PENYEBAB utama hancurnya sebuah bangunan ternyata bukan oleh
bahaya kebakaran atau angin ribut, tapi rayap. Walau begitu,
sampai saat ini belum terdengar ada orang mengasuransikan
bangunannya dari bahaya rayap. Bahkan kehadiran serangga kecil
ini sering dianggap sepele.
Itulah, antara lain, kesimpulan sementara Diskusi Pencegahan dan
Penanggulangan Bahaya Rayap pada Bangunan di Gedung Wijoyo,
Jakarta, dua pekan lalu. Diskusi ini diselenggarakan atas kerja
sama Direktorat Tata Bangunan Direktorat Jenderal Cipta Karya
Departemen PU dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Berbagai ketakutan tentang rayap dilontarkan dalam diskusi.
Insinyur Yusuf Hadioetomo, M.Sc., misalnya, menyodorkan kerugian
karena keganasan rayap di Amerika Serikat pada tahun 1967.
Jumlahnya ditaksir US$ 350 juta," ujar Yusuf yang mewakili Shell
International Chemical, Jakarta.
Di Indonesia belum ada angka kerugian bahaya rayap secara
nasional. Yang tercatat cuma pengeluaran beberapa perusahaan.
Hotel Indonesia, Jakarta, pada tahun 1982 menghabiskan Rp 60
juta hanya untuk pengendalian rayap di bangunan utamanya. Hotel
Bali Beach Sanur, mengeluarkan Rp 25 juta. "PT HII memperkirakan
mereka perlu dana Rp 500 juta lagi untuk memerangi rayap di
berbagai hotel yang dikelolanya" kata Yusuf. PT HII mengelola
enam hotel bertaraf internasional.
Bagaimana dengan rumah rakyat? Pusat Penelitian dan Pengembangan
(Puslitbang) Hasil Hutan Departemen Pertanian yang pada 1982
meneliti 124 rumah rakyat di Jawa Barat memperoleh angka 92,7%
rumah lapuk diserang serangga. Dari jumlah itu, 47,6% diserang
rayap kayu kering dan 21% diserang rayap tanah. Ir. Abdurahim
Martawiiaya, yang mengungkapkan hal itu, juga menunjuk hasil
penelitian terhadap 350 rumah Perumnas di delapan lokasi di Jawa
Barat, awal tahun ini. "Hasil sementara menunjukkan, 67% dari
rumah Perumnas itu diserang rayap kayu kering dan 23% diserang
rayap tanah," kata Abdurahim.
Ternyata bukan cuma bangunan saja yang keropos oleh rayap. Di
Darwin, Australia, 1942, rayap sempat menghebohkan penduduk
setempat. Suatu pagi seorang penjaga rumah hiburan menemukan
bola bilyar di tempatnya bekerja hancur dimakan rayap. Rayap
yang menakutkan itu, cara berkembang biaknya amat menakjubkan.
Induk rayap dalam sehari menghasilkan 300.000 butir telur. Di
daerah tropis, seperti Indonesia, hidup 200 jenis rayap -- 120
di antaranya rayap yang menyerang kayu. "Bila ada celah selebar
0,4 mm saja, sudah cukup bagi rayap untuk awal
penggerogotannya," tulis Dr. Nana Supriana dari Puslitbang Hasil
Hutan dalam makalahnya. Ia menambahkan, jika kayu itu
berhubungan langsung dengan tanah, maka proses keroposnya lebih
cepat.
Diskusi itu, yang dihadiri 70 ahli dari berbagai instansi
pembangunan rumah, mengkaji berbagai cara yang terbaik untuk
menanggulangi bahaya rayap. Yusuf Hadioetomo mengemukakan,
pemberantasan selama ini dilakukan dengan penyemprotan
insektisida. "Usaha itu memang menunjukkan hasil yang efektif,
tapi jenis insektisida yang dipakai hendaknya yang sudah
direkomendasi Komisi Pestisida," katanya. "Di Indonesia
insektisida yang sudah terdaftar pada Komisi Pestisida hanya dua
buah, yakni deildrin dan chlordane."
Tapi Ketua IAI, Ir. Hario Sabrang, mengingatkan insektisida
bukan tak ada bahayanya. Racun ini dapat menghancurkan serangga
apa saja -- termasuk semut. "Padahal, semut adalah musuh utama
rayap. Di mana ada semut di sana pasti tak ada rayap," katanya.
Bagaimana menggunakan insektisida tanpa merusakkan lingkungan?
"Penyemprotan insektisida bukan di sembarang tempat dan hanya
dimaksudkan untuk meracun tanah yang dipakai lokasi bangunan
saja," kata Yusuf. Lokasi yang diracun itu nantinya akan
berfungsi sebagai rintangan kimiawi antara tanah dan bangunan.
"Penanggulangan bahaya rayap itu dilakukan pada masa
prapembangunan," tambahnya.
Apakah penyemprotan itu tidak akan mengganggu sumur. Yusuf tak
merasa khawatlr. Ia mengutip penelitian yang pernah dilakukan di
Amerika Serikat. Merambatnya racun insektisida pada tanah hanya
beberapa inci setelah 20 tahun berselang. Jika jarak sumur lima
meter saja dari pondasi bangunan terdekat, keracunan baru
terjadi setelah ratusan tahun. "Itu pun masih dipertanyakan
apakah racun pada tanah itu masih efektif," ujar Yusuf.
Mengenai pengendalian rayap kayu kering, proses yang disodorkan
Yusuf hampir sama: peracunan kayu sebelum dipakai pada bangunan.
Caranya, melalui proses pengawetan denan sistem pencelupan,
perendaman, peleburan, dan penyemprotan. "Untuk bangunan yang
telah berdiri pengendalian rayap kayu kering dapat dilakukan
dengan menggunakan sejenis gel beracun atau memasukkan larutan
insektisida ke dalam lorong-lorong yang dibangun oleh rayap,"
ujar Yusuf.
Kayu di Indonesia ternyata punya kelemahan yang memprihatinkan:
mudah diserang rayap maupun jamur. Dari hasil penelitian Pusat
Litbang Hasil Hutan tercatat, dari 4.000 jenis kayu yang
terdapat di negara kita, hanya 15 sampai 20% yang memiliki daya
tahan tinggi terhadap serangan rayap dan jamur.
Hasil penelitian ini didukung fakta di lapangan yang diungkapkan
Ir. An'Amta Djamhari, Kepala Seksi Penyusunan Program, Dinas
Kehutanan DKI Jakarta. Ia menyebut, hasil pelacakan khusus
tentang analisa kayu yang dilakukan di berbagai proyek di
Jakarta, menunjukkan kualitas kayu yang digunakan pemborong
termasuk kayu berkualitas rendah. "Kayu-kayu itu dipakai untuk
kusen maupun kaso dan tidak diawetkan, sehingga tidak tahan
serangan rayap," kata Djamhari. "Dalam hal ini Pemerintah Daerah
DKI Jakarta telah dirugikan oleh pemborong."
Sasaran diskusi, yang forumnya dinamai Fosko 83, adalah agar
suatu saat nanti pemerintah mengeluarkan peraturan yang
mengharuskan adanya sistem pengendalian rayap bagi setiap
bangunan yang didirikan. Karena, seperti yang dilantarkan
seorang peserta diskusi, serangan rayap lebih sulit
ditanggulangi daripada bahaya kebakaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini