Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Mengubah Nasib di Toro Makmur

4 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESIN chainsaw yang dipegang Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan langsung menumbangkan pohon sawit setinggi 1,5 meter di Bukit Apolo, kawa­san Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Itu merupakan seremoni acara pencanangan awal peningkatan kualitas ekosistem di taman nasional tersebut.

"Ada enam koperasi yang sukarela menyerahkan lahan yang dikuasainya kepada Taman Nasional," kata Bambang Supriyanto, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Kementerian Kehutanan, kepada Tempo, 23 Juli lalu.

Koperasi itu memiliki sertifikat lahan di dalam Taman Nasional karena keteledoran pejabat pertanahan setempat. Mereka sudah menanam kelapa sawit di lahan seluas 3.000 hektare. Pada 22 Mei lalu, Pak Menteri datang ke lokasi untuk mengembalikan fungsi lahan itu sebagai taman nasional.

Sejak Tesso Nilo dikukuhkan sebagai taman nasional pada 2004, pemerintah pusat memang lalai menjaga dan merawatnya. Ada 70 ribu keluarga yang bermukim di sana, dengan enam kelompok besar permukiman di sekeliling Taman Nasional (lihat grafis). Kebanyakan berasal dari Sumatera Utara. Mereka membeli lahan dari oknum kepala adat di Tesso Nilo.

Contohnya Saepul. Pada 2004, ia membeli tanah seluas empat hektare dari Mukhtarius dengan harga Rp 100 ribu per hektare. Dari orang yang sama, anak dan menantunya lantas membeli empat hektare. Mukhtarius, yang mengaku keponakan batin itam (kepala adat) di Baserah, menjelaskan bahwa lahan di Toro Makmur itu milik ulayat.

Saepul, yang berasal dari Deli Serdang, Sumatera Utara, kemudian menetap di Toro Makmur sebagai penghuni pertama. Bersama kawan-kawannya, ia membangun rumah dan menanam sawit di lahan pekarangannya. Beberapa tahun kemudian, bersama anaknya, istri Saepul membangun warung kelontong dan kedai kopi.

Puluhan pendatang dari Sumatera Utara kemudian mengikuti jejak Pak Kumpul—panggilan akrab Saepul. Sampai 2009, sebanyak 165 keluarga menghuni wilayah ini. Mukhtarius lantas mengajak Saepul dan rekannya menemui Kepala Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, membentuk satu rukun warga dan lima rukun tetangga. Mereka mendapat kompor gas dan Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah.

Pada 2008, Saepul mulai memanen buah sawit. Dua pekan sekali petugas dari pabrik Citra III membeli buah sawit miliknya. Rata-rata dalam sebulan dia menjual tiga ton buah sawit dengan harga sekitar Rp 3 juta. "Hasil kebun sawit ini jadi uang pensiun saya," kata Saepul, 53 tahun, kepada Tempo.

Dia mengaku tak tahu bahwa lahan yang dibeli dari Mukhtarius berada di dalam Taman Nasional Tesso Nilo. Pernah ada petugas dari Kementerian Kehutanan dan World Wildlife Fund menemuinya. Kepada mereka, Saepul meminta ditunjukkan lahan yang boleh ditanami sawit, tapi ia tak mendapat jawaban. "Saya mencari penghidupan di sini dan membuka lapangan kerja, lho," ujarnya.

Sementara Saepul berasal dari Deli Serdang, Wilson Ginting berasal dari Medan. Pada 2009, dia menjual harta bendanya dan meninggalkan pekerjaannya sebagai sopir bentor di ibu kota Sumatera Utara itu. Wilson membeli lahan empat hektare dengan harga jutaan rupiah. Adiknya menitipkan uang untuk dibelikan lahan dua hektare.

Wilson, 37 tahun, meninggalkan istri dan dua anaknya yang masih kecil di rumah orang tuanya di Medan. Karena pohon sawitnya belum bisa dipanen, dia mencari nafkah serabutan di Toro Makmur. Wilson pernah menjadi buruh di kebun milik tetangganya, narik ojek motor, dan mengumpulkan madu hutan.

Rumah Wilson berjarak lima kilometer dari kediaman Pak Kumpul. Tempo membonceng sepeda motor Wilson menuju rumahnya. Memasuki perkampungan, terdapat musala seluas 50 meter persegi di atas bukit. Sepanjang jalan, berdiri rumah warga yang terbuat dari papan dan beratap seng, dengan kebun sawit di belakangnya. Ada juga warga yang membuka warung dan bengkel servis motor.

Di tengah perkampungan, berdiri Gereja Pantekosta Indonesia, yang memiliki dua bangunan dengan luas sekitar 150 meter. Di pojok kampung terdapat bangunan sekolah dasar yang terbuat dari papan, beratap seng, dan memiliki jendela dari kawat pada bagian atasnya. Dua pekan sekali, madu dalam botol Wilson titipkan kepada bus antarkota Makmur yang melayani rute hutan Tesso Nilo-Medan. Di Medan, sang istri akan mendatangi agen bus Makmur untuk mengambil titipan suaminya, lantas menjualnya ke pasar. 

Wilson kini menjadi Ketua Forum Petani Bukit Makmur Desa Kesuma. Beberapa tahun lalu, dia memimpin ratusan warga ­berunjuk rasa ke kantor Bupati Pelalawan akibat tindakan aparat melarang bermukim di Taman Nasional. Bagi dia, Tesso Nilo adalah sepetak lahan untuk ladang penghidupan baru.

Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus