Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR setiap malam Adiguna Sutowo, 47 tahun, susah tidur di tempat tahanan. Itulah sebabnya Pengacara Amir Karyatin selalu menjenguk agak siang karena pada pagi hari ia masih tertidur. Gangguan tidur ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan berita acara pemeriksaan (BAP) Adiguna yang dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta, Kamis dua pekan lalu.
Gara-gara fasilitas di tahanan yang kurang nyaman? Tidak juga. Adik kandung Pontjo Sutowo, pemilik Hotel Hilton di Jakarta, ini rupanya terusik oleh suara orang yang sedang mengaji. Kebetulan blok 10 A tahanan Polda Metro Jaya, tempat ia menginap, juga dihuni enam orang tersangka kasus bom Kuningan. Nah, saban malam, mereka melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. "Suaranya keras. Saya baru tidur setelah orang yang mengaji itu selesai," kata Adiguna seperti dituturkan oleh Amir Karyatin.
Bos grup bisnis Mugi Rekso Abadi (MRA) tersebut ditahan sejak sebulan lalu. Dia menghadapi tuduhan berat: membunuh Yohannes B. Haerudy Natong alias Rudy, 25 tahun, seorang penagih bill di Fluid Club, Hotel Hilton, pada 1 Januari lalu. Peristiwa yang terjadi sekitar pukul 04.00 ini dipicu oleh kekesalan Tinul, teman wanita Adiguna, karena kartu kreditnya ditolak oleh Rudy. Banyak saksi mengungkapkan saat itu Adiguna lalu mencabut pistol revolvernya, Smith & Wesson kaliber 22 mm, lalu menembakkan ke kepala Rudy.
Setelah penembakan, Adiguna memberikan pistol itu kepada We-wen, seorang disc jockey yang malam itu merayakan tahun baru di Fluid Club. Wewen sempat menyembunyikan pistol tersebut karena takut jika dituduh, tapi akhirnya ia menyerahkannya ke polisi.
Semua rekaman kejadian tersebut sudah dituangkan dalam BAP. Selain dijerat dengan pasal pembunuhan, Adiguna juga dijaring dengan pasal kepemilikan senjata ilegal. Soalnya, pistol tersebut tidak dilengkapi surat izin. Berkas pemeriksaan ini telah dilimpahkan ke kejaksaan, tapi belakangan dikembalikan lagi ke Polda Metro Jaya karena dinilai kurang lengkap.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Soehandoyo, BAP Adiguna memiliki kelemahan formal sekaligus material. Dari sisi formal, berkas itu tak dilengkapi surat penetapan pengadilan atas penyitaan alat bukti dan surat keterangan tentang pengecekan bukti kepemilikan pistol.
Adapun dari segi material, menurut Andi Herman, seorang jaksa yang memelototi berkas Adiguna, ada perbedaan jarak tembak antara hasil forensik dan keterangan saksi ahli. Hasil pemeriksaan yang dilakukan Pusat Laboratorium dan Forensik (Puslabfor) Mabes Polri menyebut penembakan dilakukan pada jarak 60-70 cm. Namun, keterangan saksi ahli dr Mun'im Idris dari RS Cipto Mangunkusumo menyatakan jarak tembaknya 50-60 cm.
Jaksa juga bingung karena rentang 50-60 cm dikatakan Mun'im sebagai jarak tembak yang jauh. Padahal orang awam menilai jarak segitu sebagai jarak dekat.
Hanya berselang sepekan, Polda Metro Jaya telah melengkapi semua permintaan jaksa. Berkas Adiguna pun sudah diserahkan lagi ke kejaksaan pada Kamis pekan lalu. Andi Herman mengaku pihaknya menjadi jelas karena dalam dunia forensik jarak 50-60 cm memang disebut sebagai jarak jauh. Kurang dari itu barulah dikatakan jarak dekat. Perbedaan jarak tembak sebesar 10 cm antara hasil uji forensik dan keterangan saksi ahli juga dianggap wajar karena hanya sebuah perkiraan. "Dipastikan pekan ini berkasnya akan dinyatakan lengkap," kata Herman.
Saat Mun'im Idris memvisum Rudy memang ditemukan luka bundar di kepala kanannya. Ini menunjukkan penembakan dilakukan tegak lurus. Menurut Mun'im, pistol tidak mungkin ditempel di kepala korban karena pada keningnya tidak ada bekas moncong senjata. Di luka tembak pun tidak terdapat bintik hitam jelaga seperti yang terjadi pada korban penembakan jarak dekat, antara 25 dan 30 cm.
Buat melengkapi BAP, polisi juga sudah memeriksa ulang saksi-saksi kunci seperti Tinul dan Wewen. Menurut Sukardiman Rais, pengacara Wewen, kliennya ditanya lagi apakah kenal dengan Adiguna. Bagaimana pula dia tahu bahwa Adiguna yang melakukan penembakan. "Jawaban Wewen tetap sama," ujar Sukardiman.
Wewen tahu Adiguna sebagai pembalap kendati tidak mengenal secara pribadi. Menurut Sukardiman, ketika penembakan terjadi, Wewen berada sekitar setengah meter di belakang Adiguna. Kebetulan saat itu ia sedang menunggu kursi kosong agar bisa memesan minuman.
Begitu pula pemeriksaan ulang terhadap Novia Herdiana alias Tinul, 40 tahun. Di mata pengacaranya, Jufri Taufik, tidak ada yang baru. "Semuanya hanya penegasan," katanya.
Yang baru justru pernyataan Mun'im Idris kepada Tempo. Dia menilai polisi telah teledor karena tidak segera memeriksa tangan Adiguna saat ditangkap beberapa jam setelah kejadian. "Polisi ceroboh dalam kasus ini," kata Mun'im. Kecerobohan ini bisa menyulitkan proses pembuktian bahwa Adiguna pembunuh Rudy, kendati bukti-bukti lain telah terkumpul.
Bukti yang cukup penting itu antara lain ditemukannya pistol Smith & Wesson kaliber 22 mm, peluru di kamar tersangka, dan proyektil peluru. Dari hasil uji balistik dinyatakan peluru yang bersarang di kepala korban memang dilesatkan dari moncong pistol tersebut. Saksi-saksinya pun amat memberatkan Adiguna. "Dari 19 saksi, 11 di antaranya melihat Adiguna menembak," kata Inspektur Jenderal Suyitno Landung, Direktur Reserse Kriminal Mabes Polri.
Hanya, sejauh ini Adiguna tidak mengakui melakukan penembakan dan memiliki pistol itu. Menurut pengacaranya, Amir Karyatin, saat itu kliennya berada di tempat lain, kendati masih di sekitar Hotel Hilton. Nah, sekitar pukul 04.00 ia bergegas menuju kamar 1564 yang ditempati keluarganya. Saat itulah Adiguna mengaku melihat Rudy yang sedang digotong. Dia menyatakan ikut menolong korban, lalu pergi lagi menuju kamarnya.
Itulah yang jadi soal. Karena itu, sebenarnya pemeriksaan sisa-sisa mesiu di tangan Adiguna amat penting. Yang terjadi, dia baru diperiksa dua hari setelah ditangkap. "Hasilnya nihil, tak ada mesiu di tangannya," kata Ajun Komisaris Besar Sigit Sudarmanto, Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Kenapa begitu terlambat? Sigit enggan berkomentar karena saat itu belum menjabat wakil direktur.
Yang jelas, menurut Mun'im, keteledoran itu bisa memperlemah dakwaan. "Kalau saja polisi memeriksa tangan Adiguna sejak awal, tentu tidak akan begini," ujarnya.
Eni Saeni, Maria Ulfah, Yopiandi (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo