: betapa daging tercabik-cabik, betapa anak menjadi buta atau lumpuh, betapa nyawa-nyawa melayang. Tapi tidak dari segi niat. Tidak sama dengan mereka yang melakukan mutilasi: memotong-motong mayat menjadi tiga belas atau sekian belas bagian, memasukkannya ke dalam beberapa kantong plastik dan membuangnya secara tersebar-sebar. Juga tidak sama dengan Sumanto atau siapa pun yang memakan daging mayat untuk tujuan kekebalan atau "ilmu" tertentu.
Orang-orang itu merasa perbuatan mereka mulia. Karena itu tuntutan agar mereka dihukum seberat-beratnya tidak relevan. Karena para pelaku itu sudah hancur. Artinya, mereka tidak takut mati: daging mereka berceceran tersangkut di pagar-pagar. O, bagaimana kalau dalangnya saja? Dr. Azahari dan Noordin Mohammad Top? Saya kira mereka juga tidak takut mati. Hanya mereka belum ditugaskan, atau menugaskan diri, untuk itu.
Lihat saja istilah "pengantin" yang digunakan untuk petugas pelaksana pengeboman atau eksekutor lapangan. "Pengantin" adalah ungkapan yang tumbuh dari keyakinan bahwa orang yang gugur syahid langsung dijemput bidadari. Orang yang maju dalam perang agama bisa menyimpan romantisme itu di bawah sadarnya, sebagai salah satu pilihan. Tengku Panthe Kulu menuliskan itu dalam Syair Perang Sabi di zaman Tengku Chik di Tiro melawan Belanda. Dan pilot serta para awak teroris dalam pesawat legendaris 11 Sep-tember di Amerika boleh membayangkan itu di detik-detik terakhir, di tengah kepanikan penumpang yang di kepala mereka lalu terdengar lamat-lamat, ketika dada berguncang keras dan pesawat menubruk gedung.
Hanya sedikit beda antara mati dan tidak mati. Terlalu sedikit, bahkan, untuk disikapi dengan kegemparan luar biasa. Itulah pedoman untuk semua teroris. Dan, menariknya, itu juga pedoman untuk semua orang beriman—khasnya lagi di dalam agama yang mempunyai ajaran jihad.
Jihad? Memang. Dan bentuk terakhir jihad itu sesuatu yang memang bisa membingungkan. Bunuh diri. Bagaimana bunuh diri (sambil membunuh banyak orang lain) bisa dibenarkan, dalam agama yang begitu menghargai hidup? Lihat Al-Quran surat 5:32: "Oleh sebab itu Kami tuliskan atas Bani Israil, barangsiapa membunuh satu jiwa bukan lantaran satu jiwa atau pengrusakan di muka bumi maka seakan ia telah membunuh manusia kesemuanya, dan barangsiapa menghidupinya maka seakan ia menghidupi manusia kesemuanya." Padahal Nabi Besar juga mengajarkan bahwa siapa saja yang membunuh diri sendiri akan merasakan kesakitan pembunuhan itu terus-menerus sampai hari kiamat. Tetapi Yusuf Qardhawi, ulama yang banyak dibaca, bisa menerima bom bunuh diri model Palestina dan memutuskannya sebagai bukan tindakan intihar (mencari mati), melainkan istisyhad (mencari syahid).
Memang. Dalam perang di zaman Rasul, seorang sahabat, yang baru masuk Islam, berdiri di pinggir medan bersama beliau, mengunyah kurma. Ia bertanya, "Bagaimana, ya Rasulullah, kalau saya menyerbu ke sana, dan terbunuh? Apakah saya masuk surga?" Nabi menjawab, "Ya." Maka ia membuang kurmanya, melompat ke punggung kudanya, menghambur ke posisi musuh, berperang, dan gugur. Bagaimana pula dengan tindakan sekelompok tentara Al-Qaidah di atas bukit, yang diguyur meriam otomatis dari bawah? Mereka turun menyongsong peluru untuk menyelamatkan sebagian besar kawannya di atas dengan berusaha membungkam meriam itu, dan bertumbangan sebelum sebagiannya bisa sampai ke persenjataan lawan. Itu semua istisyhad, tentunya, dalam pengertian Qardhawi.
Memang masih bisa didebat. Baik sahabat Nabi maupun prajurit Al-Qaidah itu sebenarnya masih punya kemungkinan hidup. Dan yang masih punya kemungkinan hidup bukan bunuh diri. Tetapi pemuda yang mengikatkan bom ke tubuhnya, dan meledakkannya di tengah kerumunan orang, sungguh berbeda. Atau yang membenturkan kapal terbang ke tembok raksasa.
Tapi situasi di Palestina itu sedemikian rupa. Israel yang congkak, dan ketidakadilan Amerika Serikat (dan Barat) yang membelanya, itu membikin gumpalan besar rasa putus asa, yang sejatinya hanya bisa dirasakan anak-anak sebangsa, menyebabkan orang berpikir bahwa kalau memang ada ajaran jihad dalam Quran, maka di Israel itulah ajangnya sekarang ini—dan dengan cara-cara mutakhir.
Qardhawi sendiri bisa menerima istisyhad model bom itu hanya untuk dipraktekkan di Israel. Dan alasan pembenarannya untuk membunuh warga sipil Israel lalu terdengar sangat formalistis: dalam undang-undang negara itu, semua warga adalah prajurit. Benar, itu memasukkan kemungkinan teoretis terbunuhnya ibu-ibu dan bayi-bayi secara halal. Dan di sini tidak semua orang setuju—kecuali kalau itu disebut eksplisit sebagai kekecualian—justru bila didasarkan pada etika perang dalam aneka hadis Nabi.
Apalagi kalau bom itu meledak di luar Israel. "Kalau mau melawan pemerintah Australia, jangan di sini. Tapi di sana, di negaranya," kata tukang ojek yang membawa saya. Ia menganggap meledakkan bom di halaman Kedubes Australia itu perbuatan bodoh. "Yang mati saudara-saudaranya sendiri, orang-orang kecil seperti saya," kata pemuda berjanggut ini, yang ternyata simpatisan Partai Keadilan Sejahtera. Memang: yang mereka buat kacau-balau, dan menjadi tidak aman, justru Indonesia, negara muslim pula.
Kita memang bertanya-tanya, di manakah tempat "pusat doktrin" yang mengajarkan mengobrak-abrik negeri orang atas nama negeri asing itu. Ataupun yang menyuruh memusnahkan gereja-gereja, sementara ayat Quran jelas menyatakan, "Kalaulah bukan lantaran Allah mempertahankan sebagian manusia dengan yang sebagian, sudah dihancurkan biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog, dan masjid-masjid, tempat nama Allah disebut banyak-banyak" (Al-Quran surat 22:40).
Abu Bakar Ba'asyir, yang masih saja dikaitkan dengan kasus pengeboman Bali dan Marriott, dulu mengatakan bahwa membantai "orang-orang kafir yang tidak ikut berperang" (para turis asing yang sedang bergengsot di Bali) tidak dibenarkan ajaran Islam. Dan terakhir kemarin ia menyebut Amerika tidak bisa dilawan dengan kekerasan, melainkan "dengan politik". Ja'far Umar Thalib, bekas komandan Laskar Jihad yang dulu beroperasi di Ambon, malahan pernah mengaku sudah berbicara dengan Usamah bin Ladin yang saleh itu, dan mendapati bahwa "pengetahuan agamanya nol". Nah. Di manakah pusat pengajaran Islam yang "nol" itu?
Sering orang menengok Malaysia—yang umumnya dinilai lebih rendah tingkat pengetahuan agamanya dibanding Indonesia (para ustad kita mengajar di sana, juga buku-buku, dan bukan sebaliknya)—tanah air Azahari maupun Noordin Top. Tapi tentu diingat pula, banyak aktivis kekerasan di Indonesia yang lulusan Afganistan atau, persisnya, pesantren-pesantren di pinggiran barat Pakistan—yang keras, militan, dan tidak mengenal pemikiran. Dari ma'had seperti itu pula anak-anak Taliban, bahkan pemimpin puncak mereka, Muhammad Umar yang santun, berasal.
Dari mana pun mereka bersumber, yang moga-moga sudah jelas ialah bahwa jumlah para pengantin darah itu sebenarnya kecil sekali, sangat kecil sekali. Memang, itu adalah puluhan atau ratusan orang (di seluruh Tanah Air) yang terpencil, berakhlak baik, dan sangat berbahaya. Patut ditekankan lagi bahwa sumber masalah mereka, akar-akarnya, tak lain agama juga. Maka biarlah kalangan ulama yang memutuskan tindakan. Mereka bisa meningkatkan dakwah terhadap kesalahan besar yang melahirkan para pengantin darah semacam itu. Atau, bisa juga selalu mengambil jarak aman, dan tidur (sebelum kaget oleh letusan bom).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo