Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menapak Kerusakan di Jejak Petualang

Warisan Wallace itu mulai porak-poranda. Bukan oleh alam, tapi oleh ketamakan manusia.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan camar laut melayang-layang di angkasa, seperti mengepung pinisi yang berlayar lambat. Siang pada awal Juni itu, cuaca sedang ramah. Langit cerah, gelombang tenang. Di haluan, terbentang sebuah pulau kecil: Pulau Kakabia. Inilah pulau mini seluas 1,5 kilometer persegi. Di peta, Kakabia hanya satu noktah di antara Laut Flores dan Laut Banda. Dengan pinisi Cinta Laut yang sarat anggota tim ekspedisi dan muatannya, noktah ini bisa ditempuh dalam sepuluh jam dari Pulau Bonerate, Sulawesi Selatan. Pinisi itu makin melambat saat matahari mulai doyong ke barat. Dari geladak, ketua tim ekspedisi, Widodo Setiyo Pranowo, ahli kelautan dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, memerintahkan satu tim kecil mendarat. Perahu karet pun dilepas, menyelusup di sela bebatuan karang sebelum menyentuh bibir Pulau Kakabia. Bau kotoran burung menyambar hi-dung ketika anggota tim mulai masuk pulau menjelajahi hutan. Luar biasa, ribuan burung berkeliaran bebas. Mereka sesekali menyemprotkan kotorannya dari atas, seolah tak peduli serombongan kecil manusia mengamati di bawah. Di semak-semak, tikus abu-abu mengintip takut-takut. ?Se-mua itu membuat saya mengingat Wallace,? kata Widodo. Ya, Alfred Russel Wallace, nama lengkapnya, adalah biolog sekaligus petualang asal Inggris yang mengilhami ekspedisi pimpinan Widodo ini. Satu setengah abad lalu, Wallace (1823-1913) mendarat di Singapura. Nalurinya sebagai biolog menangkap keanehan dalam pola penyebaran spesies di Nusantara. Ia misalnya melihat di Papua banyak cenderawasih, tapi tak satu pun terlihat di Sumatera. Di Maluku, terlihat banyak kakaktua berbulu indah, tapi burung sejenis ini tak ada di Kalimantan. Begitu pula gajah ada di Sumatera, tapi tak muncul di Sulawesi. Sebaliknya, kerbau mini anoa dan burung maleo ada di Sulawesi, tapi tak ada di tempat lain. Itu semua yang menggugah rasa penasaran Wallace. Maka, pada April 1854, dia memulai ekspedisinya menjelajahi Nusantara. Selama delapan tahun, Wallace mengembara dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Hasilnya, dia menemukan 125 ribu spesimen flora dan fauna. Petualangan Wallace sempat terhambat pada 1858 ketika ia terserang demam dan harus beristirahat di Ternate, Halmahera. Di sela-sela waktu menunggu kesembuhan, dia menulis surat kepada bapak teori evolusi Charles Darwin. Kepada penulis buku The Origin of Species itu, Wallace bertutur bahwa seleksi alam adalah metode utama, bahkan mungkin satu-satunya metode, yang dapat menerangkan keberagaman flora-fauna Nusantara dan belahan bumi lainnya. Kelak, setelah menyelesaikan petualangannya, Wallace meninggalkan warisan yang kini kita kenal sebagai ?Garis Wallace?. Inilah garis imajiner yang menandai wilayah biogeografi, membentang dari Filipina ke Selat Makassar dan berakhir di Selat Lombok. Garis ini memisahkan secara zoogeografis wilayah Sumatera, Jawa, dan Kalimantan di sebelah barat dengan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua di sebelah timur. Menurut garis ini, flora-fauna di wilayah barat cenderung mirip dengan flora-fauna Benua Asia. Sedangkan spesies di wilayah timur mirip dengan spesies di Benua Australia. Ia membukukan semua ini dalam The Malay Archipelago, sebuah babon rujukan penting bagi peneliti flora-fauna hingga sekarang. Setelah Wallace, tak pernah lagi ada ekspedisi dengan skala yang sama besarnya. Identifikasi keanekaragaman hayati Indonesia pun terhenti. Inilah yang mendorong lahirnya Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004, sebuah ekspedisi kecil yang memusatkan penelitian di sekitar perairan Sulawesi. Sementara Wallace berfokus pada daratan, ekspedisi yang digagas Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri ini lebih menelisik lautan, sumber harta karun raksasa bagi keanekaragaman hayati. Tim dalam pinisi Cinta Laut itu adalah salah satu bagian ekspedisi ini. Di Pulau Kakabia, tim survei Widodo sibuk mendokumentasikan semua hal menarik yang mereka lihat. Saat senja turun, semua anggota tim kembali ke geladak Cinta Laut. Di sini, catatan dokumentasi kembali dibuka: Kakabia tak punya sumber air tawar atau pohon kelapa; penghuninya ribuan burung dari berbagai jenis. Keesokan paginya, tim ini telah siap untuk memulai pendataan karang laut. Dan kali ini para peneliti yang menyelam harus menelan kekecewaan: di kedalaman 3 hingga 7 meter, hampir semua karang rusak berat. Kekayaan laut itu hancur bukan oleh proses alam, melainkan akibat pengeboman oleh nelayan. Tak ada karang warna-warni, apalagi sponge yang melambai-lambai. Terumbu itu gundul sudah. Untunglah, di kedalaman lebih dari 10 meter, aneka karang lunak dan keras masih tak terganggu. Sponge raksasa warna-warni menggapai-gapai, dari yang mungil hingga yang berukuran raksasa. Turun lebih jauh, pemandangan lebih eksotis. Ratusan ikan bergerombol, di antaranya barakuda (Sphyraenidae), ikan kakaktua (S. hypselopterus), dan ikan buntal tutul putih, termasuk si pemurung lion fish?temuan yang cukup menghibur dibandingkan dengan kehancuran karang akibat pengeboman. Kerusakan alam di Garis Wallacea sebetulnya sudah disadari sejak 1995. Ketika itu, digelar Operasi Wallacea selama tiga tahun dengan dana dari program The HongkongBank Care-for-Nature. Inilah sebuah proyek kerja sama antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wallacea Development Institute, dan Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Penelitian berfokus pada biota laut di wilayah Kepulauan Tukang Besi, Buton, Sulawesi Tenggara. Mark Erdmann, salah seorang anggota tim peneliti ketika itu, menuturkan betapa kondisi bawah laut yang mengagumkan sudah mulai bopeng di sana-sini. Aktivitas manusia yang membuang limbah langsung ke laut, perburuan sirip hiu, serta pengeboman dan penggunaan sianida untuk menangkap ikan sudah jamak. Untuk menahan laju kerusakan, digagaslah pembentukan Taman Nasional Kepulauan Tukang Besi. Belakangan, ide serupa muncul untuk Kepulauan Wakatobi di dekat Kepulauan Tukang Besi. Toh, kerusakan sudah terjadi dan terumbu karang perlu ratusan tahun untuk memulihkan kondisinya. Sore itu, menjelang akhir ekspedisi, tim peneliti di Cinta Laut mengumpulkan semua dokumentasi yang dapat dibuat. Ini hanya langkah kecil dibandingkan dengan apa yang dilakukan Wallace. Tapi langkah sekecil apa pun harus dilakukan demi mencegah kerusakan yang lebih parah. Andai Wallace berada di geladak Cinta Laut, mungkin dia akan menulis surat kepada Darwin dan berkata: Temanku Darwin, engkau benar, seleksi alam adalah metode utama untuk menjelaskan keanekaragaman spesies. Tapi, perlu engkau tahu, manusia jugalah perusak utama spesies itu. Salam. Agus Hidayat, Bobby Gunawan (Ekspedisi Wallacea Indonesia 2004)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus