Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Datanglah ke Tegal Bunder, 5 kilometer sebelah timur Gilimanuk, Bali. Dulu, di sini berkicau puluhan burung curik bali, atau orang mengenalnya sebagai jalak bali. Di kawasan yang menjadi lokasi Taman Nasional Bali Barat (TNBB) inilah terbentang habitat asli sang curik.
Tapi kicauan burung mungil putih dengan hiasan bulu biru mirip eyeshadow di matanya itu sebentar lagi bakal tinggal kenangan. Survei terakhir yang dilakukan M. Noerdjito, ahli burung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersama tiga rekannya, membawa data mengejutkan. Di sini, jumlah curik tercatat tinggal lima ekor. Itu pun hanya seekor yang turunan asli dari habitat. Sisanya adalah curik hasil pelepasan setelah ditangkar.
Noerdjito, bersama Rudy Badil dan Jhuda Brahma dari Forum Konservasi Satwaliar Indonesia (FOKSI), serta I Gede Nyoman Bayu Wirayudha, penangkar asal Bali, melakukan survei di kawasan seluas 19 ribu hektare ini pada 3-7 Januari lalu. Pada hari pertama, tak seekor pun curik mereka temukan. Baru pada hari kedua mereka mulai menemukan dua ekor, lalu esok harinya 3 ekor. "Ini menyedihkan. Di habitatnya, curik Bali asli hanya tersisa 1 ekor, 4 lainnya hasil pelepasan karena masih terpasang cincin pengenal," kata Noerdjito.
Benarkah makhluk langka itu cuma tinggal lima ekor di rumahnya sendiri? Ir Soedirun Dartosoewarno, Kepala Balai TNBB, meragukan angka itu. Ia memastikan, pihaknya tiap tahun selalu mendata populasi curik dengan mengerahkan 15 regu yang menyisir kawasan seluas 2.000 hektare. Hasilnya, sampai Maret tahun lalu, mereka mendata ada setidaknya 24 ekor curik. "Mereka (peneliti dari Bogor itu) hanya jalan-jalan, bukan melakukan in-ventarisasi ilmiah."
Curik, yang berarti golok pendek, ditetapkan sebagai satwa liar yang dilindungi undang-undang melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tanggal 27 Januari 1999. Menurut Noerdjito, meski sama-sama dari suku Sturnidae, burung ini lebih tepat disebut curik (Leucopsar rothschildi), bukan jalak (Sturnus). "Burung Leucopsar tidak tepat disebut jalak, tetapi curik. Orang Bali sendiri lebih senang menyebut curik ketimbang jalak," kata Noerdjito.
Sebetulnya curik mudah dibedakan dengan jalak putih (Sturnus melanopterus) yang juga ada di TNBB. Meski keduanya berbulu putih, paruh dan kaki curik berwarna hitam. Yang paling khas adalah di lingkar mata curik ada bulu berwarna biru sehingga burung mungil ini mirip sedang mengenakan eyeshadow atau kacamata. Curik jantan me-miliki jambul yang kadang mekar kadang kuncup. Sedangkan pada jalak putih, paruh dan kakinya kuning, seperti juga warna eyeshadow-nya.
Di habitatnya, burung sekepalan tangan orang dewasa dengan tinggi 25 sentimeter ini bersarang dalam lubang pohon. Sekali bertelur, ia hanya menghasilkan 2-3 butir?biasanya hanya satu yang menetas?dengan warna kebiruan. Musim kawin burung ini adalah sekitar Oktober-November saat hujan mulai turun.
Entah masih 24 ekor atau tinggal 5 ekor, populasi curik memang merosot dari tahun ke tahun. Menurut catatan FOKSI, tahun 1980 di TNBB masih terdapat 105 ekor curik, tapi tahun 1997 tercatat hanya 14 ekor. Jumlah ini makin menyusut pada tahun 2001 menjadi 6 ekor. Habitatnya pun ikut menyusut. Tahun 1980, di kawasan TNBB curik bisa ditemukan di lima titik lokasi. Sekarang hanya tersisa di dua lokasi, di kawasan Semenanjung Prapat Agung, yaitu di Teluk Kelor dan Teluk Brumbun.
Selain semakin sempit dan rusaknya lahan di TNBB, ancaman lain datang dari pencurian. Siapa yang tak tergiur bila seekor curik berharga puluhan juta rupiah? "Sekarang bisa sampai Rp 10 juta hingga Rp 30 juta per ekor," kata Soehana Oetojo, salah satu penangkar komersial yang memiliki izin (lihat Curik Bali Made in Bandung).
Untuk menjaga populasi curik, TNBB membangun enam pos di titik-titik yang mengelilingi semenanjung Bali barat, yakni di Kelapa Tanjung, Lampu Merah, Kotal, Teluk Kelor, Teluk Brumbun, dan Pulau Menjangan. TNBB juga melakukan penangkaran. Karena langkanya curik asli kelahiran Bali, kelak TNBB bakal diisi curik hasil penangkaran dari luar. "Bagaimana mau mendapatkan dari habitatnya, di sana saja sudah langka," kata Soedirun. Jadi, jangan heran kalau induk-induk curik ini berasal dari Kebun Binatang Surabaya, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Safari Indonesia, dan sitaan dari pemilik liar.
Raju Febrian, Deffan Purnama (Bogor), Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo