Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Uni Eropa Menjadi Kekuatan Politik Global?

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Makarim Wibisono Pemerhati masalah politik dan ekonomi

Pemilu Parlemen Eropa tanggal 10-13 Juni 2004 telah memberikan citra baru Eropa, karena merupakan pemilihan demokratis terbesar di dunia setelah India, dan diikuti sekitar 343.657.800 pemilih. Perkembangan proses integrasi Eropa ini merupakan kelanjutan dari masuknya 10 negara sejak 1 Mei 2004, sehingga Uni Eropa (UE) berjumlah 25 anggota. Perluasan keanggotaan UE—yang berjalan lebih jauh dari apa yang telah dibayangkan Menteri Luar Negeri Prancis Robert Schuman, pencetus gagasan UE pada 1950—telah mendorongnya ke arah posisi global yang strategis. Hal ini diakui sendiri oleh Menteri Luar Negeri AS Colin Powell, yang mengatakan, "Meeting the challenges of the 21st century rests to a large degree on a broad, strong and lasting partnership between Europe and the United States."

Perluasan UE—pada 1951 hanya enam negara: Belgia, Belanda, Jerman, Prancis, Italia, dan Luksemburg—telah membawa implikasi ekonomi, budaya, dan politik yang luas. Wilayah UE otomatis bertambah luas menjadi 4 juta kilometer persegi. Penduduknya berkembang dari 375 juta menjadi 550 juta jiwa. Ini lebih besar dari jumlah gabungan penduduk AS, Kanada, Meksiko, dan Australia. GDP UE juga berkembang menjadi sekitar US$ 10 triliun atau sekitar 28 persen dari total GDP dunia, dan pendapatan per kapita sekitar US$ 21.100 per tahun. Dari aspek kebudayaan, UE menjadi entitas budaya yang memiliki kebinekaan yang tinggi. Bahasa resmi yang tadinya hanya 11 menjadi 20 bahasa yang digunakan. Perluasan ini berpengaruh pada struktur lembaga politiknya. Parlemen Eropa dan Komisi Eropa kemudian membutuhkan lebih banyak anggota.

Memang benar, UE secara potensial memiliki peluang sebagai penentu politik dunia. Sejak Perang Dingin berakhir dan diluncurkannya mata uang euro pada 1999, telah terjadi proses pemusatan kegiatan ekonomi regional yang luar biasa, diikuti peningkatan perdagangan yang signifikan dalam tempo relatif singkat. Pergerakan lalu lintas modal, barang, dan orang berkembang cepat di Eropa, didukung oleh infrastruktur yang mapan. Euro menjadi mata uang cadangan dunia kedua terbesar setelah dolar AS dan merupakan sepertiga dari cadangan devisa di dunia. Skala ekonomi yang besar ini dapat menumpuk modal (rate of return) yang tinggi. Kenyataannya sekarang Eropa telah menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dunia yang terpandang (center of economic gravity). Pengaruh ekonominya melanglang buana ke Eropa Timur dan Afrika. Intensitas hubungannya tidak lagi hanya terfokus pada pola Trans-Atlantik tetapi juga ke wilayah lain, termasuk Trans-Pasifik. Sebagai contoh, perdagangannya dengan Cina meningkat cepat dan telah melampaui perdagangannya dengan AS. Nilai perdagangannya dengan Cina lima bulan pertama tahun ini mencapai US$ 65,7 miliar.

Melihat fakta tersebut, banyak pihak mengharapkan UE dapat berperan signifikan dalam kancah politik internasional. Sikap tegas Prancis dan Jerman—aktor utama UE—dalam serangan koalisi AS ke Irak diterima sebagai penyampaian pesan independensi yang menyegarkan. Timbul harapan bila UE mampu muncul sebagai kekuatan politik global yang baru, dunia bakal terhindar dari pergeseran politik internasional menuju sistem unipolar yang hierarkis.

Hambatan UE untuk bergerak sebagai kerja sama politik dan keamanan sebenarnya sudah dicoba diatasi dengan pembentukan The Common Foreign and Security Policy (CFSP). CFSP bergerak di bidang bantuan kemanusiaan dan peacekeeping. UE mengirim wakil khususnya ke Afganistan, Timur Tengah, Afrika, dan Macedonia untuk ikut serta mengusahakan perdamaian. Meskipun demikian, dibandingkan dengan kerja sama di bidang ekonomi, CFSP seperti berlari-lari di tempat saja. Ketidakberdayaannya mengatasi konflik di Kosovo sangat mengecewakan. Apa sebabnya? Karena hampir di setiap kerja sama ekonomi, UE mewajibkan semua anggota ikut serta, sedangkan dalam CFSP keanggotaannya lebih longgar dan dibenarkan untuk melakukan constructive abstention.

Hal ini tentunya guna menampung pemikiran yang masih tersisa bahwa integrasi Eropa di bidang politik dan keamanan dapat menghilangkan identitas kebangsaan dan hak nasionalnya untuk memerintah secara bebas. Masih ada ketakutan aspek-aspek khusus negaranya bakal diganti dengan keputusan kolektif UE. Ini menyentuh ikatan psikologis. Kalau AS dibentuk berdasarkan satu konstitusi mendorong bangsanya menjadi kohesif. Bagaimana kemungkinan kohesivitas UE yang berpaku pada serangkaian traktat yang dirundingkan dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Kebesaran Pax Britanica, Napoleon, dan Bismarck ternyata masih meninggalkan bekas-bekasnya sehingga kemungkinan UE menjadi kekuatan politik global bergantung pada kemampuannya menyerasikan national interest anggotanya dengan continental interest.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus