Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pilih Paket, Bukan Platform

Pemilu pertama di Irak setelah jatuhnya Saddam Hussein akhirnya terwujud. Kelangsungan pasukan AS di Irak tergantung pada pemimpin baru. Wartawan Tempo, Ahmad Taufik, melaporkan dari Bagdad.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESTA demokrasi itu berlangsung juga di Irak, Ahad lalu. Dari 15,5 juta penduduk yang terdaftar sebagai pemilih, sekitar 1,2 juta jiwa memberikan suara di luar Irak. Hasil jajak pendapat The International Republican Institute yang berkedudukan di Washington DC memperkirakan 65 persen warga akan menggunakan hak pilihnya. Sayang, prediksi optimistis itu tak begitu terlihat di lapangan.

Pemantauan Tempo di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di sekitar Hotel Coral Palace, Bagdad, menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat datar-datar saja, untuk tak menyebut melempem. Beberapa warga bahkan terang-terangan menolak menggunakan hak pilihnya seperti yang dilakukan oleh Muhammad Suaib, seorang sopir taksi di Bagdad. "Saya tak ikut-ikut urusan politik, biar saja orang lain yang lebih mengerti yang mengurusnya," katanya kepada Tempo.

Sementara itu, Qaris, seorang penduduk Ramadi yang nebeng ke Bagdad bersama Tempo dari Al-Karamah di perbatasan Yordania, dengan sinis mempertanyakan pentingnya pemilu kali ini. "Buat apa? (Pemilu ini) tak akan mengubah nasib kami," kata bujangan berusia 25 tahun yang bekerja di Yordania itu. Menurut dia, pemilu ini adalah buatan Amerika Serikat. "Amerika yang menginginkan pemilu ini," katanya. Apakah itu berarti rakyat tak menginginkan pemilu? Eh, tak pula Qaris menjawab.

Bila di kota saja respons warga tak terlihat meluap, kondisi di pedesaan yang dilewati wartawan mingguan ini dalam perjalanan menuju Bagdad justru tak menampakkan geliat pemilu. Orang-orang cuma sibuk antre bensin atau gas. Penjual bensin swasta juga bertebaran di jalan-jalan dengan harga yang hampir dua kali lebih mahal.

Barulah saat memasuki kawasan kota Kadzimiyah, yang terletak 15 kilometer di luar kota Bagdad, spanduk-spanduk kampanye berbahasa Arab tampak mengepung di hampir semua tempat. Mulai dari tembok sampai di pagar kawat. Kadzimiyah adalah kota tempat makam imam ketujuh Syiah, Musa al- Kadzim, berada.

Tentu saja, pengamatan sekilas ini tak secara otomatis menyimpulkan keengganan rakyat Irak secara keseluruhan. Sebab, Komisi Pemilihan Independen Irak (ICEI) sendiri membutuhkan waktu lima hari sampai seminggu sebelum menuntaskan penghitungan suara untuk menentukan apakah pemilu berjalan absah dan memenuhi kuorum.

Lepas dari angka keterlibatan pemilih yang baru bisa diverifikasi pekan depan, pemilu kali ini sebenarnya sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pemilu yang berlangsung selama 24 tahun masa kekuasaan Saddam Hussein (1979-2003). Kala itu, untuk menjadi anggota parlemen satu kamar (Majlis Al-Watani) hanya bisa diikuti oleh anggota Partai Baath yang menjadi kendaraan politik Saddam. Para calon bertarung untuk mengisi 250 kursi parlemen selama empat tahun jabatan. Bila bukan anggota Baath? Maaf saja.?

Kini, bukan saja jumlah anggota Dewan dinaikkan menjadi 275 orang. Perubahan terpenting justru menyangkut kualifikasi calon kandidat yang pantas bertarung. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Irak, pemilu parlemen diharamkan bagi ketiga unsur ini: anggota Partai Baath, anggota militer aktif, dan anggota partai politik atau kelompok-kelompok yang mempunyai sayap milisi. Secara teoretis, dipasangnya rambu-rambu politis seperti ini seharusnya bisa menjadi perangsang bagi pemilih, karena para pemain lama seluruhnya otomatis tersingkir.

Dampak langsungnya bukannya tak ada, misalnya dari kandidat yang jumlahnya kini meroket sampai 7.700 orang. Yang patut diingat, pemilu ini bukan untuk mencoblos nama calon atau nama partai yang mereka inginkan. Lantas? Inilah uniknya.

Tugas pemilih adalah mencoblos satu dari 111 "paket" yang sudah diverifikasi ICEI. Dalam satu "paket" jumlah anggotanya bervariasi dari dua sampai 275 orang yang merasa satu kepentingan. Artinya, bila anggota satu "paket" berasal dari partai yang berbeda pun sah-sah saja. Nah, tiga "paket" yang merupakan kekuatan terbesar saat ini adalah Aliansi Irak Bersatu, Aliansi Kurdi, dan Daftar Irak.

Karena nama-nama anggota satu "paket" bisa mirip dengan anggota dari "paket" lain, maka pemilih diharapkan menghapal juga nomor paket pilihan mereka. Katakanlah paket Sistani yang bernomor urut 169. Lantas bagaimana menentukan jumlah kursi? Umpamakan paket X memenangkan 32 persen suara pemilih, itu berarti mereka mendapatkan 88 kursi dari 275 yang diperebutkan.

Tentang siapa yang akan menduduki ke-88 kursi itu nantinya akan dilihat dari nomor urut yang disusun paket X. Hampir mirip dengan di Indonesia, sikut-menyikut untuk mendapatkan nomor kecil itu di sebuah paket menjadi tak terelakkan. Satu-satunya mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus dipatuhi adalah setiap nama di urutan ketiga dan kelipatannya haruslah perempuan untuk menjamin lolosnya para legislator wanita ke parlemen.

Tak sulit menduga, dengan bentuk koalisi yang sangat cair dalam sebuah paket seperti ini, pemilih menentukan memberikan suaranya bukan lagi berdasarkan platform partai, melainkan pada kepentingan etnis dan keagamaan yang lebih bersifat primordial. Apalagi gesekan antaretnis dan preferensi keagamaan yang makin memanas antara kelompok Sunni-Syiah semakin panas saja dari hari ke hari.

Terpilihnya anggota Parlemen bukanlah tujuan akhir. Setelah ke-275 anggota terpilih, mereka akan membentuk Dewan Kepresidenan yang terdiri dari tiga orang, yakni presiden dan dua orang wakil. Ketiga orang ini diberi waktu selama dua pekan untuk menentukan perdana menteri baru yang dianggap layak. Perdana menteri yang ditunjuk akan menyusun kabinet dalam waktu empat pekan. Seluruh proses ini diperkirakan selesai akhir Maret atau awal April, yang menandai terpilihnya presiden dan perdana menteri baru. Sayang, sejumlah kendala di lapangan tak bisa disepelekan begitu saja, sehingga sistem pemilu yang mulai tertata itu mendapat banyak hantaman.

Pertama dari Abu Musab al-Zarqawi, yang diidentifikasi sebagai sel Al-Qaidah di Irak. Sudah lama Zarqawi mengeluarkan ultimatum agar warga Sunni Arab?yang sebenarnya hanya berjumlah 20 persen dari populasi, namun memegang dominasi pemerintahan selama Partai Baath berkuasa?memboikot pemilu.

Kubu Zarqawi menilai, pemilu hanyalah bentuk legitimasi Amerika Serikat untuk memuluskan jalan bagi kaum Syiah yang selama ini terpinggirkan kendati merupakan mayoritas (60 persen) di Negeri Seribu Satu Malam itu. "Setiap Sunni yang ikut pemilu adalah pengkhianat," ujar Zarqawi, yang kepalanya dibanderol pemerintah Abang Sam dengan harga senilai US$ 250 juta (Rp 2,25 triliun).

Zarqawi tanpa tedeng aling-aling juga menyatakan akan menyabot sebanyak mungkin TPS, bahkan kalau perlu dengan pertumpahan darah. Warga Irak tahu, untuk tahun lalu saja, Zarqawi adalah figur paling kontroversial yang tak segan-segan menculik 120 warga asing dan membunuh sepertiga dari sandera itu. Sampai tiga hari menjelang pemilu, ancaman itu tampaknya tidak main-main. Bom mobil silih berganti di beberapa bagian kota Bagdad, menewaskan warga sipil.

Di Jalan Palestina dekat tempat Tempo bermukim, rentetan tembakan sering terdengar. Lampu jalan dan lampu lalu lintas mati. Suasana mencekam. Dan mulai Jumat malam pekan silam, alias dua hari menjelang pemilu, jam malam dimajukan mulai dari pukul 19.00 sampai pukul 6 pagi. Beredar pula imbauan agar pada saat pemilihan warga tidak menggunakan mobil untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bom mobil.

Dengan kondisi serawan itu, tak mengherankan bila tentara Amerika Serikat yang menjadi motor pasukan multinasional di kawasan itu menambah pasukannya dari 135 ribu menjadi 150 ribu orang. "Saya pastikan warga Irak melihat pasukan Amerika sebagai penolong, bukan penindas," ujar Presiden George W. Bush. Ahad pekan sebelumnya, Pentagon justru menyatakan akan mempertahankan sedikitnya 120 ribu pasukannya selama dua tahun ke depan untuk melatih tentara Irak menghadapi pemberontak.

Keinginan itu sebenarnya terlalu prematur. Sebab, berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1546, mandat pasukan asing di Irak otomatis berakhir begitu pemerintahan baru yang terpilih secara konstitusional mulai memerintah, sekitar April nanti. Meskipun begitu, tak tertutup kemungkinan pemerintahan yang baru bisa meminta pasukan asing itu untuk tetap berada di Irak.

Inilah sesungguhnya pertanyaan besar yang berputar di kepala warga Irak sendiri, seperti diungkapkan Aliyah al-Husein, seorang pedagang ikan yang berusia 60 tahun. "Ketika Saddam pergi, kami pikir kehidupan akan membaik. Ternyata tak ada perubahan. Lalu (Perdana Menteri Iyad) Allawi datang dan tak ada perubahan juga. Lalu sekarang pemilu, dan saya yakin tak akan ada perubahan?. Tak ada listrik, tak ada air."

Akmal Nasery Basral (BBC, The New York Times, Al-Jazeera)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus