SUATU hari di Kebun Binatang New York, pada musim panas 1981,
Ketua Perhimpunan Burung Indonesia (PBI) Kamil Oesman tiba-tiba
tersentak kaget. Ia mendengar kicauan burung yang pernah akrab
di telinganya. "Rasanya, waktu itu, saya berada di Pulau Bali,"
katanya.
Tak heran memang. Kicauan yang menggelitik kuping Kamil itu
adalah suara Jalak Bali -- satwa yang di habitat aslinya
diperkirakan tinggal 280 ekor lagi.
Menciutnya jumlah satwa endemik yang tadinya hanya bisa dijumpai
di pulau dewata, telah menyesakkan napas para penyayang
binatang. Dari Munas IV Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia
di Surabaya, dua pekan lalu, terdengar suara lirih: "Populasi
Jalak Bali di tanah air kita sudah sekarat. Tapi di luar habitat
aslinya makal meningkat."
Termasuk dalam suku Sturniade, bagian dari bangsa Passeriformes,
tubuhnya Jalak Bali yang diselaputi bulu putih tidak terlalu
besar. Paruhnya berwarna kuning. Dan di kepalanya terdapat
kuncir gilik yang makin mempercantik penampilannya. "Sehingga
banyak orang Amerika mengimpor burung tersebut ke sana sebelum
perang dunia kedua," ujar Kamil Oesman.
Diperkirakan jumlah Jalak Bali di AS yang tersebar di beberapa
kebun binatang dan di rumah perorangan, mendekati ribuan ekor.
Berkembang-biaknya satwa langka ini di tanah orang dikarenakan
mereka ditempatkan di habitat buatan yang temperatur maupun
suasananya dibuat seperti daerah tropis. Sehingga burung-burung
itu merasa berada di hutan Taman Nasional Bali Barat -- habitat
asli mereka. Sebaliknya di tempat aslinya. Satwa lindung ini
justru banyak diganggu manusia. Pengrusakan hutan yang
semena-mena, ditambah lagi dengan pemakaian pestisida di sawah
di sekitar hutan lindungan yang mengakibatkan matinya santapan
burung itu, telah membuat hidup mereka terjepit. Kemudian, masih
banyak orang Bali, bahkan ada juga yang datang dari Banyuwangi,
menangkapi burung Jalak Bali untuk diperdagangkan.
Merosotnya populasi Jalak Bali di habitat aslinya telah
mengugah Perhimpunan Burung Internasional (ICBP) untuk campur
tangan. Sebelum akhir tahun mereka akan mengirimkan 100 ekor
Jalak Bali, yang dikumpulkan dari berbagai tempat di AS, ke
Indonesia. Selain itu ICBP juga akan menyumbang dana Rp 20 juta.
Persiapan untuk menerima Jalak Bali "Indo" itu telah dilakukan.
Tapi tampak tak mudah. Sebab Jalak Bali kelahiran AS itu sifat
dan tingkah lakunya berbeda dengan Jalak Putih yang masih hidup
di habitan aslinya. Lai pula, karena terbiasa hidup di sangkar
kebun binatang, mereka mudah ditangkap. Akhirnya disepakati
untuk membangun sangkar raksasa, sebagai tempat transit Jalak
Bali "Indo", di Pulau Menjangan.
Dipilihnya Pulau Menjangan sebagai tempat transit Jalak Bali
dari AS dikarenakan ekosistem kawasan itu tidak jauh berbeda
dengan Bali Barat. Yang lebih penting tempat itu hampir tak
pernah diganggu manusia.
Tapi gagasan itu ternyata tidak murah. Menurut perhitungan Ir.
Kurniarto dari Sub Balai PPA Bali, diperlukan biaya sekitar Rp
110 juta rupiah. Belum termasuk harga sangkar raksasa buat
burung-burung itu. Sebab saat ini Pulau Menjangan, luasnya 160
hektar, sangat menyedihkan. Diperkirakan 90% vegetasi yang
mendukung kehidupan Jalak Bali di sana dalam keadaan rusak.
Sehingga perlu ditanami dengan beberapa pepohonan, seperti
pilang (Acasia lecophloea), kepuh (Sterculia foetida), sawo
kecik (Manilkara kauki), dan beberapa jenis vegetasi mangrove
lainnya. "Pokoknya rehabilitasi Pulau Menjangan itu akan
mengikuti pola habitat asli burung tersebut," kata Ir.
Kurnianto. Pulau Menjangan yang tak bermanusia itu dihuni oleh
22 ekor rusa dan beberapa jenis burung kecil.
Bila nanti Jalak Bali "Indo" itu dapat beradaptasi dengan
habitat barunya, maka hasil penangkaran (breeding) di Pulau
Menjangan tersebut akan dilepaskan ke alam bebas. Semua peserta
Munas yakin rencana pengembalian Jalak Bali "Indo" ke habitat
aslinya akan berhasil. "Kalau di sangkar Kebun Binatang New York
bisa, mengapa di Pulau Menjangan tidak?," kata seorang peserta
Munas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini