Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kasus Sipadan-Ligitan Jangan Terulang

Pencurian ikan di Laut Natuna Utara tidak hanya dipicu soal ekonomi. Pengalaman bersengketa dengan Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan.

28 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ipunk Nugroho Saksono, 25 Agustus 2021./Tempo/Abdul Manan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pencurian ikan di Laut Natuna tetap marak.

  • Ada banyak faktor mengapa nelayan Vietnam terus mencuri ikan di perairan Indonesia.

  • Apa yang akan dilakukan pemerintah Indonesia?

PERAIRAN Natuna kini bisa dikatakan “titik panas” karena menjadi lokasi yang paling banyak terjadi pencurian ikan oleh kapal asing. Pada 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap 46 kapal nelayan asing. Sebanyak 25 kapal ditangkap di Natuna. Tahun sebelumnya, dari 53 kapal asing yang ditangkap, 23 kapal berada di Natuna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua kapal asing yang ditangkap di Natuna berasal dari Vietnam. Menurut Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Pung Nugroho Saksono, pencurian ikan ini tidak hanya dipicu oleh soal ekonomi, tapi ada juga soal klaim wilayah. Berikut ini petikan wawancaranya dengan Tempo di kantornya, Rabu, 25 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah banyak kapal Vietnam yang ditangkap dan diadili karena mencuri ikan di Natuna. Kenapa seperti tidak jera?

Ini ada beberapa faktor. Pertama, di Vietnam sumber daya lautnya sudah rusak. Kapal-kapal yang ditangkap dari Vietnam itu pakai trawl atau pair trawl. Trawl saja sudah merusak. Pair trawl itu ditarik dengan dua kapal. Artinya kekuatan merusak terumbu karang lebih besar. Mereka kemudian menuju ke tempat yang ada terumbu karangnya. Yang termasuk masih bagus di Natuna.

Kedua, Laut Natuna Utara ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh kapal nelayan kita. Nelayan Natuna alat tangkapnya juga terbatas, yaitu pancing. Kementerian Kelautan dan Perikanan di bawah Pak Trenggono (Menteri Sakti Wahyu Trenggono) mengupayakan ada semacam relokasi kapal nelayan dari daerah yang sudah overfishing, seperti laut Jawa, ke sana. Relokasi itu saya yakin akan mengurangi beredarnya kapal asing di Natuna sehingga sumber daya ikan di sana juga termanfaatkan. Sebab, kehadiran kapal patroli itu terbatas endurance-nya.

Soal masuknya kapal Vietnam itu, apakah ada faktor soal tumpang-tindih klaim wilayah di perairan itu?

Di Laut Natuna Utara itu ada daerah yang diklaim oleh Vietnam karena dasar Landas Kontinen. Tapi, menurut zona ekonomi eksklusif (ZEE), itu masuk dalam wilayah kita. Ada perbedaan pengukuran. Indonesia menggunakan ZEE, yang diukur dari 200 mil di atas air dari pulau terluar. Kalau Landas Kontinen, dari dasar laut pulau terluar sampai palung habis. Ini harus ada pembicaraan tingkat tinggi. Dulu pernah kita alami begini. Ingat kasus Sipadan dan Ligitan? Itu kan wilayah Indonesia, tapi kita tidak mengelolanya. Jadi, ketika sidang di PBB, kita kalah. Kalau ini tak kita manfaatkan, itu akan terulang.

Bagaimana membedakan bahwa masuknya kapal asing itu memiliki motivasi ekonomi atau klaim wilayah?

Pertama, ada motif ekonomi. Kedua, kedaulatan. Mereka mencoba menerapkan kedaulatan mereka. Pengalaman kita dengan Malaysia (Sipadan dan Ligitan) jangan sampai terulang. Natuna itu menjadi area yang seksi. Bukan hanya ikan, banyak minyak. Ada blok minyak bumi dan gas di situ. Cina juga membuat blok di situ. Kenapa dulu dinamakan Laut Cina Selatan, sekarang Laut Natuna Utara? Saat memakai nama itu, mereka akan bilang, ini masih ada jejak nenek moyangnya. Sekarang kita pakai nama resmi Laut Natuna Utara.

Kalau dengan Cina, di mana sengketa wilayahnya? Selama ini apakah ada kapal nelayan Cina yang ditangkap?

Ada di nine-dash line. Sekarang tidak ada (yang ditangkap). Dulu banyak. Kalau sekarang kapal Cina yang masuk itu hanya patroli Angkatan Laut dan penjaga pantai-nya.

Bagaimana Kementerian Kelautan menangani kapal nelayan Vietnam yang masuk daerah yang disengketakan itu?

Saya tangkap. Saya sampai detik ini berpatokan pada peta Indonesia. Saya tidak menganut peta yang diklaim oleh Vietnam.

Untuk meningkatkan kehadiran di Laut Natuna Utara itu, pemerintah pernah mendatangkan nelayan Tegal pada 2020. Baru sebulan, nelayan itu kembali ke daerah asalnya karena hasilnya tak memadai. Apa yang terjadi?

Ada beberapa faktor. Saat itu sedang tidak musim ikan. Kedua, cuacanya tidak baik. Akibatnya, mereka merasa sudah datang jauh tapi tidak dapat apa-apa. Ketiga, ada penentangan dari nelayan setempat karena merasa tidak kebagian ikan dan laut itu merupakan wilayahnya. Ini pekerjaan rumah ke depan, memberi pemahaman bahwa laut itu bukan untuk pengkotakan, melainkan alat persatuan.

Salah satu yang dipersoalkan nelayan Natuna adalah nelayan Tegal memakai alat tangkap cantrang, yang merusak karang dan lingkungan...

Sekarang ada Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2021 yang mengatur bahwa alat tangkap cantrang harus berganti menjadi jaring tarik berkantong.

Mengapa memilih relokasi, bukan meningkatkan kapasitas kapal nelayan di Natuna?

Mungkin ada begitu juga. Mengubah kebiasaan nelayan itu kan tidak semudah membalik tangan. Misalnya, kita beri bantuan kapal lebih besar atau ganti alat tangkap. Penyesuaian itu lama. Kalau ada relokasi kapal nelayan dari luar, akan diminta bongkar hasil ikan, serta belanja kebutuhan dan bahan bakar minyak di Natuna. Apalagi kalau dibuat industri perikanan di sana. Sehingga kehidupan ekonomi di sana juga akan meningkat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus